KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang berlangsung Rabu-Kamis (16-17/1) diprediksi mempertahankan kebijakan moneter ketat. Ekonom meramalkan BI tidak memangkas bunga acuan untuk mengantisipasi risiko eksternal.
"Bahaya kalau menurunkan suku bunga untuk saat ini, karena tren suku bunga global sedang naik," jelas Project Consultant Asian Development Bank Institute Eric Sugandi, Rabu (16/1).
Memang, nilai nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sudah kembali ke tren penguatan, ke kisaran Rp 14.100-an, dari akhir Desember 2018, yaitu Rp 14.481. Lalu, cadangan devisa menguat menjadi US$ 120,65 miliar per Desember lalu, dari US$ 117,21 miliar per November.
Dana asing juga terlihat mengalir masuk ke surat berharga negara (SBN). Dana asing yang parkir di SBN per 15 Januari 2019 mencapai Rp 899,19 triliun, naik Rp 5,94 triliun dari posisi per akhir 2018.
Risiko eksternal yang kini membayangi pasar global adalah kemungkinan kenaikan bunga acuan di Amerika Serikat. Menurut Eric, bila mau menurunkan bunga, BI lebih baik melakukannya begitu semester I berakhir.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menganalisa, saat ini adalah periode untuk menjaga stabilitas moneter. Kebijakan BI mempertahankan BI7 DRRR sebesar 6% akan menjaga nilai tukar rupiah stabil. "Ini penting untuk membantu menyehatkan neraca dagang yang defisit," kata Lana.
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto berpendapat, BI baru bisa menurunkan suku bunga acuan jika nilai tukar rupiah kembali ke level di bawah Rp 13.500 per dollar AS. Namun, Myrdal menilai hal itu sulit terjadi. BI diperkirakan akan menaikkan suku bunga acuan pada periode mendatang, sebanyak dua kali. "Itu pada Juni dan Desember, untuk merespon kenaikan bunga Fed," terang Myrdal.