KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Terbukti, perang di era digital bukan saling menyiagakan moncong senapan, serangan udara atau pendaratan infanteri. Perang ekonomi atau perang dagang kini menyelimuti dunia. Geopolitik dan ekonomi memanas, seiring kebijakan tarif resiprokal yang akan diberlakukan Amerika Serikat (AS) pada 9 April esok.
Pasar keuangan terpapar paling awal. Bursa saham sejagat anjlok. Bursa saham Indonesia menanti giliran hari ini, setelah libur panjang Lebaran. Sementara kontrak rupiah off shore alias kontrak non deliverable forward (NDF) yang diperdagangkan di pasar luar negeri sempat menyentuh Rp 17.006 per dolar AS, usai Presiden AS, Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif impor ke sejumlah negara.
Kemarin, rupiah bertengger di Rp 16.821,5 per dolar AS. Bank Indonesia (BI) cuma menggarami air laut dengan intervensi di pasar NDF.
Sudah saatnya pemerintah mengambil tindakan nyata. Tak perlu mengeluarkan pernyataan retorika. "Semua negara di dunia jeblok atau ini faktor global". Secara fundamental, Indonesia sangat lemah. Tengok saja risiko investasi alias Credit Default Swap (CDS) per Senin (7/4) menyentuh 122,82. Tertinggi sejak September 2022, saat pandemi Covid 19 masih berkecamuk.
Mari kita bandingkan. Kemarin CDS Malaysia di 57,19 dan CDS Filipina di 57,35. Artinya risiko berinvestasi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Filipina.
Pemerintah juga sebaiknya tak lagi beretorika. Seperti jargon antek asing atau saat masa Joko Widodo, "Ada Rp 11.000 triliun uang kita di luar negeri". Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, juga harus berperan aktif. Jangan terus melaksanakan kunjungan yang terkesan untuk persiapan pemilu 2029.
Menghadapi tarif Trump ada dua pilihan. Pertama, langkah gercep Vietnam. Sehari setelah pengumuman tarif impor, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, Tom Lam langsung menelepon Trump. Negeri yang pernah berperang dengan AS dan jadi basis produksi China itu, membahas penghapusan tarif AS. Trump juga mengadakan pembicaraan dengan India dan Israel. Pilihan kedua, mengikuti China yang membalas AS dengan tarif 34%.
Bagaimana Indonesia? Negara yang katanya Macan Asia ini baru akan bertolak ke AS paling lambat 17 April 2025. Sepertinya, bagi penguasa, libur panjang lebih penting dibanding mengurus negeri yang sedang dalam keadaan genting. Negeri ini tidak bisa diurus dengan mode autopilot. Perlu gercep.