KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang Ramadan lalu, emak-emak dikejutkan lonjakan harga kelapa bulat dan santan instan hingga dua kali lipat. Semula muncul dugaan lonjakan terjadi akibat fluktuasi normal menjelang Bulan Puasa. Ada pula orang yang menduga kenaikan harga disebabkan kelapa dan santan instan lebih banyak terserap dapur MBG. Belakangan muncul penjelasan dari pemerintah bahwa pasokan langka akibat ekspor kelapa bulat yang meningkat.
Ironisnya, Indonesia adalah produsen kelapa terbesar kedua dunia. Lebih dari 5,6 juta petani mengelola 3,34 juta hektar kebun. Mereka menyumbang 24% produksi global atau setara 2,89 juta ton (2023). Namun, akhir-akhir ini pasar domestik tak merasakannya. Catatan Pusat Data KONTAN menyebut sepanjang Januari-Februari 2025 China menyerap ekspor kelapa bulat asal Indonesia hingga 68.065 ton senilai US$29,5 juta! Ekspor besar-besaran ini mengurangi pasokan dalam negeri.
Kelangkaan kelapa bulat dan santan instan masih terus berlanjut hingga saat ini, berbulan-bulan setelah Ramadan dan Lebaran usai. Kini pemerintah merespon gejala ini dengan rencana kebijakan pemberlakuan pungutan ekspor kelapa bulat. Pemerintah berharap adanya "hambatan" ekspor ini pasokan kelapa bulat dan produk turunannya untuk pasar domestik bisa terjaga dan harga pun stabil.
Tak bisa disangkal, persoalan kelangkaan kelapa ini menjadi dilema. Pada satu sisi, ekspor berarti devisa dan peluang perbaikan penghidupan petani kelapa. Namun, pada sisi yang lain, kelapa adalah tulang punggung kuliner Nusantara. Rendang tanpa santan mustahil. Opor, lodeh, kari, hingga kue tradisional bergantung pada santan kelapa. Kelangkaan kelapa dan santan bisa menggerus identitas budaya kita.
Pungutan ekspor bisa dicoba, tapi pemerintah perlu mencari solusi yang lebih berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan memperluas dan merevitalisasi perkebunan kelapa. Termasuk di dalamnya penyediaan bibit unggul segala musim sekaligus dukungan untuk para petani kelapa. Dengan begitu, dalam jangka panjang peluang ekspor tetap bisa kita manfaatkan tanpa mengorbankan kebutuhan domestik.
Negeri penghasil kelapa tak boleh kesulitan santan di pasar sendiri. Ekspor penting, tapi melindungi warisan kuliner dari kelangkaan bahan dasarnya tak kalah mulia. Surplus beras yang begitu membanggakan jangan sampai menggelikan hanya karena sering-sering disantap sebagai nasi goreng!.