Fenomena Newton Syndrome dan Gelembung Harga Saham

Senin, 27 November 2023 | 09:06 WIB
Fenomena Newton Syndrome dan Gelembung Harga Saham
[ILUSTRASI. Lukas Setia Atmaja, Founder Komunitas HungryStock]
Lukas Setia Atmaja | Founder Komunitas HungryStock

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siapa tidak kenal Sir Isaac Newton yang jenius? Ia adalah pakar fisika dan matematika Inggris ternama yang, antara lain, menemukan hukum grativasi.. Tapi pintar bukan jaminan bakal sukses berinvestasi saham.

Musim semi tahun 1720, Newton memiliki saham South Sea Company, saham yang paling panas di Inggris saat itu. South Sea adalah perusahaan yang diberi hak monopoli oleh Pemerintah Inggris untuk perdagangan di Amerika Selatan.  Hak monopoli ini menarik para investor saham, akibatnya harga saham awal di sekitar £ 10 bergerak naik secara cepat.

Saat harganya sekitar £150, Newton bereksperimen membeli sedikit saham. Beberapa bulan kemudian, ketika harga saham sudah menjadi dua kali lipat, ia menjual sahamnya. Namun saham South Sea naik terus. 

Newton iri melihat sahabat-sahabatnya kaya raya saat saham menyentuh harga £ 500. Ia membeli kembali saham South Sea dengan jumlah jauh lebih banyak saat harga £ 700. Harga South Sea naik hingga £ 950 dalam tiga bulan. Namun Newton belum mau menjual karena mengharapkan profit lebih besar. Celakanya, harga saham kemudian terjun bebas kembali ke level semula, sekitar £ 100 dalam waktu enam bulan. 

Newton terpaksa jual rugi (cut loss). Rute perjalanan emosional Newton  sebagai berikut: dari ketamakan ke kepuasan, dan kemudian dari
iri hati dan ketamakan yang lebih besar, berakhir dengan penderitaan. 

Kita sebut saja fenomena ini sebagai Newton Syndrome. Total Newton rugi £ 20.000 atau sekitar Rp 300 juta. Hampir seluruh tabungannya habis. Newton berkata dengan getir, “I can calculate the movement of the stars, but not the madness of men”

Baca Juga: Bahaya Gelembung Saham

Gelembung saham pernah terjadi pada investor saham Amerika Serikat (AS). Mereka mengalami Dot-com bubble atau juga disebut tech bubble atau internet bubble, yakni fenomena bubble (gelembung) di pasar saham yang disebabkan oleh tindakan spekulasi pada saham internet dan telekomunkasi. 

Antara periode tahun 1995 hingga Maret 2000, indeks saham Nasdaq naik 400% menjadi 5.042! Dari titik tertinggi ini, indeks Nasdaq jatuh 78% selama periode Maret 2000 hingga Oktober 2002, menghanyutkan US$ 5 triliun uang investor. 

Pada akhir tahun  2001, mayoritas gelembung saham internet pecah. Bahkan saham teknologi blue chip seperti Cisco, Intel dan Oracle turun 80%. Butuh waktu 15 tahun bagi indeks Nadaq kembali ke level 5.000.  Bayangkan nasib investor yang beli saham teknologi
dipucuk dan tidak cut loss.

Hal yang sama pernah terjadi di China. Juli 2015. Kepanikan melanda pasar modal China. Pemerintah China yang tadinya mendorong orang  membeli saham, panik menghentikan investor saham yang panik menjual saham. 

Bagaimana tidak, indeks harga saham di Bursa Efek Shanghai dan Shenzhen dalam waktu sebulan telah turun 32% sejak 12 Juni 2015. Duit investor saham yang menguap akibat stock market crash tersebut adalah US$ 3,2 triliun!  Sebelumnya, indeks harga saham di kedua pasar saham China tersebut naik 150% selama kurun waktu Juli 2014 hingga 12 Juni 2015.

Tekanan jual yang begitu deras membuat 1.300 emiten menghentikan transaksi saham, membekukan nilai saham sebesar US$ 2,7
triliun alias 40% dari kapitalisasi pasar saham China. Financial atau stock market bubble terbentuk ketika harga saham melambung jauh di atas nilai wajar. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama. 

Pertama, psikologi sosial. Misalnya, herding, yakni kecenderungan investor mengikuti tindak-tanduk kelompok (crowd). Pelaku pasar cenderung mencari cara mudah dalam memilih saham. Yakni pilih saham yang sedang populer, diminati banyak orang.  Tindakan ini bisa mendorong harga sebuah saham naik tinggi dalam waktu singkat, yang akhirnya semakin mendorong investor lain untuk ikut membeli. 

Bayangkan jika ada orang yang bertindak sebagai lokomotif yang menggerakkan harga sebuah saham sembari "pompom” saham tersebut lewat sosial media. Setelah lokomotif bergerak, otomatis gerbong akan mengikuti.

Kedua, greed (keserakahan) dan fear (ketakutan) pelaku pasar. Keserakahan mendorong tindakan spekulatif pelaku pasar yang ingin dapat cuan besar secara cepat. Ketakutan akan kehilangan kesempatan meraup keuntungan besar alias FOMO-Fear of Missing Opportunity- membuat pelaku pasar lain ikut berspekulasi di saham yang sedang meroket.

Dalam kasus dot.com bubble, sejatinya mayoritas investor saham teknologi tidak paham model bisnis saham yang mereka beli. Mereka ikut-ikutan sensasi (hype) dan terkena virus FOMO. Pada tingkat ketidakrasionalan  tinggi dan dorongan ingin cepat kaya, mereka membeli saham yang harganya sudah di bulan, dengan harapan harga masih bisa terbang ke Mars.  Yang terjadi, harga crash kembali ke bumi

Warren Buffett memberi nasihat, jika investor tidak bisa mengendalikan emosi, ia tidak akan menjadi investor sukses. Setidaknya Newton, sang jenius ikut mengamini petuah Buffett ini.                  

Bagikan

Berita Terbaru

Tarik Ulur Prospek Saham INDY, Reli Masih Bertumpu Cerita Tambang Emas
| Selasa, 16 Desember 2025 | 10:00 WIB

Tarik Ulur Prospek Saham INDY, Reli Masih Bertumpu Cerita Tambang Emas

Dengan level harga yang sudah naik cukup tinggi, saham PT Indika Energy Tbk (INDY) rentan mengalami aksi ambil untung.

Laba Kuartalan Belum Moncer, Saham Solusi Sinergi Digital (WIFI) Jadi Lumer
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:21 WIB

Laba Kuartalan Belum Moncer, Saham Solusi Sinergi Digital (WIFI) Jadi Lumer

Secara month-to-date, saham PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI)  sudah mengalami penurunan 5,09%. ​

Pemegang Saham Pengendali Surya Permata Andalan (NATO) Berpindah Tangan
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:16 WIB

Pemegang Saham Pengendali Surya Permata Andalan (NATO) Berpindah Tangan

Emiten perhotelan, PT Surya Permata Andalan Tbk (NATO) mengumumkan perubahan pemegang saham pengendali.

KKGI Akan Membagikan Dividen Tunai Rp 82,8 Miliar
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:11 WIB

KKGI Akan Membagikan Dividen Tunai Rp 82,8 Miliar

Besaran nilai dividen ini mengacu pada laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk KKGI per akhir 2024 sebesar US$ 40,08 juta. 

Arah Suku Bunga Bergantung pada Pergerakan Rupiah
| Selasa, 16 Desember 2025 | 09:06 WIB

Arah Suku Bunga Bergantung pada Pergerakan Rupiah

Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan menahan suku bunga acuannya pada bulan ini, namun tetap ada peluang penurunan

Menanti Cuan Bagus dari Rally Santa Claus
| Selasa, 16 Desember 2025 | 08:46 WIB

Menanti Cuan Bagus dari Rally Santa Claus

Saham-saham big caps atau berkapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia berpotensi terpapar fenomena reli Santa Claus.

Korporasi Kembali Injak Rem Utang Luar Negeri
| Selasa, 16 Desember 2025 | 08:42 WIB

Korporasi Kembali Injak Rem Utang Luar Negeri

Utang luar negeri Indonesia per akhir Oktober 2025 tercatat sebesar US$ 423,94 miliar               

Nasib Rupiah di Selasa (16/12) Menanti Data Ekonomi
| Selasa, 16 Desember 2025 | 07:00 WIB

Nasib Rupiah di Selasa (16/12) Menanti Data Ekonomi

Pada Senin (15/12), kurs rupiah di pasar spot turun 0,13% menjadi Rp 16.667 per dolar Amerika Serikat (AS).

Obligasi Korporasi Tetap Prospektif di Era Bunga Rendah
| Selasa, 16 Desember 2025 | 06:30 WIB

Obligasi Korporasi Tetap Prospektif di Era Bunga Rendah

Penerbitan surat utang korporasi pada tahun 2025 melonjak ke rekor tertinggi sebesar Rp 252,16 triliun hingga November.

 Harbolnas Mendongkrak Transaksi Paylater Perbankan
| Selasa, 16 Desember 2025 | 06:30 WIB

Harbolnas Mendongkrak Transaksi Paylater Perbankan

Momentum Harbolnas yang berlangsung menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) mendorong permintaan layanan paylater

INDEKS BERITA