Investasi ESG 2025: Saham, Reksadana, Obligasi Hijau, Pilih Mana?

Minggu, 05 Januari 2025 | 09:10 WIB
Investasi ESG 2025: Saham, Reksadana, Obligasi Hijau, Pilih Mana?
[ILUSTRASI. Ilustrasi Investasi untuk lingkungan. KONTAN/Cheppy A. Muchlis]
Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Untuk mencapai dunia yang lebih hijau dan kehidupan sosial yang lebih baik, bisa dilakukan lewat investasi. Dalam beberapa tahun terakhir, investasi untuk lingkungan dan sosial atau investasi hijau semakin populer.

Gaya hidup yang memperhatikan kondisi bumi untuk generasi penerus, mendorong gaya investasi hijau di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Istilahnya, investasi yang bertanggung jawab secara sosial atau socially responsible investing (SRI). Investasi ini bertujuan mendukung perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab atas lingkungan, sosial, tata kelola yang baik atau ESG dalam kegiatan bisnis mereka.

Risky Aulia Ulfa, Strategic and Operation Team Green Business dari IDSurvey mengatakan, transisi energi sudah mendesak. Gas rumah kaca (GRK) berlebih bisa membawa bencana kepada manusia, alam, dan ekonomi.

Risiko terhadap manusia seperti terjadinya intensitas gelombang panas berlebih dan menyebabkan masalah dehidrasi serius. Bagi alam, ada kenaikan permukaan air laut, bencana kekeringan di suatu wilayah tetapi terjadi banjir di tempat lainnya. Kondisi perubahan iklim ini juga membawa risiko terhadap ekonomi karena ada gangguan di rantai pasok.

Berbagai perusahaan kini terdorong menerapkan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG). Apalagi, sudah ada regulasinya seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan.

Ada berbagai aksi pengurangan emisi oleh suatu perusahaan yang bisa dipertimbangkan oleh investor. Misalnya, perusahaan tersebut melakukan rehabilitasi lahan di bagian penggunaan lahan. Di bidang energi, investor bisa membidik perusahaan yang mengupayakan energi baru terbarukan (EBT), efisiensi energi, dan bahan bakar rendah emisi.

Perusahaan yang menjadi pilihan investor juga antara lain yang melakukan pengelolaan limbah dan bahkan memanfaatkan sampah.

Dari proses industri dan penggunaan produk (IPPU), investor bisa melirik perusahaan yang mengurangi eksposur batubara, seperti yang dilakukan industri semen dalam memangkas porsi klinker terhadap rasio semen. Atau perusahaan yang melakukan peningkatan teknologi dalam proses manufakturnya agar efisien dan efisien mengelola sumber daya bahan baku.

Bukan hanya untuk lingkungan, perusahaan dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) juga bisa jadi opsi investor. Apalagi, jika perusahaan menyusun dan mengimplementasikan transparansi dan taat regulasi dalam kode etiknya. Perusahaan dengan tata kelola yang baik dipercaya menjadi landasan bagi struktur dan budaya perusahaan yang fleksibel dengan tantangan dan peluang bisnis.

Untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan ini, ada beberapa pilihan instrumen. Misalnya berinvestasi langsung ke pasar saham, lewat reksadana bertema ESG dan keberlanjutan, serta di obligasi hijau.

Misalnya, investasi langsung di saham perusahaan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jika bingung, BEI sudah menyaring saham-saham pilihan dengan kriteria ESG di berbagai indeks.

Ada lima indeks ESG di BEI yang bisa dibuka investor. Bukan hanya menerapkan prinsip ESG, saham-saham ini juga dianggap likuid dan memiliki kinerja keuangan yang baik. Pilihan mengerucut ini bisa memudahkan pencarian saham-saham terbaik untuk tujuan investasi.

Pilihan indeks di BEI antara lain, IDX ESG Leaders yang mengukur kinerja harga dari saham-saham yang memiliki penilaian ESG yang baik dan tidak terlibat pada kontroversi secara signifikan, memiliki kinerja keuangan dan likuiditas transaksi yang baik. Penilaian ESG di indeks ini dilakukan oleh Morningstar Sustainalytics.

Selain itu, ada indeks yang dikelola oleh BEI bekerjasama dengan Yayasan Kenakeragaman Hayati (KEHATI). Indeksnya antara lain SRI-KEHATI, ESG Sector Leaders IDX KEHATI, dan ESG Quality 45 IDX KEHATI.

Indeks SRI-KEHATI mengukur kinerja saham 25 perusahaan tercatat dengan kinerja yang baik dalam melakukan usaha berkelanjutan, dan kesadaran terhadap lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola (SRI).

Indeks ESG Sector Leaders KEHATI berisikan saham-saham dengan kinerja ESG di atas rata-rata sektornya, tetapi juga memiliki likuiditas yang baik. Sedangkan Indeks ESG Quality 45 KEHATI berisikan 45 saham dengan kinerja ESG, kualitas keuangan, likuiditas yang baik.

Pada 2023 lalu, BEI meluncurkan indeks peduli perubahan iklim bernama IDX LQ45 Carbon Leaders. Indeks ini bertujuan mengurangi eksposur intensitas emisi karbon atas portofolio sebesar minimal 50% dibandingkan dengan Indeks LQ45 sebagai induk.

Selain berinvestasi di saham, ada juga instrumen lainnya untuk green investing, misalnya lewat reksadana bertema ESG dan obligasi hijau. Yayasan Kehati setidaknya bekerja sama dengan manajer investasi, meluncurkan 15 produk bertema ESG. Yang terbaru, November lalu, Eastpring Investments Indonesia meluncurkan Reksadana Indeks Esastpring ESGQ45 IDX Kehati.

Untuk obligasi hijau, penerbitannya belum terlalu banyak. Pemerintah maupun korporasi bisa merilis obligasi hijau ini. Yang terbaru, pada November lalu, Bank BJB (BJBR) merilis sustainability bond dengan target pengumpulan dana Rp 2 triliun. Kupon yang ditawarkan mulai dari 6,7% hingga 7,6%.

Untuk melihat pilihan investasi ESG yang menarik di tahun 2025, mari kita lihat peluang dan tantangannya.

Saham ESG

Naiknya popularitas penerapan aksi ESG di pasar belum berjalan beriringan dengan return yang diberikan oleh instrumen investasi ini. Indeks SRI-KEHATI misalnya, mencatatkan penurunan 14,03% sepanjang tahun 2024 lalu. Begitu juga dengan indeks ESG Sector Leaders KEHATI yang merosot dan Indeks ESGQ45 KEHATI yang masing-masing turun 12,08% dan 12,66%. Sebagai perbandingan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 2,65% tahun lalu.

Indeks ESGL juga tercatat turun 5,58% dan Indeks LQ45 Low Carbon Leaders melorot 13,31%.

Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani menjelaskan, penurunan indeks ESG karena merupakan indeks spesifik yang hanya berisikan puluhan saham. "Jadi, ketika saham seperti BBRI, TLKM, an UNVR jeblok, memberikan dampak lebih besar ke indeks ESG dibanding IHSG yang lebih luas," kata dia.

Memang, indeks ESG banyak memasukkan sektor bank ke dalamnya. Misalnya di SRI-KEHATI, sektor bank memberi bobot lebih dari 55%. Diikuti dengan saham infrastruktur dan material dasar yang juga merosot.

Untuk tahun 2025, dia merekomendasikan sektor konsumsi, energi, perbankan untuk menjadi pilihan investor. Saham teknologi juga menarik, tetapi lebih untuk trading.

Analis NH Korindo Ezaridho Ibnutama menilai, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di market tahun 2025. asar investasi tahun 2025 akan dipengaruhi oleh tiga tokoh di tahun 2025 ini, yaitu Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden China Xi Jinping, serta Presiden Indonesia Prabowo Subianto.

Trump memiliki sejumlah kebijakan yang kontroversial seperti perang dagang dengan China dengan ancaman menaikkan tarif. Kenaikan tarif ini bisa memunculkan kembali masalah inflasi di AS. Hal ini memunculkan perkiraan, kebijakan Trump yang memicu inflasi akan menjadi pendorong bank sentral AS Federal Reserve less dovish. "Artinya, The Fed kemungkinan tak memangkas bunga sebesar yang pasar perkirakan sebelumnya," kata Ezar dalam NH Korindo 2025 Market Outlook.

Hans Kwee, Direktur Anugerah Mega Investama dalam Market Outlook 2025 bersama Phintraco Securitas juga senada menilai, tahun depan kemungkinan ada shifting dari perang fisik menjadi perang dagang. Inflasi AS akan sulit ke bawah 2,4% dan menahan suku bunga AS. "Tadinya pasar berekspektasi The Fed akan memangkas sekitar 100 basis poin lagi, tapi sepertinya hanya 50 basis poin jika perang dagang memanas dan inflasi meningkat," kata dia.

Ke China, kebijakan Xi Jinping menjadi perhatian karena perang tarif bisa melemahkan ekonomi China yang melambat. Ini bisa mengakibatkan, China mengurangi permintaan terhadap komoditas ekspor andalan Indonesia seperti batubara dan minyak sawit (CPO). Keputusan China untuk menggelontorkan stimulus ekonomi juga ikut memukul bursa saham Indonesia. Asing keluar dari bursa saham, dengan nilai jual bersih atau net sell sebesar Rp 38,9 triliun dalam tiga bulan terakhir.

Di pasar domestik, ekonomi diselimuti proyeksi daya beli masyarakat yang lebih rendah. Ini terlihat dari deflasi yang terjadi beberapa bulan terakhir, yang menunjukkan adanya penurunan daya beli yang menyebabkan turunnya harga barang.

Karena itu, sejumlah sektor saham menjadi kurang menarik di tengah tantangan ekonomi 2025. Ezar kurang merekomendasikan saham-saham perbankan, meski jadi raksasa di indeks ESG. Di tengah kelesuan ekonomi, dia memperkirakan, masyarakat akan lebih suka menabung ketimbang spending. Hal ini akan memberatkan biaya dana bank atau cost of fund (COF) yang sudah terlihat naik belakangan ini.

Kepala Riset NH Korindo Liza Camelia Suryanata melihat, saham-saham penghasil energi baru terbarukan atau renewables energy menarik dengan potensi semakin besar. Saat ini, ada beberapa perusahaan batubara yang fokus mengembangkan EBT.

Pembangungan infrastruktur EBT juga mahal, sehingga tidak banyak pemainnya. Saham EBT menurut dia menarik untuk jangka panjang.

Namun, ada tantangan untuk saham-saham ini yaitu dari valuasi. "Yang jadi perdebatan, EBT adalah masa depan, prospeknya baik tetapi nilainya sudah dianggap kemahalan (overvalue)," kata dia. Menurut dia, perlu penyeimbang dari regulator dan emiten untuk menjelaskan mengenai produksi.

Hans juga menilai, sektor EBT menarik untuk diperhatikan lantaran pemerintah menargetkan Indonesia swasembada lewat energi terbarukan. "Emiten energi terbarukan, salah satunya yang baru melakukan spin-off juga menarik," ujarnya.

Selain itu, dia memilih saham-saham bluechip. "Kalau rebound, saham bluechip yang akan terdorong naik," kata Hans.

Berbeda dengan Ezar, pilihan Hans jatuh pada saham-saham bank besar. Meskipun saham seperti BBRI bisa tertekan lebih lanjut karena marketnya yaitu kelas menengah ke bawah, Hans optimistis ekonomi Indonesia relatif membaik di tahun ini.

Reksadana ESG

Reksadana bisa menjadi pilihan investor untuk berinvestasi di ESG. Kelebihan reksadana yaitu kemudahan berinvestasi. Investor yang tidak memiliki waktu atau pengetahuan untuk menilik saham pilihan satu persatu, bisa memilih reksadana yang isinya merupakan portofolio racikan dari manajer investasi.

Investor juga bisa berinvestasi dengan nilai yang terjangkau. Selain itu, reksadana juga memiliki beberapa jenis portofolio di dalamnya, sehingga memungkinkan ada diversifikasi risiko di dalamnya. Misalnya, reksadana saham memiliki ketentuan 80% berinvestasi saham dan 20% di pasar uang, sehingga ketika pasar saham turun, diharapkan turunnya tidak terlalu dalam.

Reksadana ESG tak terkecuali terkena imbas dari pasar saham. Pasalnya, kebanyakan reksadana ESG merupakan reksadana saham dan indeks yang komposisinya meniru kinerja suatu indeks tertentu yang menjadi acuan.

"Reksadana saham ESG kebanyakan tahun 2024 mengalami kinerja negatif karena indeks acuannya jeblok," kata Arjun.

Ketika indeks acuan SRI-KEHATI merosot, tak pelak, reksadana indeks yang menggunakan acuan dari Yayasan Kehati ini juga ikut tertekan.

Mengutip data Bareksa, reksadana indeks ESG dengan kinerja terbaik dalam setahun terakhir ini dicatatkan oleh Mandiri Indeks FTSE Indonesia ESG dengan return minus 9,52%. Kinerja serupa dicatatkan oleh Reksadana Indeks BNP Paribas Sri Kehati yang turun 11,18% dan Reksadana Indeks Alliaz Sri Kehati Index Fund yang merosot 12,21%.

Namun, ada juga reksadana ESG yang positif seperti yang dicatatkan oleh reksadana Sucorinvest Sustainability Equity Fund yang naik 9,48% dalam setahun. Reksadana ini berinvestasi mayoritas pada saham yang diterbitkan oleh korporasi yang mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), serta dapat memberikan kesempatan bagi investor untuk berkontribusi kepada masyarakat dan lingkungan.

Namun demikian, Arjun optimistis pasar saham akan menguat lagi pada tahun 2025 ini. Dengan begitu, akan meningkatkan kembali return dari reksadana ESG.

Green bond

Jika tidak ingin investasi bervolatilitas seperti di pasar saham, pasar obligasi bisa menjadi pilihan. Keuntungan bagi investor yaitu kupon yang dibayarkan secara periodik atas nilai surat utang pokok. Biasanya, tingkat kupon obligasi di atas BI rate agar cukup manis bagi investor.

CEO CarbonX Dessi Yuliana dalam webinar Lindungi Hutan menjelaskan, green bond cocok bagi investor yang ingin berinvestasi langsung kepada perusahaan yang menerapkan aksi lingkungan dan sosial lewat pembelian surat utang perusahaan.

Tujuan perusahaan mengumpulkan dana dari obligasi hijau ini, biasanya untuk pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah, dan konservasi keanekaragaman hayati. Perbankan banyak merilis obligasi hijau untuk mengucurkan kredit ke sektor berwawasan lingkungan.

Dia bilang, obligasi hijau tak selalu bertajuk obligasi keberlanjutan atau sustainability. Ada juga yang bertema untuk sosial, sehingga namanya social bond. Sebagai contoh, SMF pernah menerbitkan social bond pada tahun 2023 yang lalu, senilai Rp 8 triliun.

Sejatinya, menurut dia, obligasi ini tak memiliki nilai premium dari sisi kupon. Bunga obligasi hijau ini tak berbeda dengan obligasi konvensional. Hanya saja, investor lebih memiliki kepastian karena penerbit obligasi harus melewati persyaratan dan audit ketat mengenai rencana penggunaan dana, transparan, dan membuat laporan mengenai dampak terukur terhadap lingkungan dan sosial. "Jadi harus ada laporanya, berapa pengurangan emisi atau berapa tenaga kerja yang tercipta dari obligasi tersebut," kata dia.

Menurut Dessi, di Indonesia penerbitan green bond cukup berhasil karena permintaan oversubscribed. Menurut Dessi, ini menunjukkan kepercayaan kepada Indonesia dan permintaan terhadap green bond cukup banyak.

Sementara itu, dari kupon, tidak berbeda dengan obligasi konvensional. Mengutip Bloomberg, obligasi berwawasan lingkungan Indonesia menawarkan kupon 5,5% hingga 11%. Kupon tertinggi ditawarkan oleh Obligasi Berkelanjutan I Oki Pulp & Paper Mills Tahap III Tahun 2024 yaitu 7,75% hingga 11%, dengan nilai sebanyak-banyaknya Rp 4 triliun pada Maret 2024 lalu.

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengaku belum bisa melihat daya tarik green bond di Indonesia, lantaran belum banyak produk pilihannya. Dia menilai, kupon yang diberikan oleh obligasi hijau sama saja dengan obligasi biasa. "Kupon lebih ditentukan oleh kredibilitas emiten dan rating, bukan green atau tidak," kata dia.

Yang perlu diperhatikan dari obligasi, termasuk yang hijau, menurut Rudiyanto adalah kemampuan perusahaan membayar utang. "Yang penting, penerbit tidak gagal bayar," ujar dia.

Rudiyanto bilang Panin AM memiliki empat reksadana pendapatan tetap. Namun, porsinya masih amat kecil.

Nah, berinvestasi di saham, reksadana ataupun obligasi berwawasan lingkungan bisa dipilih siapa saja. Namun, perlu kembali lagi investor melihat kebutuhan investasinya.  

Bagikan
Topik Terkait

Berita Terkait

Berita Terbaru

Asuransi Syariah Atur Strategi Mengerek Kontribusi
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:15 WIB

Asuransi Syariah Atur Strategi Mengerek Kontribusi

Sejumlah perusahaan asuransi syariah optimistis lanjutkan kinerja usai mencatatkan pertumbuhan positif pada tahun lalu.

Menggagas Keberlanjutan dengan Bioekonomi
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:13 WIB

Menggagas Keberlanjutan dengan Bioekonomi

Konsep bioekonomi harus menghindari sikap latah serta cenderung sebatas penekanan pada label "asal beda" tanpa mengindahkan substansi inti.

Sulit Kerek Harga Jual, Pebisnis Kelimpungan Hadapi Lonjakan Harga Gas
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:10 WIB

Sulit Kerek Harga Jual, Pebisnis Kelimpungan Hadapi Lonjakan Harga Gas

AKLP khawatir tingginya harga gas komersial membuat banyak investor menolak berinvestasi di Indonesia dan beralih ke negara tetangga.

Lifting Minyak 2025 Ditarget 605.000 Barel
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:10 WIB

Lifting Minyak 2025 Ditarget 605.000 Barel

Peningkatan lifting migas ini merupakan hasil dari serangkaian reformasi yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir.

Pelni Mengoperasikan Delapan Trayek Tol Laut di 2025
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:05 WIB

Pelni Mengoperasikan Delapan Trayek Tol Laut di 2025

Peluncuran KM Logistik Nusantara 4 menjadi simbol kelanjutan penugasan program tol laut yang dimandatkan kepada Pelni.

Industri Hilir Tekstil Tumbuh, Tapi Sektor Hulu Alami Kontraksi
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:00 WIB

Industri Hilir Tekstil Tumbuh, Tapi Sektor Hulu Alami Kontraksi

, kontraksi yang dialami industri tekstil disebabkan banyaknya pabrik pakaian jadi yang berlokasi di Kawasan Berikat.

Pasar LCGC Terpapar Kenaikan PPN
| Selasa, 07 Januari 2025 | 05:00 WIB

Pasar LCGC Terpapar Kenaikan PPN

Sebelum ada kenaikan PPN menjadi 12%, LCGC juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) senilai 3%.

Insentif Tak Serta Merta Mendorong Kredit Padat Karya
| Selasa, 07 Januari 2025 | 04:15 WIB

Insentif Tak Serta Merta Mendorong Kredit Padat Karya

Bank Jatim menilai skema subsidi kredit investasi padat karya bisa mendorong pertumbuhan kredit UMKM. 

Pendapatan Non Bunga Jadi Pendorong Kinerja
| Selasa, 07 Januari 2025 | 04:10 WIB

Pendapatan Non Bunga Jadi Pendorong Kinerja

Menilik strategi perbankan mendorong kinerja keuangan di tengah ketidakpastian arah bunga dengan cara mengerek pendapatan non bunga. 

Harga Komoditas Lesu, Saham Emiten CPO Layu
| Selasa, 07 Januari 2025 | 04:05 WIB

Harga Komoditas Lesu, Saham Emiten CPO Layu

Di awal 2025 mayoritas harga saham emiten sawit atau crude palm oil (CPO) masih berada di zona merah 

INDEKS BERITA

Terpopuler