Ironi Negara Produsen Minyak Goreng

oleh Prima Gandhi - Dosen Manajemen Agribisnis, Sekolah Vokasi IPB University


KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Angka inflasi nasional di Januari 2022 tercatat sebesar 0,56% dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Februari lalu. Sumbangan angka inflasi terbesar berasal dari kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 1,17%.

Minyak goreng masih menjadi salah satu komoditas yang memberikan andil peningkatan inflasi dari kelompok makanan, minuman dan tembakau. Tren ini berlanjut sejak November 2021.

Rupanya, dua kebijakan hilirisasi produk kelapa sawit yang dikeluarkan pemerintah belum mampu menstabilkan harga minyak goreng secara merata di penjuru Nusantara.

Ini Artikel Spesial

Segera berlangganan sekarang untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap.

ATAU

Kebijakan satu harga Rp 14.000 per liter yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit hanya berlaku temporer.

Mengapa temporer? Stok minyak goreng seharga Rp 14.000 di pasar tradisional dan modern habis dalam hitungan hari. Kebijakan ini seakan berkeras tapi tidak berkeris.

Melihat inefektifnya kebijakan satu harga, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dengan penerbitan Permendag Nomor 6/2022. Per 1 Februari lalu, diharapkan pedagang menjual minyak goreng sesuai HET. Namun di lapangan, masyarakat masih sulit mendapatkan minyak goreng sesuai HET.

Moral hazard pedagang yang tidak mau rugi ketika menjual minyak goreng lebih murah dari harga modal menjadi salah satu penyebabnya.

Terlepas dari dua kebijakan hilirisasi pemerintah di atas yang tidak ampuh menstabilkan harga minyak goreng, perlu kita ketahui bahwa kenaikan harga produk itu merupakan dampak dari tekanan inflasi global. Inflasi ini mengganggu rantai pasok crude palm oil (CPO) di dunia termasuk Indonesia yang berstatus sebagai negara eksportir CPO.

Komoditas ekspor

Secara historis, Belanda melalui Vereneging Ost Indische Compagnie (VOC) membawa tanaman kelapa sawit ke Indonesia pertama kali ke Kebun Raya Bogor, tahun  1869. Sejak awal kedatangannya, tanaman sawit dianggap sebagai komoditas potensial untuk dibudidayakan di Nusantara.

Hal ini dibuktikan dengan kebijakan VOC mendirikan perkebunan kelapa sawit komersial pertama seluas 5.000 hektare di daerah Deli, Sumatra Utara, dan Aceh. Perkebunan ini merupakan bagian dari eksperimen VOC untuk mengintroduksikan bibit-bibit baru tanaman pertanian dan perkebunan sebagai sumber penghasilan Belanda.

Bagi Indonesia sendiri, kelapa sawit telah menjadi komoditas bisnis yang menjanjikan mulai tahun 1980. Penulis mencatat, setidaknya ada tujuh penyebab kelapa sawit menjadi komoditas menjanjikan di Indonesia.

Pertama, kelapa sawit cocok tumbuh di iklim tropis. Kedua, kelapa sawit berprospek panjang (usia tanam produktif bisa sampai 20 tahun). Ketiga, tidak membutuhkan perlakuan khusus dalam membudidayakan kelapa sawit.

Keempat, harga CPO dan minyak inti kelapa sawit (kernel oil) relatif meningkat karena peningkatan konsumsi minyak makan dan lemak dunia. Kelima, minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit merupakan minyak nabati dengan pangsa pasar besar (industri makanan dan oleokimia).

Keenam, minyak kelapa sawit mendukung gaya hidup sehat karena mengandung unsur yang cocok untuk diet manusia. Ketujuh, kelapa sawit memiliki produktivitas per hektare tertinggi dibanding minyak nabati dari tanaman lainnya

Indonesia pernah tercatat sebagai negara produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia tahun  2015. Saat itu, kelapa sawit menghasilkan lebih dari 31 juta ton CPO (Ditjen Perkebunan 2015). Ini berarti, industri kelapa sawit menjadi salah satu sumber penghasil devisa terbesar Indonesia dari sektor nonmigas.

Saat ini, untuk meningkatkan devisa negara saat pandemi Covid-19, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tahun lalu menetapkan kelapa sawit sebagai komoditas strategis perkebunan unggulan Indonesia dalam program Gerakan Peningkatan Produksi, Nilai Tambah dan Daya Saing Perkebunan (Grasida).

Selain menjadi motor perekonomian Indonesia saat pandemi Covid-19, kelapa sawit dapat menjadi model sistem pertanian berkelanjutan di masa depan. Beberapa aspek positif penanaman kelapa sawit berkelanjutan terhadap lingkungan adalah sebagai berikut.

Pertama, kelapa sawit yang dikelola dengan baik menyerap lebih banyak karbon (C) per satuan luas dari pada hutan hujan tropis sehingga membuat perkebunan kelapa sawit berperan penting dalam pengelolaan karbon dunia.

Kedua, kelapa sawit sepanjang tahun menutupi permukaan tanah sehingga dapat mencegah terjadinya erosi. Ketiga, tanaman kelapa sawit tidak memerlukan banyak pestisida, walaupun ditanam dengan sistem monokultur, terutama jika kondisi permukaan tanahnya dipelihara dengan baik sebagai habitat predator hama kelapa sawit.

Keempat, hampir 25% dari biomassa hasil panen dapat dikembalikan ke kebun sawit sebagai mulsa yang kaya akan hara. Hal ini memberikan kesempatan bagi petani untuk melakukan daur ulang hara dan biomassa dari lahan subur ke lahan kurang subur di area perkebunan kelapa sawit.

Namun, di tengah ingar bingar sumbangsih tanaman kelapa sawit bagi keberlanjutan lingkungan dan perekonomian di Indonesia, perkebunan kelapa sawit Indonesia mendapat kecaman dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional.

Beberapa LSM internasional berkampanye menentang perluasan perkebunan kelapa sawit, karena  dianggap berkontribusi besar terhadap deforestasi, menghasilkan emisi karbon, serta menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.

Akibatnya adalah tersebar luas anggapan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak berkelanjutan. Namun, penulis meyakini kampanye ini tidak semuanya benar.

Meskipun secara historis kelapa sawit dikembangkan dalam skala perkebunan besar, realitanya tanaman kelapa sawit Indonesia telah berhasil dikembangkan dalam model perkebunan rakyat.

Data terakhir Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian menyatakan, tahun 2015 telah dihasilkan 11,44 juta ton minyak sawit yang berasal dari perkebunan rakyat dan swasta. Perkebunan kelapa sawit rakyat berkontribusi 4,80 juta ton (42 %) dari total produksi minyak sawit nasional.

Selain itu, dalam berbagai jurnal dan laporan ilmiah terkonfirmasi bahwa budidaya kelapa sawit mampu memberikan manfaat ekonomi berupa pendapatan tetap bagi sebagian besar penduduk miskin pedesaan di Sumatra dan Kalimantan.

Hal ini dapat menjadi bukti bahwa tanaman kelapa sawit merupakan salah satu alternatif "obat" yang ampuh untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.

Terlepas dari liku-liku kelapa sawit di Indonesia, jika kita kembali ke awal tulisan, tingginya harga minyak goreng merupakan ironi. Betapa tidak, posisi Indonesia saat ini sebagai tiga besar produsen CPO dunia yang secara teori ekonomi seharusnya dapat menentukan harga tidak terwujud pada praktiknya.

Ada yang salah dengan tataniaga minyak goreng kita!                  

Editor: Markus Sumartomjon