Harga Acuan Melandai, Emiten Tambang Batubara Tak Revisi Target
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produsen batubara di dalam negeri belum mengubah target produksi dan penjualan menyusul tren penurunan harga dalam beberapa bulan terakhir. Hingga April tahun ini, harga batubara acuan (HBA) masih di bawah level US$ 90 per ton.
Per April ini, harga acuan batubara bertengger di level US$ 88,85 per ton. Angka ini menyusut 1,89% dibandingkan HBA Maret 2019 yang senilai US$ 90,57 per ton. Meski harga batubara menurun, sejumlah produsen batubara belum mengubah target bisnis pada tahun ini.
Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Suherman mengatakan, sepanjang kuartal pertama, volume produksi dan penjualan batubara masih sesuai target. Meski target produksi masih terjaga, tidak menampik tren penurunan harga batubara global berpotensi berdampak terhadap proyeksi pendapatan, terutama yang diperoleh dari penjualan ekspor.
Namun saat ini koreksi harga batubara tidak berpengaruh signifikan karena penurunan di pasar global masih di rentang perkiraan. "Penurunan harga tersebut juga tidak berdampak pada pendapatan dari penjualan domestik, terutama ke PLN. Sebab, HBA masih di atas US$ 70 per ton," ujar Suherman, Rabu (10/4).
Harga batubara acuan pada tahun inil memang terus melanjutkan tren penurunan dan tidak pernah mencatatkan kenaikan, terhitung sejak September tahun lalu.
Head of Corporate Communications PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira mengungkapkan, pihaknya masih belum terpengaruh oleh tren penurunan harga batubara. Adaro masih menjalankan produksi dan penjualan batubara sesuai proyeksi sepanjang tahun ini.
"Harga batubara memang enggak bisa diprediksi. Jadi kami fokus efisiensi dan operational excellence. Jadi kami belum terpengaruh," tutur dia saat dihubungi KONTAN, Selasa (9/4) lalu.
Meski belum menyebutkan detailnya, Nadira meyakinkan dalam tiga bulan di awal tahun 2019, volume produksi batubara Adaro sesuai target. Adapun sepanjang tahun ini, anggota indeks Kompas100 tersebut membidik produksi antara 54 juta hingga 56 juta ton.
Nadira mengaku, tren penurunan harga batubara juga tidak mengganggu penjualan. "Pasar kami saat ini sudah cukup terdiversifikasi. Jadi enggak akan menambah market baru juga," ungkap dia.
Sebagai informasi, Adaro Energy memasarkan 40% dari produksi batubara mereka ke pasar Asia Tenggara, termasuk 25% untuk pasokan dalam negeri. Sedangkan pasar China memiliki porsi 11%, India sebesar 14% dan negara di Asia Timur sebesar 30%.
Tak jauh berbeda, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebagai induk usaha PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia, juga masih belum merasa terkendala oleh tren penurunan harga batubara.
Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava menyebutkan, tren penurunan harga batubara tidak membuat perubahan pada target produksi yang dipatok manajemen, yakni di kisaran 88 juta hingga 90 juta ton. "Tidak ada perubahan sampai saat ini, KPC sebesar 60 juta ton, sementara Arutmin 28 juta ton-30 juta ton," ungkap direktur emiten anggota indeks Kompas100 ini, .
Sementara Direktur Keuangan PT ABM Investama Tbk (ABMM) Adrian Erlangga menganggap fluktuasi harga tetap akan berdampak terhadap kinerja keuangan Hanya saja, hal tersebut sudah diperhitungkan oleh perusahaan batubara.
Pasalnya, harga komoditas ini sangat sulit diprediksi. Alhasil, perusahaan hanya bisa mengontrol biaya (cost) dengan melakukan efisiensi operasional. "Pengaruh sih pasti, kan harga naik, margin tinggi. Harga rendah margin ikut rendah. Yang bisa dikontrol itu cost, dengan efisiensi," kata dia.
Bergantung China dan India
Di sisi lain, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum, Singgih Widagdo menilai, dengan porsi ekspor batubara sekitar 50% ke China dan India, maka sangat rasional jika kebijakan dari kedua negara itu sangat sensitif terhadap pembentukan harga dan perkembangan bisnis batubara Indonesia.
Oleh sebab itu, Singgih bilang, perlu ada diversifikasi pasar ekspor batubara Indonesia yang selama ini mayoritas ke China dan India. "Pasokan terhadap pasar batubara di Asia Tenggara perlu diperkuat, mengingat potensinya yang terus bertumbuh hingga tahun 2030," kat dia. Selain itu, Singgih menekankan pentingnya mencermati dinamika pasokan batubara karena tren harga yang terus menurun juga didorong kondisi oversupply yang ada di pasar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengamini harga batubara acuan (HBA) yang terus menurun merupakan alarm untuk mengendalikan pasokan sekaligus produksi batubara di Indonesia. "Ini memang alarm bagi kita bahwa pengendalian produksi sudah sangat penting," ungkap dia.