Minat Investasi ESG Hidup di Tanah Air meski Redup di Pasar Global

Senin, 25 Agustus 2025 | 07:14 WIB
Minat Investasi ESG Hidup di Tanah Air meski Redup di Pasar Global
[ILUSTRASI. U.S. Dollar and Euro banknotes are seen in this illustration taken July 17, 2022. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration]
Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

Sejak Februari lalu, Gedung Putih dan berbagai kantor federal di Amerika Serikat (AS) kembali beralih ke sedotan plastik. Kebijakan ini bermula dari Presiden Donald J. Trump yang mengeluarkan executive order berisi larangan penggunaan sedotan kertas lantaran lebih mahal tapi lebih berisiko mengganggu kesehatan.

Perintah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai salah satu manuver Trump mengkonter pentingnya penerapan strategi lingkungan, sosial, dan tata kelola atawa ESG.

Bahkan yang terbaru, Trump dalam sosial media miliknya Truth Social menegaskan, tidak akan memberi persetujuan terhadap proyek panel surya dan pembangkit listrik tenaga bayu atau angin karena merusak lahan pertanian. Dan, proyek semacam ini hanya menyebabkan kenaikan tarif listrik.

"Negara manapun yang membangun dan mengandalkan kincir angin dan tenaga surya mengalami kenaikan biaya listrik dan energi yang memecahkan rekor. Kami tidak akan menyetujui tenaga angin maupun solar yang merusak para petani!" tulis Trump, dikutip Bloomberg, Rabu(20/8).

Ini hanya salah satu sikap Trump yang seakan mengerdilkan penerapan ESG yang sudah diupayakan selama sepuluh tahun terakhir. Pemerintahan Trump sebelumnya memutuskan membatasi portofolio ESG dalam pengelolaan dana pensiun, menarik diri dari perjanjian iklim Paris Agreement, memangkas regulasi emisi, mendorong penghapusan inisiatif diversity, equity, and inclusion (DEI), dan mempercepat proyek berbahan bakar fosil.

Konflik politik ini pun berimbas kepada strategi investasi para fund manager global, di mana mereka dituduh melakukan eksploitasi agenda iklim dan kekuatan market untuk menekan perusahaan batubara agar memangkas produksi dan mengurangi emisi lebih dari 50% pada 2030 mendatang.

Akibat ulah ketiganya, fund manager raksasa seperti  Blackrock, Vanguard, dan State Street digugat. Para penggugat yang terdiri dari pemerintah negara bagian Texas dan sepuluh negara pro-Republik lain bilang, produsen batubara mengalami kenaikan biaya, yang ujungnya menaikkan biaya tagihan listrik rakyat AS.

Sekadar informasi, Blackrock, Vanguard, dan State Street, ketiganya memiliki dana kelolaan total lebih dari US$ 26 triliun di pasar global.

Pengadilan Federal yang dipimpin Hakim Jeremy Kernodle menolak permintaan para tergugat untuk membatalkan gugatan yang diajukan Texas cs di awal Agustus lalu.

Blackrock, dikutip dari Reuters, menjawab bahwa tuduhan Texas mengenai investasinya di perusahaan batubara adalah tidak berdasar sama sekali. Malah, sikap Texas merusak reputasinya sebagai negara bagian yang pro bisnis.

Tekanan yang diterima lembaga keuangan investasi ini tak hanya itu. Pada Juli lalu, 21 negara bagian di AS juga mengirim surat resmi kepada CEO Blackrock, JPMorgan Chase, Goldman Sachs yang berisi peringatan agar tidak lagi menyelipkan agenda hijau seperti isu keberlanjutan, iklim, termasuk regulasi Uni Eropa mengenai laporan keberlanjutan CSRD ke dalam strategi investasinya.

Mereka menuduh manajer aset raksasa ini sudah melenceng dari prinsip fidusia tradisional, yaitu mengutamakan kepentingan investor. Mereka dianggap menggunakan alasan ESG dalam dalih mitigasi investasi jangka panjang.

Sejatinya, Blackrock sudah mulai mengurangi eksposur di ESG terimbas tekanan politis ini. Bersama dengan State Street, Blackrock keluar dari Climate Action 100+ pada Februari lalu, menyusul Vanguard yang sudah meninggalkan inisiatif net zero emissions.

Namun, arus tekanan di Nageri Paman Sam masih tetap deras, di mana Investor AS  terus memangkas investasi di portofolio ESG.

Mengutip data Morningstar, investor AS menarik US$ 5,7 miliar dana dari reksadana dan ETF bertema sustainability dan ESG selama kuartal II-2025. Jumlah ini menambah gelombang eksodus dari investasi hijau yang sudah keluar US$ 6,5 miliar di kuartal I.

Namun, sebagai pemimpin liga hijau internasional, investasi Blackrock di portofolio keberlanjutan dan ESG tetap melesat, berkat antusiasme segar dari warga Uni Eropa. Di akhir kuartal II-2025, aset terkait ESG di manajer investasi ini sebesar US$ 466 miliar, naik dari akhir kuartal I-2025 yang sebesar US$ 403 miliar. Blackrock sendiri memiliki AUM US$ 12,53 triliun di akhir Juni 2025 lalu.

Total aset ESG terbesar kedua dimiliki UBS, termasuk Credit Suisse sebanyak US$ 186,1 miliar, diikuti Amundi sebesar US$ 184,9 miliar. Vanguard mengelola aset ESG senilai US$ 63,5 miliar.

Saham ESG di Indonesia

Di Indonesia, investor asing, termasuk fund manager, seperti Blackrock, State Street, Norges Bank, cenderung masih keluar dari bursa saham Tanah Air. Ini terlihat dari nilai jual bersih asing atau net foreign sell Rp 53,57 triliun year to date hingga rabu lalu (20/8). Tak terkecuali dari saham-saham dengan skor ESG terbaik.

Mengutip Bloomberg, Norges Bank, misalnya, mempertahankan kepemilikan 127,89 juta saham PGEO sejak akhir 2024. Namun, dibanding kuartal kedua tahun lalu, kepemilikannya turun 9%.

Sementara State Street Corp meningkatkan kepemilikan lima kali lipat di PGEO menjadi 30,18 juta saham hanya dalam waktu April-Juni 2025.

Di saham BMRI, Vanguard cenderung mengurangi kepemilikan dengan mengempit 1,87 miliar saham di akhir Juni 2025, sementara pada akhir Juni 2024 masih 2 miliar saham. Sedangkan Blackrock memiliki 1,42 miliar saham BMRI dari sebelumnya 1,25 miliar saham.

Berbeda dengan sikap fund asing, manajer investasi di Indonesia terus berkomitmen mendorong kepemilikan portofolio investasi ESG. Bahkan, dengan strategi investasi, kinerja produk bertema ESG bisa mengalahkan benchmark.

Presiden Direktur Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana menganggap wajar jika ada tekanan terhadap investasi di ESG agar manajer investasi lebih fokus pada return. Menurut dia, mandat manajer investasi berbeda-beda.

"Mencari return setinggi-tingginya itu penting, tetapi penting juga berkontribusi pada masyarakat Indonesia," kata Jemmy menjelaskan ESG Style Sucor AM. Telah berdiri 28 tahun, Sucor AM mengelola aset Rp 32 triliun di akhir Juli lalu.

Menurut dia, risiko berinvestasi di perusahaan dengan prinsip ESG lebih rendah. Soalnya, perusahaan sejenis ini akan lebih hati-hati menghindari dampak sosial dan gugatan, sembari menjaga posisi utang dan pengelolaan biaya lebih baik. Belum lagi, saham ESG yang biasanya dari emiten besar (blue chip), biasanya memberikan yield dividend menarik.

Karena itu, meskipun tekanan terhadap investasi ESG bertambah ke depan, akan ada berbagai yayasan atau institusi lain yang tetap memilih investasi di produk ESG.

"Berinvestasi di aset ESG itu plus. Meskipun return-nya tidak terlalu tinggi, dari sisi keamanan menarik," ujarnya.

Salah satunya produk Sucor bertema ESG yakni Sucorinvest Sustainability Equity Fund yang memberi return 9,74% year to date. Investor bisa membandingkannya dengan tolok ukur Indeks Sri Kehati yang naik 0,99% dan IHSG naik 12,2% per Kamis (21/8). Saham yang paling banyak menjadi pilihan Sucor di produk ini antara lain BMRI, BBRI, BBTN, TLKM.

Direktur Investasi Sucor AM Dimas Yusuf melihat, saham-saham blue chip ini kemungkinan dilirik kembali karena ada rotasi investasi dari saham-saham bervaluasi tinggi seperti saham konglomerasi ke saham-saham bervaluasi menarik.

Head of Distribution Eastspring Investment Indonesia Reza Darma Putranto juga menegaskan, sebagai tangan manajemen aset dari Prudential Plc, Eastpring Indonesia mendukung investasi ESG. Bahkan, klien dan nasabah pun makin sering mempertanyakan nuansa ESG dalam produknya.

Dia bilang, sejumlah sektor menarik dilihat di semester dua tahun ini. Antara lain, saham-saham perbankan karena harganya yang sudah murah, konsumer, dan infrastruktur.

Strategi Eastpring agar produk reksadana bertema ESG-nya bisa outperform, contohnya, menjaga kas agar bisa menahan return ketika saham sedang turun serta memilih saham dengan ESG rating tertinggi. Eastpring Indonesia mencatatkan AUM Rp 60 triliun per akhir Juli 2025.

 

Pilihan saham

Meski tengah dilanda aksi jual asing, saham perbankan besar di Indonesia layak dipertimbangkan sebagai tujuan investasi. "Karena posisi IHSG masih didominasi oleh sektor finansial, maka saham-saham perbankan tetap harus diperhatikan," ungkap Reza.

Saham perbankan dengan skor ESG tertinggi, BMRI 9,84. Jika berdasarkan standar Sustainalytics, risiko bisnis Bank Mandiri terhadap ESG bisa diabaikan. Nilai ESG ini juga jauh lebih baik dibanding peers seperti BBNI, BBRI, danBBCA dengan skor ESG 21 (risiko sedang terhadap ESG).

Saham BMRI direkomendasikan beli 83,8% analis pasar yang mengkover saham ini. Target harga rata-rata di Rp 6.238. Pada Kamis (21//8), harganya di Rp 4.900 per saham.

Analis BRI Danareksa Sekuritas Victor Stefano melihat, penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) yang sudah empat kali dalam tahun ini akan memberikan imbas positif bagi bank dengan lebih ringannya biaya pendanaan (CoF). Dia memang masih berhati-hati terhadap kualitas aset perbankan. Tapi, ada peluang kenaikan dalam jangka pendek seiring dengan perbaikan likuiditas, valuasi yang lebih murah, dan kepemilikan asing yang lebih rendah. Harusnya, hal ini bisa menguntungkan saham-saham bank yang sebelumnya tertinggal. Dia merekomendasikan buy saham BMRI dengan target harga Rp 5.900.

Berkebalikan dengan BMRI, saham BBRI kembali dikoleksi asing. Vanguard meningkatkan kepemilikan menjadi 3,28 miliar saham di kuartal II-2025 dari akhir tahun lalu 2,9 miliar saham. Blackrock juga meningkatkan kepemilikan menjadi 2,34 miliar dari sebelumnya 2,18. Sedangkan Norges Bank mempertahankan kepemilikan di 1,19 miliar saham.

Saham BBRI direkomendasikan beli 76,9% analis pasar dengan target harga 12 bulan ke depan 4.582. Pada Kamis (21/8), harga BBRI di Rp 4.150.

BBRI mencatatkan penurunan laba 11,5% year on year di semester I-2025. Namun, Analis Sinarmas Purnama Putera melihat peluang perbaikan beban biaya kredit (cost of credit) dan pendapatan bunga bersih. Dia merekomendasikan buy BBRI di harga Rp 4.200 per saham.

Di sektor infrastruktur, investor asing ini cukup besar memegang saham TLKM dan JSMR.

Kepemilikan asing cukup stabil di saham TLKM. Bank of New York Mellon Corp misalnya mempertahankan kepemilikan 4,18 miliar saham sejak awal tahun ini. Vanguard memangkas kepemilikan menjadi 1,90 miliar dari sebelumnya 1,93 miliar. Sedangkan Blackrock menambah kepemilikan menjadi 1,43 miliar saham dari sebelumnya 1,36 miliar saham.

Analis Bahana Sekuritas Kevin Jonathan Panjaitan dalam risetnya melihat prospek positif saham TLKM. Dia menilai, TLKM harusnya tidak hanya dilihat sebagai bisnis konsumer tetapi perusahaan infrastruktur. Rencana konsolidasi bisnis aset fiber optik ke dalam PT Telkom Infrastruktur Indonesia akan menjadikan nilai anak usahanya ini mencapai Rp 90 triliun, atau dua kalinya aset fix Mitratel. Dengan besarnya peluang pertumbuhan ke depan, dia merekomendasikan buy saham TLKM dengan target harga Rp 3.850 per saham.

Tetapi, di JSMR, asing masih cenderung keluar. Vanguard Group Inc hanya mengempit 68,87 juta saham Jasa Marga di kuartal II-2025, turun dari awal tahun ini yang masih memiliki 85,39 juta saham.

Di luar aksi jual asing ini, Analis Sucor Sekuritas Christofer Kojongian merekomendasikan beli saham JSMR dengan target harga Rp 6.200. Dia yakin JSMR menjaga outlook positif kinerja keuangan, terutama dengan kenaikan tarif tol dan rampungnya proyek baru.

Hanya saja perlu diingat, rekomendasi saham ini bukan ajakan untuk membeli atau menjual saham yang bertema ESG. Meski risikonya disebut lebih rendah dibanding emiten lainnya, keputusan beli atau jual saham ESG sebaiknya telah melalui proses analisis fundamental terlebih dahulu.

Setiap keputusan investasi memiliki risiko yang ada di tangan masing-masing.

Selanjutnya: Sempat Mencapai Level Psikologis, IHSG Sulit ke 8.000, Ini Faktor-Faktornya

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Kenaikan Anggaran Bansos dan MBG Angkat Prospek ICBP dan MYOR di Tengah Risiko CPO
| Senin, 25 Agustus 2025 | 08:04 WIB

Kenaikan Anggaran Bansos dan MBG Angkat Prospek ICBP dan MYOR di Tengah Risiko CPO

Sektor consumer staples tetap menarik sebagai pilihan defensif, terutama saham emiten besar dengan skala bisnis luas dan pricing power kuat.

Faktor Eksternal Mempengaruhi Pergerakan Rupiah Hari Ini, Senin (25/8)
| Senin, 25 Agustus 2025 | 07:58 WIB

Faktor Eksternal Mempengaruhi Pergerakan Rupiah Hari Ini, Senin (25/8)

Powell menyoroti meningkatnya risiko pasar tenaga kerja AS, meski tetap mengingatkan bahwa risiko inflasi belum sepenuhnya hilang.  

Mengawali Pekan Ini, Hati-Hati IHSG Rawan Terkoreksi
| Senin, 25 Agustus 2025 | 07:49 WIB

Mengawali Pekan Ini, Hati-Hati IHSG Rawan Terkoreksi

Laju saham emiten-emiten berkapitalisasi pasar jumbo juga akan terkoreksi sehingga bisa membebani IHSG

Meski Pekan Lalu Koreksi, Outlook Saham Pelat Merah Tetap Stabil Hingga Positif
| Senin, 25 Agustus 2025 | 07:47 WIB

Meski Pekan Lalu Koreksi, Outlook Saham Pelat Merah Tetap Stabil Hingga Positif

Penguatan IDXBUMN20 belum didorong oleh emiten perbankan, yang merupakan penyumbang bobot terbesar bagi indeks tersebut.

Blackrock, Vanguard Ditekan Karena ESG, Bagaimana Komitmen MI di Indonesia?
| Senin, 25 Agustus 2025 | 07:14 WIB

Blackrock, Vanguard Ditekan Karena ESG, Bagaimana Komitmen MI di Indonesia?

Manajer asing raksasa cenderung melepas eksposur di portofolio ESG. Lantas, bagaimana komitmen manajer investasi Tanah Air?

Sempat Mencapai Level Psikologis, IHSG Sulit ke 8.000, Ini Faktor-Faktornya
| Senin, 25 Agustus 2025 | 07:09 WIB

Sempat Mencapai Level Psikologis, IHSG Sulit ke 8.000, Ini Faktor-Faktornya

Dari 40 perusahaan yang melaporkan, sebanyak 45% sesuai ekspektasi dan 40% lainnya meleset. Hanya 15% yang kinerjanya melampaui perkiraan. 

Masyarakat Banyak yang Membutuhkan, Kinerja Emiten Susu Meningkat
| Senin, 25 Agustus 2025 | 07:01 WIB

Masyarakat Banyak yang Membutuhkan, Kinerja Emiten Susu Meningkat

Tantangan membayangi kinerja emiten susu di semester dua tahun ini. Seperti rapuhnya permintaan kelompok menengah bawah

Dampak Suku Bunga Menurun, Emiten Ramai-Ramai Menerbitkan Obligas
| Senin, 25 Agustus 2025 | 06:56 WIB

Dampak Suku Bunga Menurun, Emiten Ramai-Ramai Menerbitkan Obligas

Jika emiten bisa merealisasikan dana hasil penerbitan obligasi, baik itu untuk ekspansi atau refinancing, diharapkan kinerja meningkat.

Menanti Dampak Kocok Ulang ke Anggota Indeks FTSE
| Senin, 25 Agustus 2025 | 06:51 WIB

Menanti Dampak Kocok Ulang ke Anggota Indeks FTSE

Investor masih dapat memanfaatkan momentum spekulasi pasar jangka pendek untuk emiten yang baru masuk ke dalam indeks FTSE. 

Ironi Raya
| Senin, 25 Agustus 2025 | 06:10 WIB

Ironi Raya

Apa artinya pertumbuhan ekonomi tinggi, gedung megah menjulang, deretan jalan tol, jika masih ada anak kecil meninggal karena cacingan dan TBC.

INDEKS BERITA

Terpopuler