Berita *Interview

Benny Tjokrosaputro: Saya Sempat Dimarahi Bapak karena Main Saham

Kamis, 14 Februari 2019 | 13:32 WIB
Benny Tjokrosaputro: Saya Sempat Dimarahi Bapak karena Main Saham

ILUSTRASI.

Reporter: Dian Sari Pertiwi, Thomas Hadiwinata, Yuwono Triatmodjo | Editor: Yuwono triatmojo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nama Benny Tjokrosaputro sudah tidak asing lagi dikalangan investor saham. Strategi investasi putra pertama dari pasangan Handoko Tjokrosaputro dan Lita Anggriani ini kerap menjadi rujukan bagi banyak pemain saham lain dalam meracik portofolio.

Kini, cucu dari Kasom Tjokrosaputro, sang pendiri grup usaha Batik Keris, ini masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes tahun 2018. Benny ditempatkan Forbes di urutan ke-43. Majalah bisnis itu menaksir kekayaan pria yang lahir pada 15 Mei 1969 di Surakarta ini mencapai US$ 670 juta.

Dalam wawancara yang berlangsung di Mayapada Tower I lantai 21 pada Jumat (1/2) lalu, Benny bicara blak-blakan beragam topik. Mulai dari kenangan awal mula ia berdagang saham di penghujung tahun 1980-an, keterlibatannya dalam bisnis keluarga, hingga visinya membesarkan usaha properti.

Disangka berjudi

Benny memulai aktivitas investasinya di pasar modal sejak duduk di bangku kuliah. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Trisaksi tersebut kenal dunia saham lantaran diajak sesama rekan-rekan kuliahnya.

Saham PT Bank Ficorinvest Tbk merupakan portofolio pertama yang dibeli Benny bermodal tabungan uang saku kuliah. Dia membelinya langsung di pasar perdana, alias saat Ficorinvest melantai di bursa efek, 

Sempat dimarahi sang ayah, yang menilai bermain saham sama dengan berjudi. Namun pria yang mengaku otodidak belajar saham ini di kemudian hari mampu membuktikan kesuksesan jalan hidupnya.

KONTAN: Apa yang membuat Anda tertarik bermain saham waktu itu?

BENNY: Sederhana saja, mau cari untung.

KONTAN: Ada formula khusus, apa yang Anda pelajari dan siapa yang Anda ikuti?

BENNY: Tidak ada. Tidak ada yang saya ikuti.

KONTAN: Saham apa yang pertama Anda beli?

BENNY: Saham Ficorinvest (PT Bank Ficorinvest Tbk), Itu beli saham perdananya. Berikutnya, kalau mau beli saham perdana, antre seperti orang gila. Jangankan dapat jatah, formulirnya saja sudah antre gila-gilaan.

KONTAN: Tetapi selalu dapat saham IPO?

BENNY: United Tractor (UNTR) saya tidak dapat.

KONTAN: Banyak investor saham bilang, berinvestasi saham di tahun pertama seringnya rugi. Kalau pengalaman bapak?

BENNY: Tidak juga. Untung rugi itu biasa. Orang berani masuk ke capital market, pasti sudah tahu konsekuensinya. Bisa untung, dan dapat untung di capital market itu relatif lebih cepat. Tapi bisa juga rugi cepat. Tinggal kejelian masing-masing.

KONTAN: Pengalaman Anda bagaimana?

BENNY: Waktu hot untung. Begitu mulai oversupply ya rugi. Dalam beberapa bulan pertama main saham, saya untung. Tetapi begitu ada kebijakan uang ketat, ya langsung rontok, saham-saham berjatuhan. Saya waktu itu pakai uang jajan sekolah. Untuk ukuran saat itu, uang saya cukup gede.

KONTAN: Aktivitas bermain saham saat kuliah dulu diketahui orang tua Anda, Pak Handoko Tjokrosapoetro?

BENNY: Bapak saya, pak Handoko, tahu saya bermain saham. Awalnya dia pikir bermain saham itu judi, lalu saya dimarah-marahin. Tapi lama-kelamaan dibiarkan juga. Mungkin dia berfikir anaknya ini punya bakat. Sempat dimarah-marahi karena kalau saya rugi, kan dia yang nombokin.

KONTAN: Pak Handoko tidak berinvestasi saham?

BENNY: Tidak mengerti. Orang zaman dahulu mana mengerti main saham. Orang zaman dulu kalau kerja polos, modal sendiri. Tidak mengerti pasar modal.

KONTAN: Berapa besar modal pertama Anda bermain saham?

BENNY: Hanya beberapa juta. Sampai puluhan juta rupiah, ya, pernah. Tapi begitu mau lulus sekolah, nekat main sampai ratusan juta rupiah.

Saat main saham jutaan atau puluhan juta, bapak saya hanya ketawa-ketawa saja. Tapi kalau sudah kalah sampai ratusan juta, muka bapak saya langsung merengut.

KONTAN: Waktu itu Anda belum punya usaha?

BENNY: Saya masih kuliah.

KONTAN: Setelah menamatkan pendidikan, Anda pernah ikut dalam bisnis keluarga?

BENNY: Gara-gara kegatelan bermain saham, saya dikasih pekerjaan oleh bapak saya. Saya pernah disuruh mengurusi Keris Gallery (Keris Gallery Department Store). Disuruh ngurusin pertanian, juga pernah. Disuruh dagang semen sampai ke Timor Timor, pernah. Bangun rumah, pernah. Bikin pom bensin, pernah. Bebasin tanah, pernah. Jadi pengalaman saya sudah macam-macam.

Tetapi biarpun dikasih kerjaan macam-macam, tetap saja saya bermain saham. Dasar doyan, ya akhirnya saya dibiarkan bermain saham oleh bapak. Sebenarnya dikasih tanggung jawab pekerjaan saat itu agar saya tidak bermain saham. Tetapi ya tetap saja saya bermain saham.

KONTAN: Paling suka saham sektor apa?

BENNY: Yang memberikan untung paling banyak saja. Saya sebagai investor, saya tidak fanatik terhadap saham apa-apa. Yang saya lihat  adalah fundamentalnya, itu sudah pasti. Tren pasar kita baca. Supply demand seberapa banyak juga kita pelajari. Untuk bisa untung, semua itu harus kita pelajari.

KONTAN: Jadi, sektor apa yang paling disukai?

BENNY: Consummer goods karena tidak ada siklus. Kalau tambang, properti, itu ada siklusnya. Kadang jelek sekali, kadang bagus sekali.

KONTAN: Bukankah Anda juga pernah menuai untung besar dari saham Aneka Tambang? (Salah satu kisah sukses Benny yang sering terdengar adalah investasi di saham Antam).

BENNY: Waktu membeli Antam, analisis saya sederhana saja. Walaupun perusahaan ini rugi, Saya baca laporan keuangannya terkesima, kenapa perusahaan ini dihargai sangat murah. Harganya saat itu, sekitar empat tahun yang lalu hanya Rp 300. Waktu itu meski analis asing bilang saham ini jelek, saya tetap beli. Padahal saat itu target harga analis hanya Rp 180. Bayangkan, apa tidak sadis kasih target harga Rp 180, setelah harganya turun ke Rp 300. Dari sana, saya mulai tidak gampang percaya dengan analis asing.

Saya lihat neracanya Antam, cash flow on hand Rp 7 triliun. Kapitalisasi pasarnya juga Rp 7 triliun. Kalau kapitalisasi pasarnya Rp 7 triliun, sedangkan cash-nya Rp 7 triliun, berarti harta yang lain tidak dihitung dong. Padahal Antam punya tambang puluhan dan punya pabrik smelter juga. Masa tambang sama pabriknya tidak dihitung dan yang dihitung hanya cash-nya saja. Konyol sekali, menurut saya ini gila, kelewat murah.

Jadi dasarnya saya membeli Antam dari sana karena harganya saat itu tidak memperhitungkan tambang dan pabrik mereka, meski perusahaan ini merugi.

Kalau kata Lo Kheng Hong, saham seperti itu salah harga. Kan kalian yang sering bilang Lo Kheng Hong paling jago di pasar saham. Ya tapi dia kejeblos juga, di beli saham Borneo (PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk).

KONTAN: Anda mendeskripsikan gaya investasi Anda seperti apa?

BENNY: Saya investor jangka panjang. Saya tidak sempat trading cepat. Itu sudah sejak awal.

Namun sebetulnya saya bukan murni investor karena saya emiten juga. Saya lebih meng-create value. Yang namanya investor itu menurut saya adalah orang yang menanam uang, namun pasif. Dia beli, lalu menungggu moga-moga harga sahamnya naik, manajemennya bagus, perusahaannya untung, sehingga harga sahamnya naik. Itu investor di mata saya.

Tapi saya ini tidak menunggu. Tidak menunggu semoga perusahaannya jadi bagus, semoga manajemennya baik. Saya berusaha agar apa yang saya investasikan di perusahaan go public, menjadi bagus, value-nya naik, karena ada usaha, bukan karena pasrah kepada nasib.

Dari awal main saham, mindset, niat saya sudah seperti itu. Bukan seperti main lotere, serahkan kepada nasib, moga-moga naik. Saya tidak begitu.

KONTAN: Anda terlihat sering bertransaksi entah satu atau dua hari sekali pada sejumlah saham, semisal saham Hanson. Itu transaksi jual beli atau repo (repurchase agreemet)?

BENNY:  Hanson itu kan investornya banyak sekali, ribuan, 8.000 atau bahkan mungkin tembus 10.000-an. Banyak nasabah yang repo, pasti ada. Yang trading harian juga pasti ada. Yang main margin, juga pasti ada.

Kalau sering terjadi transaksi, jumlahnya gede, blok-blok, itu biasanya repo. Kalau trading, biasanya volumenya kecil-kecil tetapi banyak. Saya ngomong apa adanya saja, saya memang sering melakukan repo.

Kadang ditanya OJK, kenapa pemilikan saya berubah-ubah? Ya kalau sedang ngutang, ya turun, kan sahamnya saya jaminkan. Yang ngutangin, kan, mau pegang sahamnya, otomatis dibalik nama atas nama dia. Sebaliknya, waktu saya lunasi, sahamnya kan balik. Hanya begitu saja, tidak ada yang aneh.

KONTAN: Kenapa sih dulu Anda sampai disebut tukang goreng?

BENNY: Saya tidak mau jawab untuk pertanyaan yang ini.

***

Prospek cerah bursa saham

Memasuki tahun bershio Babi ini, Benny memiliki pandangan positif. Salah satu indikasinya terlihat dari pergerakan indeks bursa di banyak kawasan bergerak naik.

Pengalaman Benny mengajarkan, belilah saham di saat kondisi ekonomi tidak terlalu baik atau bahkan buruk dengan catatan ekspektasi bagus di waktu berikutnya. Hal itu akan meningkatkan potensi keuntungan dari pembalikan harga saham.

KONTAN: Bicara pasar modal, bagaimana prediksi Anda untuk tahun 2019?

BENNY: Mungkin saya salah, tapi bursa efek itu bergerak mengikuti ekspektasi. Mungkin kondisi ekonomi sedang jelek, tapi kalau orang menganggap tahun depan akan bagus, maka bursa sudah bagus sejak tahun ini.

Jadi misalnya saat ini China dan Amerika Serikat sedang perang dagang, tapi masa mau perang dagang terus. Jadi kalau orang berekspektasi tahun ini akan damai, maka akan bagus.

Lalu The Fed menaikkan bunga. Tapi kalau orang berfikir, menaikkan bunganya sudah hampir berhenti dan akan di-stop, berarti tahun depan mungkin bagus.

Indonesia juga begitu. Siapa pun kalau tahun depan sehabis pemilu akan bagus, siapa pun presidennya, maka orang akan beli saham dari sekarang. Sementara ini saya lihat, dari semua sisi, ekspektasinya bagus meskipun ekonominya belum bagus. Makanya harga saham sekarang naik. Ini tidak hanya di Indonesia, tetapi diseluruh dunia saham naik karena ekspektasinya ekonmi akan bagus.

Jadi kalau anda bertanya kapan saat yang paling tepat beli saham, jawaban saya adalah saat yang sedang jelek, tetapi orang sudah berfikir ke depan ekspektasinya akan bagus. Itu pendapat saya.

KONTAN: Tapi ada istilah jangan menangkap pisau jatuh?

BENNY: Itu kalau kebalikannya. Ekonomi sedang bagus, tapi ekspektasinya akan jelek. Nah itu pisaunya mau jatuh.

Misalnya awal tahun lalu orang sudah tahu bunga akan dinaikan oleh Amerika, karena ekonomi terlalu panas, bursa efek terlalu over price, itu artinya pisaunya mau jatuh. Sudah tahu bunga mau dinaikan, ya jangan ditadah dong.

***

Cucu pendiri usaha batik yang menjadi tuan tanah

Dengan mengendarai PT Hanson International Tbk (MYRX), Benny merambah bisnis properti residensial di pinggir Barat Jakarta. Sebagai catatan, perusahaan yang berkantor di Mayapada Tower 1 lantai 21 Jalan Jenderal Sudirman itu mencatatkan saham perdana pada 31 Oktober 1990.

Kebutuhan lahan bagi ekspansi pabrik Batik Keris, menjadi awal perkenalan keluarga besar Benny pada bisnis properti. Proyek perumahan Solo Baru menjadi master piece dan tonggak sejarah kemunculan Batik Keris saat itu.

Karakter Benny yang berani mengambil resiko (take risk), di mata sang ayah tampak tepat menggeluti bisnis properti. Dan memang, insting Handoko Tjokrosaputro terhadap anak sulungnya terebut kemudian terbukti.

KONTAN: Apakah sampai sekarang masih terlibat bisnis keluarga atau memang sudah jalan sendiri-sendiri?

BENNY:  Di keluarga Batik Keris, saya sudah masuk generasi ketiga. Generasi pertama, kakek saya sudah meninggal. Digenerasi kedua, dari enam orang, lima sudah meninggal. Jadi saya sudah masuk generasi ketiga, level cucu, tidak menggerombol lagi dalam bisnis grup Batik Keris.

Level generasi ketiga, cucu-cucu ini ada sekitar 18 orang. Bisnisnya juga sudah masing-masing, sudah tidak campur.

KONTAN: Tetapi masih tetap saling membantu?

BENNY: Iya, saya kerjasama dengan adik dan sepupu saya. Di Rimo (PT Rimo International Lestari Tbk), saya bermitra dengan adik saya.

KONTAN: Tadi Anda menyebut banyak kesibukan, tetapi tetap bermain saham. Apa yang membuat Anda tidak bisa lepas dari saham?

BENNY: Waktu itu mikirnya sederhana saja, ingin cepat kaya. Waktu muda mikirnya simpel saja. Ini hitungan matematis. Kalau kita kerja normal, untung perusahaan yang dibagi adalah ketika perusahaan untung. Misalnya kita dagang tekstil, setahun untung Rp 10 miliar. Lalu tinggal diputuskan saja, mau dibagi sebagai dividen berapa, Rp 3 miliar, Rp 5 miliar, terserah.

Nah, enaknya perusahaan go public itu multiplier effect. Karena menghitung perusahaan berdasarkan PER (price earning ratio). Kalau dihitung PER 20, artinya dengan pendapatan keuntungan perusahaan yang Rp 10 miliar tadi, maka value perusahaan menjadi Rp 200 miliar. Kalau jual saham 40%, maka perusahaan itu bisa dapat Rp 80 miliar.

Kalau tidak go public, untuk dapat Rp 80 miliar butuh waktu sampai delapan tahun. Sedangkan kalau di pasar modal, cepat, tidak perlu menunggu waktu delapan tahun. Multiplier effect-nya itu yang menarik di pasar modal. Jadi kami mendapat lipatan, dari kemampuan kami mencetak laba. Ini kalau patokannya PE ratio. Kalau perusahaan properti lebih mantap lagi karena menghitungnya dari NAV, net asset value.

KONTAN: Sebelum menjadi perusahaan properti, dahulu Hanson berbisnis apa?

BENNY: Dahulu ini pabrik garmen kecil yang kemudian diambil alih oleh bapak saya, dipakai backdoor listing pabrik pemintalan Primayudha (PT Primayudha Mandirijaya). Tetapi waktu krisis moneter kondisinya menjadi sangat berat sehingga harus restructuring. Karena sebetulnya itu punya adik saya, oleh adik saya lalu dijual untuk bayar utang. Adik saya lalu minta tolong agar Hanson diselamatkan, padahal isinya sudah dijual untuk bayar utang.

Lalu saya selamatkan, Saya tebus utangnya di Bank Mandiri dan BNI Sekuritas. Boleh dicek. Sudah tidak ada isinya, saya tebus, Jadi kira-kira, orang yang seperti saya ini baik atau tidak?

Hanson tidak ada isinya, pabriknya sudah dijual, tetapi masih punya utang ke Bank Mandiri dan BNI Sekuritas. Saya tebus karena ingin menolong adik saya. Kemudian saya isi properti, hingga jadi seperti sekarang ini.

KONTAN: Kenapa Anda lebih memilih properti sebagai bisnis utama padahal dahulu diserahi banyak tanggung jawab oleh ayah Anda?

BENNY: Bapak saya melihat karakter orang. Saya ini dinilai berani take risk. Properti itu butuh nyali. Baru bebasin tanahnya saja butuh nyali. Ketemu mafia tanah, preman tanah. Belum lagi penjual tanah yang nakal, surat palsu, girik bodong, nyuri meteran.

Ketemu yang seperti itu, kami sudah sering. Untuk berhadapan dengan yang seperti itu, butuh nyali, supaya tidak stres, sama seperti bermain saham.

KONTAN: Jadi dulu diarahkan oleh keluarga untuk menggeluti properti?

BENNY: Bapak saya kasih kebebasan anaknya mau apa, tapi setelah diputer-puter, bapak saya bilang saya cocok di properti. Saya di bisnis properti sudah lama, masuk ke public company baru sekitar tahun 2014. Dulu bisnis properti saya tidak masuk di perusahaan terbuka.

Itu tanah Jababeka yang di Serang, tanah PSP yang di Maja, tanah Lippo Karawaci, Kebayoran Regency yang sekarang jadi Graha Bintaro, terus yang di Gading Serpong, Summarecon Serpong, itu yang bebasin kami semua. Yang ada di depan Anda ini orang yang dari lulus sekolah kerjanya sudah seperti itu.

KONTAN: Anda belajar dari siapa?

BENNY: Dari bapak saya. Sebagian anggota timnya masih ada yang ikut saya. Sebagian besar memang sudah pensiun atau bahkan meninggal.

Ceritanya begini. Keluarga kami, Batik Keris, karena berbisnis batik maka butuh kain. Kami pun membuat pabrik tekstil. Pabrik tekstil selalu butuh tanah yang luas, karena mesinnya besar-besar dan pabriknya besar. Setiap kali mau ekspansi, harga tanah selalu naik. Hal ini bikin pusing. Akhirnya kami mencari cadangan tanah dulu, sehingga waktu mau ekspansi tidak diketok tetangga, dimintain harga tanah yang mahal.

Lama-lama cadangan tanahnya menjadi terlalu banyak, lalu kami mulai bingung mau diapakan. Kami pun lalu belajar membangun rumah. Setelah membangun rumah, lo kok untungnya malah lebih besar daripada dagang kain. Mulailah kerja real estat sampai sekarang. Itu terjadi karena perjalanan hidupnya seperti itu, ya terjadi begitu saja. Jadi tidak tiba-tiba juga.

KONTAN: Dahulu kenapa menjual lahan ke developer lain, seperti Jababeka, dan bukan membangunnya sendiri?

BENNY: Untungnya lebih cepat. Kami menghitungnya seperti ini. Betul, jika dibangun sendiri itu untungnya lebih gede, tapi butuh waktu lama.

Misalnya modal kita per m2 Rp 50.000, kalau kami bangun sendiri, waktu itu kami bisa jual menjadi Rp 300.000. Dari modal Rp 50.000 lalu dijual Rp 300.000 memang untung, tetapi waktunya lama. Tanah kami luasnya ratusan hektare, sekali launching paling hanya habis 5 ha atau 10 ha. Butuh berapa tahun untuk menghabiskan seluruh cadangan lahan?

Ya akhirnya kalau ada developer yang butuh, asal bisa kasih kami untung, ya kami kasih. Mereka memang tidak memberi kami Rp 300.000, tapi meski hanya Rp 100.000, ya kalkulator kami juga lalu berhitung. Untung enam kali lipat, tapi butuh waktu 10 tahun atau untung hanya selipat, tetapi sekarang.

Godaan itu yang besar. Makanya saya putuskan jual saja sekarang, dapat untung lebih cepat, untuk kemudian cari tanah lagi. Menclok-menclok, habis jual tanah, cari tanah lagi.

KONTAN: Apa visi Anda untuk Hanson yang memiliki lahan luas di Maja?      

BENNY: Harus menjadi kota. Kami tipikal developer yang create value, bukan yang petak lari. Petak lari itu semisal membangun lahan seluas 10 ha, dipetak-petakin dijual, dan terus ditinggal pergi. Biasanya real estat yang seperti itu berantakan karena sudah tidak dirawat.

Developer juga kenapa harus merawat karena lahan sudah habis, menghabiskan ongkos, lebih baik, ya. ditinggal pergi. Kalau sudah seperti itu, biasanya real estatnya jadi kumuh atau minimal tidak berkembang.

Tapi kalau real estat yang punya lahan besar, semisal 500 ha, 1.000 ha atau 2.000 ha, developernya kan tidak pergi-pergi karena dia bangun jual bisa memakan waktu bertahun-tahun, belasan tahun atau bahkan puluhan tahun.

Nah, real estat seperti ini butuh komitmen, namun create value-nya juga lebih tinggi. Karena developernya tidak yang habis jual lalu pergi, dia akan berusaha untuk bisa lebih baik lagi, dan lebih baik lagi.

Pada awalnya kami jual rumah murah. Namun pada akhirnya kami juga menjual rumah kelas menengah, kelas atas, komersial. Bahkan kalau tanahnya sudah sangat mahal, kami juga bikin apartemen, mal, hotel. Itu yang namanya create value.

Seperti misalnya kami punya real estat keluarga di Solo, yaitu Solo Baru. Itu merupakan real estat modern pertama di Indonesia. Umurnya seumuran kawasan Pluit. Karena lahannya besar, 400 ha, otomatis kami tidak mungkin langsung bangun semua. Kami mulai dari menjual rumah murah terlebih dahulu. Sekarang, harga tanah di jalan Solo Baru sudah lebih mahal dari harga tanah di kota Solo.

Solo Baru itu dibangun sekitar 30 tahun yang lalu. Saat saya masih SMA.

KONTAN: Sekarang Anda masih aktif cari lahan-lahan baru?

BENNY: Iya. Saya diajari ayah saya hal yang tidak pernah salah. Dia mengajari saya untuk membeli tanah yang akan naik kelas. Semisal ada tanah ladang yang tandus, tetapi dekat dengan rencana pembangunan stasiun, jalan tol, pelabuhan, maka tanah itu kelak akan naik kelas menjadi kawasan properti bahkan komersial. Itu dari tanah yang awalnya cuma ladang.

Tanah yang naik kelas, tidak mungkin tidak untung. Di manapun harga rumah atau toko pasti lebih mahal dari tanah ladang atau sawah. Saya pun kemudian mengumpulkan tanah di Serpong hingga Maja, yang hampir semuanya ada di mulut mulut stasiun.

Kereta api bagusnya baru belakangan ini. Bapak saya sudah mengarahkan saya, tidak usah ikut-ikut mencari tanah di pinggir jalan tol, yang akhirnya harganya malah cenderung kelewat mahal. Kami beda sendiri, kami mencari tanah di pinggir stasiun kereta api.

Itu tahun 1990-an bapak saya sudah mengajari saya seperti itu. Otak bapak saya terlalu cepat. Padahal kereta api baru bagus lima tahun terakhir. Kalau bagusnya sudah dari tahun 1990-an mungkin kami sudah lebih makmur. Kereta api dulu jelek sekali, dan baru bagus lima atau enam tahun terakhir. Jadi booming properti dekat stasiun kereta api, ya baru akhir-akhir ini saja.

KONTAN: Anda melihat masih ada kemungkinan untuk mencari landbank yang besar di dekat Jakarta?

BENNY: Sulit. Makanya kami sudah tidak pernah dagang tanah lagi, karena saat ini jualnya gampang, belinya susah.

KONTAN: Jadi Anda saat ini lebih banyak bermain di tanah ketimbang di bursa?

BENNY: Tergantung Anda melihatnya dari mana. Tapi basic, tulang punggungnya ya dari punya banyak landbank.

Dulu banyak orang yang menganggap remeh pengadaan tanah. Dulu persepsi orang yang hebat itu yang bangun, bukan yang punya tanah.

Namun saya punya persepsi lain. Orang yang menguasai bahan baku, kok bisa kalah sama orang yang garap. Tuan tanah kok kalah sama tukang nyangkul. Dari zaman Adam Hawa, orang berperang karena rebutan tanah. Jadi saya berfikir, masa tuan tanah kalah kaya dengan yang nyangkul. Kalau kita ngomong logika, harusnya tuan tanahnya dong.

Sekarang terbukti, yang punya tanah lebih kuat daripada yang bangun. Kita bisa cari orang untuk membangun, cari kontraktor, cari arsitek, cari developer, jumlahnya ribuan. Tapi kalau kita mau cari tanah di Jakarta yang luasnya ribuan hektare, siapa yang punya?  Yang punya tanah ribuan ha di Jakarta ini, ya cuma segelintir orang saja.

Hampir setiap hari saya didatangi orang yang siap membangun tanah saya.Tidak di Maja saja, tetapi dimana-mana.

KONTAN: Adakah pengalaman paling tidak menyenangkan di bisnis tanah?

BENNY: Paling tidak enak ya saat kena krisis ekonomi 1998. Itu bisnis mati, benar-benar seperti tidak ada harganya. Yang beli tidak ada, dan saat itu hukum seperti tidak ada. Banyak penjarahan, kami capek sekali. Tanah sembarangan main patok, didudukin, penduduk liar, capek sekali waktu itu. Hukum saat itu tidak jelas.

KONTAN: Untuk menjaga agar tanah tidak didudukin?

BENNY: Ya kami jaga. Ratusan orang kami pakai untuk menjaga aset tanah.

KONTAN: Apakah krisis tahun 1998 itu sedemikian berat bagi bisnis Anda?

BENNY: Berat. Uang beredar hampir tidak ada, lalu bagaimana orang yang berdagang. Semua barang dijual murah tetap tidak laku. Utang dollar tiba tiba kena depresiasi rupiah, nilai utangnya tiba-tiba melonjak menjadi enam kali lipat. Sedangkan utang rupiah, bunganya sampai  60%. Mau utang untuk apa juga pasti akan mati.

Mau utang rupiah atau dollar, dua duanya akan mati. Utang rupiah bunganya 60%, utang dollar depresiasinya enam kali lipat. Barang dagangan tidak ada yang laku.

KONTAN: Apakah tidak ada celah sama sekali untuk mencari uang saat itu?

BENNY: Saat itu membingungkan. Sampai-sampai, empat bank yang memberi kami (Grup Batik Keris) kredit, juga tutup. Ada empat bank, seperti Bank Bira dan Bank Dharmala dan semuanya turup. Saat kami mau negosiasi utang dengan pihak bank, lo ternyata banknya sudah tutup.

Tetapi karena surat tanah kami di pegang bank, akhirnya kami menemui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Kami mendatangi BPPN, saya bilang utang kami harus bayar kepada siapa.

BPPN lalu mencari file-nya dan butuh waktu berbulan-bulan. Saat itu kalau kami tidak jujur, bisa saja kami langsung minggat tidak bayar utang.

Zaman itu kami punya banyak tanah. Sebelum ada lelang asset BPPN, kami sudah berbaik hati menawarkan kepada BPPN, mau dibayar pakai apa? Uang susah dicari, namun kami punya banyak aset tanah. Kami juga tunjukkan pabrik kami.

BPPN tidak mau dibayar pakai aset pabrik karena harus mengurusi ribuan buruh. Akhirnya, BPPN lebih memilih kami bayar pakai tanah.

Dahulu saya membereskan utang keluarga saya pakai tanah, karena tidak ada duit. Saya lunasi utang grup Hanson dengan 10.000 ha tanah.

KONTAN: Di mana lokasi tanahnya?

BENNY: Dulu di Maja. Setelah selesai, pabriknya diambil adik saya, dan 10 tahun yang lalu bangkrut pabriknya. Kalau tahu seperti itu, saya akan biarkan pabriknya hilang, tidak usah dibayar pakai tanah. Sebab bayangkan, tanah 1.000 ha di Maja saat ini harganya sudah triliunan rupiah.

KONTAN: Pabrik apa?

BENNY:  Primayuda. Dibeli oleh India, kemudian dibeli lagi ke Sritex (PT Sri Rejeki Isman Tbk). Sudah pindah tangan ke Sritex. pabrik spinning, di Boyolali. Salah satu pabrik yang modern saat itu. Tapi sayang, pabriknya modern dengan investasinya tinggi, ekonominya berantakan, zamannya salah.

KONTAN: Bicara soal keluarga, putra putri Anda ada berapa?

BENNY:  Anak saya dua. Yang nomor satu, kelas dua SMA. Sedangkan adiknya kelas dua SMP.

KONTAN: Apakah Anda mengarahkan mereka menjadi seperti ayahnya atau membebaskannya?

BENNY: Saya bebaskan. Mereka mau bisnis seperti saya boleh, mau kerja yang lain juga boleh. Mau jadi penyanyi, pelukis, pendeta juga boleh. Yang penting kalau saya, ingat Tuhan. Itu hal utama. Bisnis sukses atau tidak sukses, itu semua berkat dari Tuhan. Saya tidak akan memaksakan keinginan saya harus dituruti anak.

KONTAN: Jadi tidak ada harapan tertentu untuk anak?

BENNY: Saya tidak ingin anak harus begini harus begitu.

KONTAN: Anak apakah juga mulai suka berinvestasi saham?

BENNY: Belum. Cuma istri saya suka.

KONTAN: Anda hobi mengoleksi perangko? (Salah satu sisi dinding ruang rapat di kantor Benny tertutup oleh koleksi perangkonya)

BENNY: Senang saja, waktu kecil kalau lihat perangko yang lucu-lucu saya beli. Ini ada perangko tua, saya senang satu set, kalau dijejer jadi bagus.

KONTAN: Koleksi paling tua?

BENNY: 1975 kalau tidak salah.

KONTAN: Hobi ping-pong juga?

BENNY: Kalau ada pertadingan antar kota, saya sering mewakili Solo. Bukan pemain nasional juga, karena kalau jadi pemain ping-pong, tidak bisa jadi pemain saham seperti sekarang. Malah jadi pelatih ping-pong.

KONTAN: Kenapa suka ping-pong?

BENNY: Karena kumpulan saya pada ikut klub ping-pong, ya saya jadi main ping-pong. Jadi teman seumuran saya itu ikut klub, senang main. Dulu juga tidak ada gim canggih seperti sekarang. Jadi dulu hobinya ya olah raga ping-pong itu tadi. Kalau sudah ikut seleksi kejuaraan dan bisa juara, itu bangganya setengah mati. Kepuasannya di sana, bisa juara, senangnya setengah mati.

Tapi kisah anak saya lain lagi. Dulu dia suka badminton. Saya tanya apakah dia mau ikut klub badminton, dia bilang mau, maka saya bawa ke PB Djarum. Saat bagian mukul-mukul, anak saya senang. Tetapi ketika latihan fisik, anak saya kaget. PB Djarum kan pencetak atlet. Minggu berikutnya, anak saya tidak mau latihan lagi.

Padahal Kalau disuruh latihan fisik, kami dahulu mau, karena ingin sekali jadi juara. Dulu kami latihan lari kuatnya cuma 2 km, tapi dipaksa lari sampai 9 km dan akhirnya bisa. Itu waktu saya masih SMP SMA latihan fisik lari sampai 9 km, lompat tali sampai 1 jam, latihan ping-pong ber jam-jam.

Anak sekarang disuruh latihan fisik, malah ngambek. Di suruh push up, squat jump, tidak mau.

KONTAN: Itu anak yang nomor berapa?

BENNY: Yang suka bulutangkis ini anak laki-laki, yang nomor dua. Anak pertama saya perempuan, dia sukanya seni.

 

KONTAN: Keinginanan atau cita-cita Anda yang belum tercapai?

BENNY: Kalau utang sudah lunas, duit banyak, maunya nyumbang-nyumbang. Berbuat untuk banyak orang.

KONTAN: Apa ini karena pengaruh Pak Tahir?

BENNY: Apa yang dilakukan Pak Tahir, 100% saya setuju. Semakin kita kaya, pastinya juga semakin tua. Mau makan enak, banyak pantangannya. Makan semakin sedikit bukan makin banyak.

Jadi uang banyak buat apa lagi, kalau tidak untuk membantu sesama? Itu kalau utang sudah beres. Kalau utang masih banyak, ya, bayar utang dulu.

KONTAN: Ikut juga dalam kegiatan filantropi yang dipelopori Tahir?

BENNY: Saya ikut sedikit saja.Untuk urusan sosial, Pak Tahir sangat cocok untuk jadi panutan.

KONTAN: Karena jadi panutan, makanya ikut berkantor di gedung yang sama?

BENNY: Itu karena Pak Tahir sangat baik, Dia minta saya tidak kemana-mana. Pak Tahir sudah berteman akrab dengan ayah saya sejak dulu, bukan saja hanya hubungan kreditur dan debitur. Umur ayah saya dengan Pak Tahir hanya terpaut sedikit, lebih tua ayah saya sedikit.

KONTAN: Seperti apa filosofi kepemimpinan Anda?

BENNY: Saya punya prinsip, melayani itu lebih mulia ketimbang dilayani. Saya tidak suka pemimpin yang nge-bossy, tapi dia sendiri tidak mau kerja, saya tidak suka.

Makanya untuk Presiden sekarang ini, saya salut bukan karena dia orang solo, tetapi karena dia benar-benar mau capek kerja. Bukan cuma blusukannya, tetapi capeknya kerja itu lo. Dia keliling Indonesia, nyaris tidak ada istirahatnya. Makanya menterinya juga jadi rajin rajin-kerja.

Kalau atasannya kasih contoh seperti itu, maka bawahannya juga akan ikut. Kalau atasannya gaya bossy doang, nge-bossy, maka yang layer kedua juga cuma bisa perintah doang ke layer bawahnya lagi.

KONTAN: Sering memberikan reward and punishment kepada karyawan?

BENNY: Di tiap level saya selalu kasih penghargaan. Di divisi pembebasan tanah, saya kasih penghargaan. Tapi kalau nggak beres ya saya kejar juga. Marketing juga ada reward-nya, mereka bisa jual banyak unit, juga ada reward.

Saya sempat dapat komplain dari bagian akunting karena katanya tidak memberikan reward kepada mereka. Saya tegaskan, selama saya masih dikejar-kejar pajak karena dibilang tidak patuh atau apa, atau dikejar OJK, BEI, kena surat peringatan, selama saya kena yang konyol-konyol sepertti itu, salah pajak, didenda OJK karena telat audit, ya saya bilang tidak ada bonus.

Mending bonus yang harusnya saya kasih Anda saya pakai untuk ambil pegawai satu lagi, supaya kerjanya beres. Saya orangnya simpel.

KONTAN: Forbes menobatkan Anda masuk jajaran 50 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sebesar US$ 670 juta. Komentar Anda?

BENNY: Banyak yang lebih kaya daripada saya. Kalau soal hitungan luas lahan, itu kan milik public company, bukan milik pribadi saya. Milik Hanson sekitar 4.000 hektare (ha). RIMO 1.500 ha. Di luar Hanson dan RIMO ada sekitar berapa ratus atau sekitar 1.000 ha lebih. Ya kalau total grup, 6.000 ha ada. Tetapi itu bukan milik pribadi, mayoritas milik public company.

Terbaru