KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguasa negeri ini kerap menyandangkan status yang hiperbola ke sebagian warganya. Di masa imbalan untuk guru minim, istilah pahlawan tanpa tanda jasa sangatlah populer. Lalu di masa pajak menjadi tumpuan pendanaan anggaran, slogan pembayar pajak adalah patriot bangsa sempat kencang bergaung.
Patriot, yang dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang cinta tanah air atau pembela tanah air, yang berani mendukung dan membela negaranya dengan gagah berani, akan kembali kerap terdengar.
Kata itu akan menjadi nama untuk obligasi yang diterbitkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Mengutip Bloomberg, pengelola dana kekayaan negara alias sovereign wealth fund itu akan menerbitkan obligasi patriot untuk mengumpulkan dana sebesar Rp 50 triliun, atau setara dengan USD 3,1 miliar.
Obligasi yang dikabarkan akan terbit pada 1 Oktober mendatang, terbagi atas dua tenor, lima tahun dan tujuh tahun. Nilai untuk masing-masing tenor sama besarnya, yaitu Rp 25 triliun.
Besaran imbal hasil yang ditawarkan sangat mungkin menjadi inspirasi pemberi nama obligasi yang akan terbit itu. Bayangkan, obligasi untuk kedua tenor itu sama-sama memberikan imbal hasil di bawah return pasar. Baik obligasi untuk lima tahun maupun tujuh tahun memberi return 2%.
Data pembanding yang disajikan Bloomberg, imbal hasil rata-rata obligasi pemerintah Indonesia tenor lima tahun adalah 5,8%. Sedang imbal hasil untuk obligasi Indonesia berjangka tujuh tahun 6,1%.
Melihat nilai dana yang diharapkan terkumpul dari obligasi patriot, tak sulit untuk menerka siapa yang dinominasi menjadi pembelinya. Siapa lagi kalau bukan pebisnis negeri ini yang memiliki kelompok usaha berskala raksasa. Istilah populernya, para konglomerat.
Mengapa mereka mau membeli obligasi yang punya imbal hasil di bawah market, sepertinya bukan pertanyaan yang relevan. Kalau Anda, atau saya, dengan turn over ratusan triliun rupiah, apa iya mau menolak permintaan membeli surat utang penguasa cuma karena alasan bunga rendah? Itu seperti berhemat dengan risiko yang tak sebanding.
Atas skema seperti ini, pertanyaan yang lebih pas mengarah ke Danantara sebagai pengelola dana dan pemerintah. Apa yang sudah disiapkan untuk memastikan dana berbiaya murah ini, bisa terpakai optimal untuk kepentingan negara?