Jangan Tergiur Buyback Semata, Sebab Bukan Jaminan Harga Saham Pasti Naik
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koreksi besar akibat epidemi virus corona yang melanda pasar saham Indonesia belakangan ini membuat harga saham jatuh berguguran.
Kondisi tersebut membuat sebagian emiten memutuskan untuk menggelar pembelian kembali (buyback) saham yang beredar di pasar.
Alasannya kurang lebih seragam; harga sahamnya tidak mencerminkan kondisi fundamental perusahaan.
Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperbolehkan emiten untuk melakukan buyback tanpa melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Instruksi juga datang dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Paling tidak sebanyak 12 emiten pelat merah akan membeli kembali sahamnya yang beredar di pasar.
Buyback sejatinya diharapkan membuat volatilitas harga saham lebih terjaga.
Secara psikologis, keinginan pelaku pasar untuk menjual saham terkait diharapkan bakal teredam, bahkan sebelum buyback tersebut digelar.
Secara riil, tekanan terhadap harga saham bakal diimbangi aksi beli yang dilakukan oleh manajemen emiten bersangkutan.
Baca Juga: Buyback Saham Sekadar Menahan agar Tak Anjlok Lebih Dalam
Lantaran tujuannya untuk stabilitas harga, maka tidak ada jaminan buyback akan membuat harga saham pasti naik.
Ini serupa intervensi Bank Indonesia (BI) yang menjaga nilai tukar rupiah agar tidak anjlok lebih dalam.
"Dalam jangka pendek, trader bisa saja memanfaatkan momentum buyback sehingga harga sahamnya naik. Tapi dalam jangka yang lebih panjang, harga saham akan seiring dengan fundamental emitennya," kata Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan.
Penelusuran KONTAN, sebagian saham yang dibeli kembali oleh emitennya, harganya malah terus meluncur turun.
Penurunan harga ini bahkan berlangsung pada saat periode pelaksanaan buyback.
Padahal saat itu belum ada persoalan serupa COVID-19 (virus corona) yang membuat dunia seolah kalang-kabut.
Harga malah turun
Salah satu yang bisa dijadikan contoh program buyback yang tidak berdampak pada kenaikan harga saham adalah PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Anak usaha PT Waskita Karya Tbk (WSKT) itu menyiapkan dana Rp 1 triliun untuk buyback sebanyak-banyak 7% dari modal ditempatkan dan disetor penuh, atau maksimal sekitar 1,85 miliar saham.
Rencana semula, aksi beli tersebut digelar 18 bulan dari 27 Juli 2017 sampai 27 Januari 2019.
Namun, pada 10 Januari 2019 manajemen WSBP berkirim surat ke Bursa Efek Indonesia (BEI).
Isinya, program buyback telah selesai pada 29 Desember 2018, alias setahun lebih cepat dari rencana.
Dari 27 Juli 2017 hingga 29 Desember 2017 saham yang dibeli sekitar 1,85 miliar lembar. Total harga pembeliannya sekitar Rp 775,95 miliar.
Faktanya, selama sekitar lima bulan pelaksanaan buyback, harga saham WSBP malah longsor sekitar 14,29% dari Rp 476 menjadi Rp 408.
Contoh berikutnya adalah PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang saat ini masih dalam periode pelaksanaan buyback.
Jumlah buyback yang direncanakan adalah maksimal 10% dari modal disetor perseroan atau maksimal sebanyak 1.462.160.123 saham.
Biaya yang disiapkan untuk hajatan tersebut sebesar Rp 3 triliun. Ini sekaligus menempatkan SCMA sebagai salah satu emiten yang menganggarkan dana buyback terbesar di BEI.
Baca Juga: Ratusan Triliun Nilai Saham BUMN Menguap
Periode pelaksanaan buyback saham SCMA adalah 18 bulan, terhitung sejak RUPBLB 5 Desember 2018.
Namun, manajemen SCMA baru memulai pembelian saham pada 14 Maret 2019.
Transaksi buyback terakhir yang dilaporkan ke otoritas bursa ertanggal 4 Desember 2019.
Dalam rentang waktu tersebut, SCMA baru membeli kembali 47.887.100 lembar saham, setara 3,272% dari modal disetor perseroan.
Dengan waktu tersisa kurang dari enam bulan, dana yang digunakan baru sekitar Rp 73,81 miliar.
Nah, sejak 14 Maret hingga 4 Desember 2019 saham SCMA meluncur turun dari Rp 1.795 per saham menjadi Rp 1.215 per saham, alias anjlok 32,31%.
Contoh sukses
Di sebagian emiten yang lain, buyback tidak sekada membuat harga sahamnya berhasil bertahan dari gempuran aksi jual.
Ambil contoh PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) yang melakukan buyback sejak 10 Agustus 2018 hingga 10 Februari 2020.
Merujuk laporan Irfan Ghazali, Sekretaris Perusahaan PT Sarana Menara Nusantara Tbk ke BEI pada 14 Februari 2020, TOWR telah membeli kembali sekitar 809,30 juta saham.
Sebagai informasi, para pemegang saham TOWR mengizinkan manajemen untuk buyback saham maksimal sekitar 2,55 miliar lembar saham.
Dana yang dihabiskan sekitar Rp 569,74 miliar. Hingga berakhirnya periode buyback, anggaran yang tersisa sebanyak Rp 1,471 triliun.
Baca Juga: Buyback saham bisa jadi risiko tambahan bagi emiten kalau harganya turun lagi
Nah, meski tidak mencapai batas maksimal yang direstui pemegang saham, aksi buyback TOWR terbukti sukses.
Tekanan jual teredam dan berganti minat beli yang cukup besar.
Buktinya, pada rentang waktu 10 Agustus 2018 hingga 10 Februari 2020, harga saham TOWR merangkak naik dari Rp 540 ke Rp 875.
Artinya, harga saham TOWR berhasil naik 62,04% dalam kurun waktu 18 bulan.
Patokan utama
Singkat cerita, aksi buyback boleh ditangkap sebagai sinyal bahwa ada saham yang menarik untuk dicermati.
"Tapi jangan sampai menjadi satu-satunya pertimbangan untuk masuk ke satu saham tertentu," kata Alfred.
Valuasi harga saham, fundamental, dan prospek usaha serta sektoral seyogyanya tetap menjadi patokan dalam memilih saham, terutama untuk tujuan investasi.
Betul, saat memutuskan untuk buyback, emiten meyakini harga sahamnya undervalue dan tidak sesuai dengan kondisi fundamentalnya.
Ini pesan yang ingin disampaikan dan diharapkan diterima oleh pasar.
Namun, pelaku pasar bisa saja punya cara pandang yang berbeda.
Misalnya, karena memperhitungkan faktor risiko market dan prospek sektoral.
Ambil contoh sektor komoditas seperti minyak, batubara dan perkebunan kelapa sawit.
Baca Juga: Tiga emiten tambang milik negara akan lakukan buyback, bagaimana kondisi keuangannya?
Dengan tekanan yang begitu hebat, terutama akibat epidemi virus corona, rasa-rasanya sulit berharap harga ketiga komoditas tadi bakal menguat tahun ini.
Dengan demikian, saat ada emiten dari sektor-sektor ini yang mengumumkan akan melakukan buyback, boleh jadi reaksi investor tidak seperti yang diharapkan manajemen perseroan.
Kondisi serupa juga bukan tidak mungkin terjadi di saham-saham konstruksi pelat merah.
BUMN karya tengah dihadapkan pada tugas membangun sederet proyek infrastruktur berbiaya mahal.
Tapi di sisi lain, mereka diminta untuk melakukan buyback demi menstabilkan harga sahamnya.
Baca Juga: Simak kemampuan keuangan lima emiten konstruksi BUMN yang akan lakukan buyback
Sejatinya, permintaan itu tidak sepenuhnya dijalankan secara sukarela.
Seorang direktur keuangan perusahaan pelat merah berujar, pihaknya tidak akan melakukan buyback saham.
Kepercayaan pelaku pasar akan dibangkitkan lewat perbaikan fundamental perusahaan.
Demikian kata sang direktur ke KONTAN pada penghujung Februari 2020.
Baru selang beberapa hari, seiring keluarnya perintah dari Jl Medan Merdeka Selatan, lokasi kantor Kementerian BUMN berada, sikap itu berubah 180 derajat.
"Jangan sampai pasar melihat ketika keputusan buyback BUMN, lebih kepada penugasan yang memberatkan," ujar Alfred.
Aksi psikologis
Hal lainnya, buyback sejatinya merupakan aksi untuk memengaruhi psikologi pelaku pasar.
Dengan cara men-deliver pesan bahwa manajemen yakin harga sahamnya sudah undervalue dan fundamental perusahaannya baik-baik saja.
Dalam konteks ini, investor ritel kerap terkesima dengan informasi soal volume saham yang di buyback, anggaran yang disiapkan dan perhitungan harga buyback per saham.
Padahal pada faktanya, angka-angka tadi hanya patokan maksimal.
Sebagian emiten hanya menghabiskan sebagian, bahkan ada yang sedikit sekali anggaran buyback.
Baca Juga: Dua belas BUMN mau buyback, berapa kira-kira anggaran setiap emiten?
Contohnya bisa dilihat dari buyback SCMA dan TOWR yang sudah diuraikan di atas.
Harga pembelian kembali juga hampir tidak pernah menyentuh titik maksimal.
Lantaran pembelian dilakukan di pasar reguler, harga buyback juga tidak jauh-jauh dari pasar saat itu.
Logikanya, jika bisa membeli barang dengan harga murah, kenapa pula harus memborong di harga tinggi.