KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mentransfer likuiditas jumbo Rp 200 triliun ke perbankan Himbara patut menjadi perhatian serius. Kebijakan ini seakan keluar tanpa kalkulasi yang matang. Padahal kebijakan ini bukanlah keputusan kecil.
Mengguyur likuiditas dalam jumlah raksasa tanpa adanya fondasi tata kelola perbankan yang kuat akan menempatkan direksi atau manajemen bank milik negara (Himbara) dalam posisi rawan! Mereka menghadapi tekanan serius: menyalurkan kredit Rp 200 triliun.
Dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan (15/9), Purbaya juga mengakui bahwa bankir pelat merah pusing dan hanya mampu menyerap Rp 7 triliun dari total dana Rp 200 triliun itu. Namun, ia nampak tak risau dan minta bankir Himbara ikut berpikir, bukan hanya dirinya.
Likuiditas Rp 200 triliun di perbankan Himbara saat ini bukanlah air pelepas dahaga saat musim kering. Likuiditas mereka banjir di aneka instrumen pemerintah dan Bank Indonesia (BI) karena sepinya permintaan kredit. Kini ada tambahan baru yang harus disalurkan.
Dalam kondisi seperti ini, target kredit bisa berefek serius, rawan moral hazard, risiko lemahnya penyaluran kredit yang sehat, belum lagi potensi ketidakseimbangan struktur keuangan bank.
Sebagai bendahara negara, Purbaya memegang tanggung jawab yang jauh lebih besar, dari sekadar mengalirkan dana. Kredibilitas anggaran adalah napas kepercayaan publik dan investor. Begitu kredibilitas itu digadaikan dengan kebijakan yang serampangan, kerentanan sistem keuangan nasional bisa meledak.
Purbaya juga harus mengingat bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan bukanlah sekadar angka dalam neraca negara. Itu adalah amanah rakyat. Bila kebijakan berujung pada kegagalan, biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung bangsa ini akan terlampau mahal.
Oleh karena itu, Menkeu seharusnya berhenti bersikap "koboi" dalam mengelola keuangan negara. Yang dibutuhkan saat ini adalah kepemimpinan fiskal yang berhati-hati, transparan, dan berorientasi pada keberlanjutan. Tanpa itu, rapuhnya sektor keuangan bisa menjadi awal runtuhnya pilar ekonomi nasional.
Dengan ukuran jumbo, bank Himbara seharusnya menjadi jangkar stabilitas, bukan ladang eksperimen kebijakan instan. Ini menjadi pertaruhan yang sangat berbahaya. Ingat, sektor keuangan itu rapuh. Sekali goyah, efeknya menjalar ke seluruh sendi perekonomian. Tentu, bukan itu yang kita inginkan!