KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hujan di pekan pertama bulan November ini membawa atmosfer kelabu di pasar finansial Indonesia. Terutama di bursa saham. Mirip lirik November Rain dari Guns and Roses nan muram, situasi perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) memantik kegalauan dan kegundahan di kalangan pelaku pasar.
Memang, pada perdagangan saham kemarin (8/11), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu bangkit sebesar 43,3 poin atau 0,6% menjadi 7.287,19. Namun kenaikan tersebut belum mampu menghapus kerugian IHSG sepanjang pekan pertama bulan November ini. Dalam sepekan, IHSG tercatat minus 2,9%, turun 3,10% sebulan terakhir, dan hanya naik tipis 0,2% dari awal tahun.
Derasnya tekanan dana asing yang keluar dari bursa saham kita menjadi salah satu beban penekan yang membuat harga saham berguguran. Pada perdagangan kemarin, dana asing keluar Rp 2,22 triliun, minus Rp 2,4 triliun dalam sepekan, dan -Rp 7,43 triliun jika ditarik dalam horizon sebulan terakhir. Alhasil, kinerja IHSG menjadi yang terburuk di kawasan Asia.
Situasi di pasar obligasi juga tidak lebih baik. Harga surat utang negara (SUN) seri acuan cenderung turun seiring dengan keluarnya dana asing dari pasar obligasi Indonesia. Per 6 November lalu, dana asing yang keluar dari pasar obligasi lokal sekitar Rp 4,5 triliun, net sell pertama kali di pasar obligasi sejak April 2024.
Secara umum, pemburukan sejumlah indikator pasar keuangan dalam negeri terjadi setelah pergantian presiden dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024. Sepanjang 15 hari perdagangan saham sejak periode tersebut sampai kemarin, IHSG tercatat merah dalam 10 hari, dan lima hari mencatatkan kenaikan. Di periode ini, IHSG turun sebesar 6,24%, sementara rupiah turun sekitar 2% menjadi Rp 15.665 per dolar AS.
Melihat sejumlah sinyal ini, euforia pasar atas pergantian pemimpin baru agaknya sudah usai. Kini, pasar dihadapkan pada situasi sesungguhnya, dengan beragam sentimen yang ada. Mulai dari perubahan situasi baru geopolitik sirama terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, ekonomi China yang makin terpuruk, hingga maraknya PHK di dalam negeri.
Di tengah situasi inilah, kini, pasar menanti arah kebijakan ekonomi yang lebih terang dari pemerintahan baru. Sayang, alih-alih mendapat pencerahan, pasar justru masih diliputi kebimbangan melihat besarnya tim Kabinet Merah Putih yang berpotensi memicu kesemrawutan koordinasi dan memperpanjang birokrasi, maupun relevansi rencana Indonesia masuk kelompok BRICS.
Pasar juga masih belum mendapatkan gambaran jelas lagi tegas mengenai gagasan keberlanjutan pemerintahan. Entah itu keberlanjutan proyek infrastruktur, agenda hilirisasi komoditas unggulan, hingga kelanjutan proyek Ibukota Negara (IKN) Nusantara. Strategi pemulihan industri manufaktur serta cara meredam PHK juga jadi sorotan.
Nah, situasi sekarang jelas krusial. Ibarat di persimpangan jalan, sekalinya salah mengambil langkah, kita bakal terjerembab ke dalam situasi yang lebih runyam.
Pasar sudah memberikan sinyal bahwa kesabaran mereka mulai tipis dan kepercayaan mulai terkikis. Mereka membutuhkan upaya konkret untuk mengembalikan kepercayaan kepada negeri ini, terutama di bidang ekonomi, lebih dari sekadar retorika nasionalisme maupun kebesaran dan kekayaan yang dimiliki oleh negara ini.