KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Senyum sumringah Hariyadi Sukamdani terus mengembang. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini penuh semangat menjawab pertanyaan Tabloid KONTAN seputar rencana pemerintah memberikan insentif pajak bagi industri yang melakukan program pendidikan vokasi serta kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan inovasi.
Ini kebijakan yang tepat, karena di beberapa negara sudah menerapkan hal serupa, kata Hariyadi, Rabu (6/3) lalu. Menurutnya, pelaku usaha memang membutuhkan insentif berupa pengurang pajak penghasilan (PPh) di atas 100% alias super deductible tax untuk mengembangkan pendidikan vokasi di tanah air. Dengan begitu, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten akan terpenuhi, sehingga bisa mendorong peningkatan produktivitas dan menjadikan industri lebih berdaya saing.
Hariyadi patut menarik nafas lega lantaran saat ini cukup banyak pengusaha yang sudah terjun dan berniat menggelar program pendidikan vokasi. Alhasil, mereka bisa menikmati fasilitas perpajakan tersebut. Cukup banyak yang berminat, hampir dari semua sektor industri. Tinggal mereka menunggu tawaran nyata dari pemerintah seperti apa, ujarnya.
Ya, belakangan pemerintah memang gencar mengembangkan SDM dalam negeri melalui berbagai program. Salah satunya, sekolah vokasi. Pemerintah bahkan sudah menyusun Peta Jalan (roadmap) Pendidikan Vokasi 20202024.
Tujuannya, tidak lain untuk mendorong industri manufaktur nasional agar siap menuju revolusi industri 4.0. Nah, untuk bertransformasi ke era industri digital tersebut, butuh reskilling supaya tenaga kerja lokal mampu berkompetisi.
Maka itu, vokasi atawa pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi atau keahlian menjadi krusial agar tenaga kerja Indonesia memiliki daya saing. Insentif super deductible tax nanti diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK), ungkap Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemperin).
Saat ini, Haris menjelaskan, pemerintah masih menggodok aturan main yang komprehensif mengenai super deductible tax tersebut. Tapi, Kemperin mengusulkan, pengurangan pajak itu sebesar 200% untuk vokasi serta 300% buat penelitian dan pengembangan (R&D).
Dan, Haris mengklaim, Kementerian Keuangan (Kemkeu) sudah menyetujui usulan tersebut. Hanya, Kemkeu masih perlu memperdalam lagi rencana super deductible tax itu, seperti besaran dan mekanisme pemberian insentif. Khususnya, untuk R&D, imbuh dia.
Angka super deductible tax memang jadi pembahasan yang cukup alot. Soalnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menginginkan besaran insentif pajak itu hanya sekitar 100%.
Sementara Kemperin bersikukuh besarannya masing-masing di angka 200% dan 300%, supaya tidak kalah dengan negara lain. Haris berharap, besaran super deductible tax yang kelak tertuang dalam PMK tetap sesuai usulan Kemperin. Usulan kami memang mengacu ke negara tetangga khususnya Thailand, jelas Haris.
Besaran insentif harus besar biar bisa menarik minat investor asing juga. Bila Indonesia berada di bawah negara tetangga, tentu kurang menarik di mata para pemodal. Kalau tidak menarik, ya, swasta tidak mau terlibat, cetusnya.
Nufransa Wira Sakti, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemkeu, mengatakan, sampai saat ini pembahasan super deductible tax untuk vokasi dan R&Dmasih terus berjalan. Belum diputuskan, berapa besaran insentifnya karena masih dibahas. Tetapi, mudah-mudahan bulan depan bisa selesai, ucap dia.
Yang jelas, Nufransa bilang, perusahaan yang melakukan pendidikan vokasi bisa mendapat potongan pajak hingga diatas 100%. Pemberian fasilitas ini, selain melengkapi insentif fiskal pembebasan dan pengurangan PPh untuk periode tertentu (tax holiday dan tax allowance), juga akan mengakselerasi industri manufaktur nasional supaya siap menuju revolusi industri 4.0.
Pengawasan
Selain besaran insentif, tim perumus juga fokus membahas soal kurikulum, mekanisme pengawasan, dan verifikasi kegiatan R&D. Sebelum memberikan insentif, tentu pemerintah perlu memastikan lebih dulu kegiatan perusahaan memenuhi persyaratan atau tidak. Nanti ada evaluasi dari kami, yang akan menilai yang dilakukan perusahaan merupakan kegiatan R&D, tambah Haris.
Selanjutnya, bukti-bukti kegiatan di bidang vokasi dan R&D tersebut akan Kemperin ajukan ke Kemkeu untuk verifikasi ulang. Yang menjadi subjek super deductable tax adalah industri yang menyiapkan biaya untuk pelatihan, mengirim tenaga kerja untuk pelatihan, serta mendirikan tempat diklat, dan membantu sekolah menengah kejuruan (SMK) menyediakan perlengkapan.
PMK kelak juga mengatur syarat-syarat tertentu yang perlu perusahaan penuhi bila ingin mengantongi insentif pajak dari kegiatan pendidikan vokasi dan R&D. Misalnya, hasil penelitian dan pengembangan harus berdampak besar pada perekonomian nasional. Contoh, meningkatkan daya saing produk, memacu ekspor, dan menyerap tenaga kerja. Jadi, kami berikan hanya kepada investasi untuk membangun alat-alat dan lain-lain, ungkap Haris.
Ini, menurut Haris, merupakan win win solution. Di satu sisi, pemerintah terbantu untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi seperti sekolah menengah kejuruan (SMK). Di sisi lain, industri bisa mendapatkan tenaga kerja yang kemampuannya sesuai kebutuhan. Sampai saat ini sudah lebih dari 750 industri dan 2.300 SMK yang terlibat, ujarnya. Nah targetnya, sampai akhir tahun 2019, program ini bisa melibatkan 900 perusahaan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, super deductible tax memang merupakan salah satu strategi pemerintah menghadapi revolusi industri 4.0. Selain insentif, pemerintah sudah merampungkan Peta Jalan Pendidikan Vokasi 20202024.
Pembuatan peta jalan ini merupakan arahan Presiden Joko Widodo. Sehingga ke depan, pengembangan pendidikan vokasi lebih terarah dan sesuai kebutuhan dunia industri.
Ada tiga poin penting yang pemerintah susun dalam peta jalan tersebut. Pertama, melakukan sinkronisasi pendidikan dan pelatihan. Kedua, upaya untuk mencegah ketidakcocokan antara kebutuhan dunia kerja dan sektor pendidikan. Intinya, bagaimana mencegah missmatch antara kebutuhan dunia kerja dan sektor pendidikan, kata Bambang. Ketiga, bagaimana mendorong kurikulum yang lebih memperbanyak unsur magang kerja.
Anggaran vokasi
Untuk mendukung pengembangan roadmap tersebut, tahun ini Kemperin menganggarkan dana hingga Rp 1,78 triliun untuk program pengembangan pendidikan vokasi. Uang itu mengalir buat program pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi menuju dual system, pembangunan politeknik di kawasan industri, dan pengembangan link and match SMK dengan industri.
Selain itu, anggaran tersebut untuk menjalankan pelatihan industri berbasis kompetensi dengan sistem 3 in 1 atau pelatihan, sertifikasi, dan penempatan kerja bagi 72.000 orang. Lalu, buat pembangunan infrastruktur kompetensi dan sertifikat kompetensi serta pembangunan SDM industri sebagai antisipasi industri 4.0.
Program dual system mengedepankan proses pembelajaran, dengan porsi 30% teori dan 70% praktik. Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri dengan dual system ini mengikuti negara-negara industri, seperti Jerman dan Swiss, yang sukses menjalankan program itu.
Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani menyebutkan, upaya pemerintah memperkuat pendidikan vokasi sudah sesuai usulan industri. Ini sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas SDM di era industri 4.0 nanti, ujarnya.
Menurut Rosan, beberapa kemampuan baru yang diperlukan pada era 4.0, misalnya, penguasaan coding dan teknologi finansial (tekfin). Kadin telah menggandeng lebih dari 2.000 perusahaan untuk berpartisipasi dalam program vokasi.
Pendapat senada juga datang dari Hariyadi. Ada banyak dukungan yang bisa dunia usaha berikan dalam mengembangkan pendidikan vokasi dan R&D di Indonesia, mulai pembangunan laboratorium pendidikan dan fasilitas pendidikan lainnya hingga menerima pemagangan. Kami juga bisa bekerjasama dan bersinergi menyiapkan kurikulum pendidikan vokasi yang bisa menjawab tantangan dunia kerja ke depan, kata dia.
Hanya, pengembangan pendidikan vokasi harus dikawal bersama, agar pelaksanaannya di lapangan bisa berjalan maksimal. Jangan sampai konsep bagus namun implementasinya jelek, cetus Hariyadi.
Tapi, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pemerintah harus memahami betul, apa itu industri 4.0. Jangan sampai karena terlalu euforia salah mengambil kebijakan. Kita pernah mengalami kesalahan ini, sebutnya.
Piter mencontohkan, saat booming industri perakitan handphone (HP) beberapa waktu lalu. Ketika itu, ramai merek ponsel lokal, seperti Advan dan Cross. Untuk melindungi mereka, lalu lahir aturan tentang tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Karena aturan itu, pernah, kan, iPhone seri 7 tak bisa masuk Indonesia. Lalu, Apple melobi akan bikin R&D di sini, ujarnya.
Akhirnya, iPhone pun bisa masuk dengan membangun R&D di daerah Serpong, Tangerang Selatan. Tapi, itu justru membuat Samsung kecewa dan memindahkan investasi ke Vietnam. Kita rugi banyak karena ternyata yang dibangun Apple di Serpong R&D ecek-ecek, tidak memberi benefit besar untuk kita, ungkap Piter.
Nah, hal-hal semacam itu jangan sampai terulang. Pemerintah tidak boleh terlalu euforia menghadapi industri 4.0. Tapi, harus memahami juga, bahwa semua industri tidak mesti langsung ke 4.0 dan menghapus era di bawahnya. Harus adil porsinya, jangan dilupakan industri di bawah era 4.0, jangan berlebihan menghadapi dan menyiapkannya, beber Piter.
Biar kejadian Apple dan Samsung tidak terulang, ya.