KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Mengikuti irama komunitas global, Indonesia bakal memensiunkan pembangkit listrik batubara lebih cepat, yakni dalam 10-15 tahun ke depan. Agenda bertajuk Energy Transition Mechanism (ETM) ini diprakarsai antara lain oleh Asian Development Bank (ADB) dengan dukungan pendanaan miliaran dollar AS.
Sebagai permulaan, PT PLN dan ADB meneken nota kesepahaman pendanaan energi hijau pada Konferensi Perubahan Iklim ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia. PLN perlu US$ 6,3 miliar untuk mengembangkan EBT hingga tahun 2025. Sampai 2060, PLN butuh US$ 500 miliar untuk beralih ke energi hijau.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi, mengatakan, untuk memenuhi target Carbon Neutral 2060 sembari menjaga pertumbuhan bisnis, ada sembilan inisiatif hingga tahun 2030. Misalnya, pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menyebutkan, pengusaha akan patuh terhadap aturan pemerintah. "Kalau kebijakan memensiunkan PLTU batubara mau dipercepat, kami ikut saja," kata dia kepada KONTAN, Kamis (4/11).
Namun saat ini beberapa negara masih membutuhkan batubara. Meski banyak isu negatif membayangi industri batubara, impor sejumlah negara seperti Tiongkok, India, hingga Jepang masih naik.
Analis KGI Sekuritas Nugroho R Fitriyanto menilai, rencana mengurangi porsi PLTU sudah terlihat dari Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang menurunkan porsi pembangkit batubara. Kehadiran fasilitas ETM dari ADB dinilai bakal mempercepat terwujudnya rencana ini.
Kondisi itu memang bakal berdampak pada serapan batubara domestik, khususnya di sektor kelistrikan. Toh, Nugroho melihat, mayoritas produksi batubara lokal dijual ke pasar ekspor. "Hingga semester I-2021, porsi ekspor lebih dari 50% ," kata dia, kemarin.
Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat melihat efek pemensiunan PLTU akan terasa jangka panjang. "Jadi saham batubara akan terkoreksi, tetapi tidak signifikan. Sentimen ini mungkin berdampak satu minggu hingga paling lama sebulan setelah isu COP26 reda," kata dia.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyaki mengingatkan, transisi menuju energi bersih tidak semudah rencana di atas kertas. Tanpa insentif harga EBT yang lebih baik dan pasokan yang sustainable, transisi ini akan menjadi bumerang.
Apalagi, pemerintah punya PR tak kalah penting, yakni menggenjot konsumsi listrik. Sebab, pemakaian listrik Indonesia tertinggal dari negara lain (lihat tabel). Salah satu penyebabnya, laju pertumbuhan industri di Tanah Air terbilang rendah
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.