KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siapa tidak kenal Sir Isaac Newton yang jenius? Ia adalah pakar fisika dan matematika Inggris ternama yang, antara lain, menemukan hukum grativasi.. Tapi pintar bukan jaminan bakal sukses berinvestasi saham.
Musim semi tahun 1720, Newton memiliki saham South Sea Company, saham yang paling panas di Inggris saat itu. South Sea adalah perusahaan yang diberi hak monopoli oleh Pemerintah Inggris untuk perdagangan di Amerika Selatan. Hak monopoli ini menarik para investor saham, akibatnya harga saham awal di sekitar £ 10 bergerak naik secara cepat.
Saat harganya sekitar £150, Newton bereksperimen membeli sedikit saham. Beberapa bulan kemudian, ketika harga saham sudah menjadi dua kali lipat, ia menjual sahamnya. Namun saham South Sea naik terus.
Newton iri melihat sahabat-sahabatnya kaya raya saat saham menyentuh harga £ 500. Ia membeli kembali saham South Sea dengan jumlah jauh lebih banyak saat harga £ 700. Harga South Sea naik hingga £ 950 dalam tiga bulan. Namun Newton belum mau menjual karena mengharapkan profit lebih besar. Celakanya, harga saham kemudian terjun bebas kembali ke level semula, sekitar £ 100 dalam waktu enam bulan.
Newton terpaksa jual rugi (cut loss). Rute perjalanan emosional Newton sebagai berikut: dari ketamakan ke kepuasan, dan kemudian dari
iri hati dan ketamakan yang lebih besar, berakhir dengan penderitaan.
Kita sebut saja fenomena ini sebagai Newton Syndrome. Total Newton rugi £ 20.000 atau sekitar Rp 300 juta. Hampir seluruh tabungannya habis. Newton berkata dengan getir, “I can calculate the movement of the stars, but not the madness of men”
Baca Juga: Bahaya Gelembung Saham
Gelembung saham pernah terjadi pada investor saham Amerika Serikat (AS). Mereka mengalami Dot-com bubble atau juga disebut tech bubble atau internet bubble, yakni fenomena bubble (gelembung) di pasar saham yang disebabkan oleh tindakan spekulasi pada saham internet dan telekomunkasi.
Antara periode tahun 1995 hingga Maret 2000, indeks saham Nasdaq naik 400% menjadi 5.042! Dari titik tertinggi ini, indeks Nasdaq jatuh 78% selama periode Maret 2000 hingga Oktober 2002, menghanyutkan US$ 5 triliun uang investor.
Pada akhir tahun 2001, mayoritas gelembung saham internet pecah. Bahkan saham teknologi blue chip seperti Cisco, Intel dan Oracle turun 80%. Butuh waktu 15 tahun bagi indeks Nadaq kembali ke level 5.000. Bayangkan nasib investor yang beli saham teknologi
dipucuk dan tidak cut loss.
Hal yang sama pernah terjadi di China. Juli 2015. Kepanikan melanda pasar modal China. Pemerintah China yang tadinya mendorong orang membeli saham, panik menghentikan investor saham yang panik menjual saham.
Bagaimana tidak, indeks harga saham di Bursa Efek Shanghai dan Shenzhen dalam waktu sebulan telah turun 32% sejak 12 Juni 2015. Duit investor saham yang menguap akibat stock market crash tersebut adalah US$ 3,2 triliun! Sebelumnya, indeks harga saham di kedua pasar saham China tersebut naik 150% selama kurun waktu Juli 2014 hingga 12 Juni 2015.
Tekanan jual yang begitu deras membuat 1.300 emiten menghentikan transaksi saham, membekukan nilai saham sebesar US$ 2,7
triliun alias 40% dari kapitalisasi pasar saham China. Financial atau stock market bubble terbentuk ketika harga saham melambung jauh di atas nilai wajar. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama.
Pertama, psikologi sosial. Misalnya, herding, yakni kecenderungan investor mengikuti tindak-tanduk kelompok (crowd). Pelaku pasar cenderung mencari cara mudah dalam memilih saham. Yakni pilih saham yang sedang populer, diminati banyak orang. Tindakan ini bisa mendorong harga sebuah saham naik tinggi dalam waktu singkat, yang akhirnya semakin mendorong investor lain untuk ikut membeli.
Bayangkan jika ada orang yang bertindak sebagai lokomotif yang menggerakkan harga sebuah saham sembari "pompom” saham tersebut lewat sosial media. Setelah lokomotif bergerak, otomatis gerbong akan mengikuti.
Kedua, greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) pelaku pasar. Keserakahan mendorong tindakan spekulatif pelaku pasar yang ingin dapat cuan besar secara cepat. Ketakutan akan kehilangan kesempatan meraup keuntungan besar alias FOMO-Fear of Missing Opportunity- membuat pelaku pasar lain ikut berspekulasi di saham yang sedang meroket.
Dalam kasus dot.com bubble, sejatinya mayoritas investor saham teknologi tidak paham model bisnis saham yang mereka beli. Mereka ikut-ikutan sensasi (hype) dan terkena virus FOMO. Pada tingkat ketidakrasionalan tinggi dan dorongan ingin cepat kaya, mereka membeli saham yang harganya sudah di bulan, dengan harapan harga masih bisa terbang ke Mars. Yang terjadi, harga crash kembali ke bumi
Warren Buffett memberi nasihat, jika investor tidak bisa mengendalikan emosi, ia tidak akan menjadi investor sukses. Setidaknya Newton, sang jenius ikut mengamini petuah Buffett ini.