KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena social commerce kini semakin mendapat tempat di hati masyarakat.
Namun, platform yang berada di ruang kosong regulasi ini sejatinya menyisakan banyak persoalan yang harus diwaspadai pemerintah. Jika tidak, ia akan segera menjelma ledakan bom yang menyisakan puing-puing persoalan dalam berbagai aspek.
Dari sisi perlindungan konsumen, misalnya, social commerce minim pengawasan. Tak ada jaminan produk yang dijual di social commerce adalah barang asli atau palsu.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan platform ini menjadi tempat transaksi barang ilegal maupun barang bermasalah karena tidak diregulasi secara ketat layaknya e-commerce.
Bahkan, banyak juga peristiwa penipuan yang terjadi dalam transaksi social commerce. Kemudian dari sisi perdagangan, platform social commerce, seperti halnya TikTok, bisa memicu semakin dalamnya defisit perdagangan antara RI dengan Tiongkok.
Maklumlah, platform asal Tiongkok itu seolah kapal kargo besar yang siap membawa produk impor dari negaranya untuk dipasarkan di Indonesia.
Terbukti, banyak data menyebutkan hingga 95% produk yang dijual di social commerce berasal dari impor. Bisa jadi yang jualan lokal, tapi produknya dari China.
Bahkan, disebut-sebut Project S TikTok merupakan agenda yang dijalankan platform social commerce asal China melalui Tiktok Shop untuk memperbesar bisnisnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Melalui Project S, Tiktok dicurigai akan menggunakan data mengenai produk yang laris di suatu negara untuk diproduksi di China.
Jika itu yang terjadi, bukan saja memperdalam defisit perdagangan dengan Tiongkok, UMKM lokal juga bakal tersapu gelombang besar produk impor yang dikenal dengan harganya yang serba murah meriah.
Terbukti, berberapa survei menyebutkan, banyak konsumen Indonesia senang berbelanja di social commerce karena harganya lebih murah ketimbang e-commerce.
Dilihat dari aspek ini, social commerce jelas menjadi ancaman bagi UMKM lokal. Platform yang sejatinya buat sarana komunikasi ini bisa jualan barang dengan harga miring lantaran memang tidak kena pajak.
Jelas tidak ada level playing field yang sama dengan e-commerce, sehingga persaingannya tidak sehat.
Menyikapi itu, pemerintah perlu mengatur social commerce dengan tegas. Jangan biarkan platform seperti TikTok Shop menjadi social commerce liar karena berada di ruang kosong regulasi