Banyak pengguna telepon seluler mengganti teleponnya jika ada telepon seri terbaru yang lebih canggih dirilis. Rupanya, perilaku ini juga terjadi industri telekomunikasi. Mereka juga ikut perkembangan teknologi, salah satunya mengganti perangkat pemancar teknologi 3G ke 4G maupun ke 5G.
Nah, pergantian telepon seluler maupun pergantian teknologi pemancar ini akan menimbulkan sampah yang dikenal dengan sampah elektronik alias e-waste. Berbeda dengan sampah lainnya, sampah elektronik tergolong sebagai sampah B3 alias sampah berbahan berbahaya dan beracun.
Pengelolaan sampah elektronika inilah yang menjadi salah satu tantangan industri telekomunikasi termasuk bagi Telkomsel. Maria Advenita Gita Elmada, Dosen Komunikasi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) bilang, perusahaan telekomunikasi seperti Telkomsel memiliki tantangan cukup besar dalam menjaga pilar perlindungan perusahaan terhadap lingkungan.
Terutama terkait limbah elektronik yang perlu dikelola dengan baik sehingga tidak berdampak lebih besar terhadap perlindungan lingkungan, kata Maria kepada KONTAN. Pengelolaan sampah elektronika itu tidak hanya sampah dari cakupan I atau langsung dikeluarkan oleh Telkomsel saja, melainkan juga oleh cakupan 2 dan 3 atau dari pengguna jasa telekomunikasinya.
Maka itu, sewajarnya perusahaan telekomunikasi ikut mencarikan masalah atas sampah elektronika, khususnya sampah telepon seluler termasuk baterainya yang sudah menumpuk. Solusi untuk mengatasi masalah sampah elektronik ini juga menjadi penting, mengingat cepatnya peralihan teknologi telekomunikasi yang membuat banyak pengguna jasa telekomunikasi harus mengganti teleponnya.
"Telkomsel perlu juga memikirkan bagaimana perusahaan tidak hanya mengurangi dampak semata, tetapi juga memperbaiki ekosistem supaya menjadi lebih baik," tambah Maria. Untuk diketahui, Telkomsel sudah memiliki sustainability framework yang pilar utamanya adalah melindungi lingkungan, memberdayakan manusia, dan bisnis yang bertanggungjawab.