Banjir Kecaman
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banjir bandang yang disertai material kayu, batu, dan lumpur merendam berbagai wilayah di Sumatera dalam dua pekan ini. Bahkan sampai kemarin, masih banyak daerah yang terendam dan belum mampu ditembus bantuan melalui jalan darat. Tapi, belum kering banjir dan air mata korban di Sumatera, ada saja pejabat berkoar-koar bahwa banjir teratasi atau mengklaim tak ada lagi wilayah yang terisolasi. Kondisi ini tentu menyesakkan.
Sudahlah, tinggalkan pola komunikasi "asal bapak senang" tersebut. Seolah-olah semua sudah terkendali, bilang semua akses sudah berhasil ditembus. Bahkan sampai ada yang berucap syukur bahwa penanganan banjir bisa dilakukan tanpa bantuan luar negeri. Apakah layak pernyataan itu disampaikan saat warga masih kebanjiran, kehilangan rumah, keluarga, dan tak punya makanan untuk dimakan?
Korban banjir tak butuh stempel bencana nasional atau bencana daerah. Mereka butuh pemimpin yang hadir penuh empati saat mereka putus asa. Mereka butuh pemimpin yang hadir dengan kuasanya, menjalankan mesin milik negara untuk membantu penanganan bencana.
Mereka tak butuh pemimpin yang angkat karung beras yang bisa dikerjakan kuli panggul di mana saja. Mereka tak butuh pemimpin yang hanya bisa menunjuk banjir. Mereka butuh pemimpin yang bisa memikul tanggung jawab, yang bisa menunjuk dan menghukum pembalak kayu yang diseret banjir.
Lebih buruk lagi, pernyataan beberapa pejabat di awal bencana terkesan meremehkan skala krisis. Alih-alih menggerakkan sumber daya nasional secara agresif, korban justru disuguhi pernyataan yang cenderung defensif, seolah banjir hanya urusan daerah atau sekadar fenomena musiman. Padahal, setiap detik keterlambatan evakuasi menyangkut hidup dan mati korban.
Meremehkan bencana ini seakan mengulang peristiwa tsunami Mentawai tahun 2010 lalu. Saat itu, pemerintah kurang menanggapi serius informasi peristiwa tsunami di pulau terluar itu. Ada banyak cerita, korban tsunami Mentawai bertahan hidup dengan mengonsumsi buah kelapa atau tanaman hutan yang tumbuh di sana.
Namun, kondisi bertahan hidup seperti itu tentu sulit dilakukan korban banjir di Sumatera, yang mana hunian mereka dikepung kebun sawit. Mereka tak akan bisa bertahan hidup dengan memakan buah sawit. Dahaga mereka tak hilang dengan memakan buah sawit seperti meminum air kelapa.
