Harga Barang Terasa Mahal Meski Inflasi Rendah

Jumat, 13 Desember 2024 | 04:09 WIB
Harga Barang Terasa Mahal Meski Inflasi Rendah
[ILUSTRASI. Warga memilih pakaian di toko pakaian di The Hallway Space, Bandung, Jawa Barat, Senin (2/12/2024). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada November 2024 terjadi inflasi year on year (y-on-y) di Provinsi Jawa Barat sebesar 1,67 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,96 yang terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya indeks kelompok pengeluaran di antarannya yaitu kelompok penyediaan makanan dan minuman serta kelompok pakaian dan alas kaki. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.]
Ridho Ilahi | Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluhan tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah. Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42%, sedangkan pada 2023 hanya 2,86%. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55%, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?

Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula atau minyak goreng melambung tinggi. Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.

Baca Juga: Langkah RI Menciptakan Mini World Bank, Pembiayaan Khusus Untuk Infrastruktur Daerah

Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal. 

Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.

Baca Juga: Saham EMTK & SCMA Melejit, Berkat Kinerja Vidio Atau Sentimen Akumulasi Induk Usaha?

BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56% (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24% (mtm) pada November 2024. 

Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di level Rp 582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp 550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.

Baca Juga: Melelang Harta Koruptor nan Mewah

Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9%. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya "nyaris tidak miskin" bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan. 

Pangkas jalur distribusi

Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari. 

Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN

Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif. 

Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik." 

Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi

Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.

Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan. 

Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta

Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata. 

Bagikan

Berita Terbaru

CENT Berkolaborasi dengan WIFI dan Terbitkan Obligasi Rp 829,4 Miliar Untuk Ekspansi
| Senin, 27 Oktober 2025 | 08:45 WIB

CENT Berkolaborasi dengan WIFI dan Terbitkan Obligasi Rp 829,4 Miliar Untuk Ekspansi

Obligasi yang diterbitkan PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk dibeli induknya dengan bunga 5,16% per tahun.

Beban Meningkat, Laba Bersih Medikaloka Hermina Tertekan
| Senin, 27 Oktober 2025 | 07:54 WIB

Beban Meningkat, Laba Bersih Medikaloka Hermina Tertekan

Emiten pengelola Rumah Sakit Hermina itu mengantongi laba Rp 356,01 miliar, turun 23,95% secara tahunan atau year on year (yoy).

Waspada, Modus Penipuan Investasi Saham
| Senin, 27 Oktober 2025 | 07:42 WIB

Waspada, Modus Penipuan Investasi Saham

Dana langsung ditransfer ke rekening atas nama suatu PT. Padahal seharusnya ke rekening Rekening Dana Nasabah (RDN) atas nama nasabah.

Sektor Konsumsi Membaik, Meski Sudah Naik Saham UNVR, KLBF, & AMRT Masih bisa Dilirik
| Senin, 27 Oktober 2025 | 07:37 WIB

Sektor Konsumsi Membaik, Meski Sudah Naik Saham UNVR, KLBF, & AMRT Masih bisa Dilirik

Rotasi masih selektif karena investor masih menunggu kepastian arah inflasi dan konsumsi rumah tangga di kuartal IV.

Surya Semesta Internusa (SSIA) Bersiap Lakukan Restrukturisasi Anak Usaha
| Senin, 27 Oktober 2025 | 07:18 WIB

Surya Semesta Internusa (SSIA) Bersiap Lakukan Restrukturisasi Anak Usaha

Pelaksanaannya akan mengakibatkan beralihnya pengendalian atas SAM, SIH, BHM dan SSR dari yang semula berada di bawah perseroan.

Antara Gebrakan Kebijakan dengan Risiko Tatakelola
| Senin, 27 Oktober 2025 | 06:30 WIB

Antara Gebrakan Kebijakan dengan Risiko Tatakelola

Sejumlah kebijakan yang digulirkan Purbaya Yudhi Sadewa, kurang dari dua bulan masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan, menyedot perhatian

Saham Sektor Tertentu dan Emas Masih Prospektif di Tahun 2026
| Senin, 27 Oktober 2025 | 06:30 WIB

Saham Sektor Tertentu dan Emas Masih Prospektif di Tahun 2026

Pasar modal di Indonesia masih cukup volatil. Hal itu tidak lepas dari sentimen global yang mempengaruhi pasar modal.  

ESG Adi Sarana Armada (ASSA): Aplikasi ESG Dalam Ekspansi di Setiap Lini
| Senin, 27 Oktober 2025 | 06:24 WIB

ESG Adi Sarana Armada (ASSA): Aplikasi ESG Dalam Ekspansi di Setiap Lini

Perusahaan bisnis rental mobil dan logistik, PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) tetap ekspansif di tahun ini. Lihat penerapan aksi ESG perusahaan.

Tutup Celah, Cara Pungut PPN Emas Perhiasan Diubah
| Senin, 27 Oktober 2025 | 06:19 WIB

Tutup Celah, Cara Pungut PPN Emas Perhiasan Diubah

Transaksi emas perhiasan dari produsen ke pedagang emas maupun konsumen kena PPN 3%                 

Sentimen Ekonomi Global Jadi Penentu Pergerakan Rupiah
| Senin, 27 Oktober 2025 | 06:15 WIB

Sentimen Ekonomi Global Jadi Penentu Pergerakan Rupiah

Kombinasi inflasi yang lebih jinak dan imbal hasil yang stabil biasanya menurunkan dorongan penguatan dolar terhadap mata uang kawasan

INDEKS BERITA

Terpopuler