Berita Bisnis

Kapasitas PLTP Susut 50% di Draf RUPTL 2021-2030, Lebih Utamakan PLTS?

Senin, 21 Juni 2021 | 06:00 WIB
Kapasitas PLTP Susut 50% di Draf RUPTL 2021-2030, Lebih Utamakan PLTS?

Reporter: Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) menyusut hampir 50% dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 dibandingkan RUPTL 2019-2028.

"Data belum final, kapasitas (PLTP) di angka 2.395 Megawatt (MW)," ungkap Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana kepada KONTAN, kemarin. 
 
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kapasitas PLTP di RUPTL 2019-2028 mencapai 4.607 MW. Dengan demikian, dari rencana terbaru (RUPTL 2021-2030), kapasitas PLTP terpangkas hingga 2.212 MW menjadi 2.395 MW.
 
Mengacu draf RUPTL 2021-2030, kapasitas PLTP pada 2021 ditargetkan 136 MW kemudian bertambah 108 MW pada 2022 dan 190 MW di 2023. Pada 2024, kapasitas panas bumi bakal bertambah 131 MW.
 
Di tahun 2025, kapasitasnya bakal bertambah cukup signifikan sebesar 676 MW, kemudian 235 MW pada 2027. Selanjutnya 370 MW (2028), 314 MW (2029) dan 3 MW (2030).
 
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Harris menambahkan, secara umum, upaya meningkatkan EBT dalam penyediaan energi nasional semakin besar atau dalam RUPTL terbaru bisa mencapai 48% atau naik daripada RUPTL sebelumnya sekitar 30%. 
 
"Ini bukti keseriusan pemerintah mengimplementasikan program transisi energi dari energi fosil menuju green energy," ujar dia kepada KONTAN, kemarin.
 
Harris melanjutkan, sejauh ini masih terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan panas bumi, antara lain aspek keekonomian untuk menuju harga listrik di bawah US$ 10 sen per kWh, aspek perizinan terkait lahan khususnya di kawasan hutan konservasi, aspek sosial hingga keseimbangan pasokan dan permintaan listrik serta tantangan sisi pembiayaan.
 
"Debottlenecking saat ini antara lain program government drilling yang dimulai dari survei, penyediaan infrastruktur jalan dan wellpad hingga eksplorasi slim hole sebelum wilayah kerja panas bumi ditawarkan ke badan usaha," jelas Harris.
 
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menilai, kapasitas PLTP lebih rendah lantaran realisasi pemanfaatan panas bumi selama ini lebih rendah ketimbang target yang dicanangkan.
 
Kendati demikian, dia menilai, rendahnya realisasi justru disebabkan kondisi dan kebijakan sehingga panas bumi tak memiliki daya tarik bagi  investor. Dengan tajuk Green RUPTL, Surya bilang, seharusnya panas bumi menjadi opsi yang dipertimbangkan. "Di antara jenis EBT yang masuk sebagai pengganti harus bisa jadi base load dan itu hanya ada pada PLTP dan sebagian PLTA," terang Surya.
 
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, upaya transisi energi di sektor kelistrikan tidak akan berjalan dengan mudah. Hal ini tercermin dari ketergantungan penyediaan listrik dari batubara yang masih mendominasi.
 
"Dari sejumlah potensi EBT, sumber energi panas bumi merupakan jenis EBT paling potensial untuk mengakomodasi kebijakan transisi energi di sektor kelistrikan Indonesia," ujar Komaidi.
 
Sementara, dari data RUPTL 2019-2028 kapasitas PLTS hanya 908 Megawatt namun pada RUPTL 2021-2030 naik menjadi 1.408 MW. 

Ini Artikel Spesial

Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.

Sudah berlangganan? Masuk

Berlangganan

Berlangganan Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi, bisnis, dan investasi pilihan

Rp 20.000

Kontan Digital Premium Access

Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari

Rp 120.000

Berlangganan dengan Google

Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.

Terbaru