Draft Aturan Tambang Minerba Kembali ke Tangan Kementerian ESDM
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Istana Negara mengembalikan draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang usaha pertambangan Minerba kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Alhasil, RPP itu dalam kondisi status quo.
Alasannya, Menteri BUMN Rini Soemarno belum membubuhkan paraf di setiap lembar persetujuan beleid Perubahan Keenam Atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
"RPP tentang pertambangan dikembalikan ke Kementerian ESDM. Aturan tersebut belum diproses ke Presiden untuk ditandatangani," ungkap sumber KONTAN di lingkungan Istana, pekan lalu.
Sesuai mekanisme di Sekretariat Negara (Setneg), jika ada salah satu menteri terkait tidak menyetujui, maka beleid itu tidak bisa berlanjut ke Presiden."Apabila ada menteri yang diminta paraf di setiap lembar naskah tidak menyetujui karena ada masukan perbaikan, maka Setneg tidak memproses RPP itu untuk ditandatangani Presiden," kata sumber tersebut.
Adapun masukan perbaikan aturan mengacu Surat Menteri BUMN Nomor SR-141/MBU/03/2019, per 1 Maret 2019. Dalam surat yang ditujukan ke Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri BUMN Rini Soemarno meminta penyelarasan pada Pasal 112 draft RPP Minerba.
Pasal 112 draft RPP memungkinkan luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) pemegang PKP2B yang mendapatkan perpanjangan izin akan melampaui 15.000 hektare (ha). Hal itu melebihi batas yang diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 83 UU Minerba.
Dalam suratnya, Menteri Rini minta BUMN sebagai kepanjangan tangan negara mendapatkan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam.
Dibahas ulang
Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi bilang, bila ada keberatan atas sejumlah poin dalam RPP, pihaknya siap kembali membahasnya dengan kementerian terkait. "Kami belum mendapatkan surat. Jika betul begitu, tentu akan dibahas lagi di rapat antar kementerian," ujar dia kepada KONTAN.
Memang, kata Hufron, ada satu paket PP yang akan mengatur perpanjangan izin dan perubahan status dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ada pula aturan tentang perpajakan dan penerimaan negara dari bidang usaha batubara.
Sehingga wajar apabila sejumlah lembaga negara terlibat dalam penerbitan paket regulasi ini. Lembaga itu adalah Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno berdalih, surat dari Menteri BUMN tidak bermaksud meminta perlakuan khusus dan prioritas atas lahan PKP2B yang akan habis kontraknya. BUMN hanya memberikan penegasan agar revisi PP sesuai Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi berpendapat, permintaan Menteri BUMN atas penguasaan lahan merupakan sah dan wajar. Sebab, hal itu diatur dalam Pasal 83 UU Minerba.
Di sisi lain, perusahaan pertambangan yang masa kontraknya akan berakhir dalam waktu dekat meminta pemerintah segera menerbitkan revisi PP 23/2010. Para pengusaha mengharapkan adanya kepastian hukum dan investasi dalam jangka panjang.
Chief Executive Officer (CEO) PT Arutmin Indonesia, Ido Hutabarat mengemukakan, penerbitan beleid ini sangat penting lantaran berkaitan dengan kepastian hukum dan investasi di industri pertambangan batubara. "Kami perlu kejelasan, apalagi sektor batubara perlu investasi jangka panjang," ungkap dia kepada KONTAN.
Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung, Mochamad Kurnia Ariawan juga menyebutkan, sektor pertambangan telah berkontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, termasuk menghasilkan devisa, mengingat batubara merupakan komoditas andalan ekspor Indonesia.
Direktur Utama PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Garibaldi Thohir mengharapkan pemerintah mendukung penuh perusahaan nasional, tanpa membedakan antara perusahaan BUMN dan perusahaan swasta.