KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhirnya, para petinggi di China membahas dua persoalan utama industrinya. Kapasitas produksi yang berlebihan dan perang harga, dua hal yang kerap menjadi keluhan pemerintah dan kalangan pebisnis, dari luar China, mulai dirisaukan Beijing.
Niat Tiongkok mengerem tingkat produksi berikut perang harga tecermin dari rapat yang dihadiri para petinggi negeri, termasuk Presiden Xi Jinping, awal bulan ini. Sebelum pertemuan itu, kampanye agar para produsen melakukan gencatan harga sudah bergaung.
Itu terlihat dari maraknya penggunaan neijuan, kata mandarin yang diterjemahkan sebagai involusi sejak awal tahun ini. Secara literal, involusi berarti bergerak ke dalam. Namun dalam konteks bisnis di China, involusi diartikan sebagai persaingan super ketat.
Mengingat pengambilan keputusan di China yang sangat sentralistik, anti involusi, baru dipercaya para pengamat ekonomi China, termasuk ekonom di pasar keuangan, sebagai arah kebijakan Tingkok, begitu Xi menggelar rapat awal bulan ini.
Sektor apa saja yang akan menjadi prioritas anti involusi sudah disebut-sebut. Mereka adalah sektor-sektor yang terkait dengan baja, panel surya, dan kendaraan listrik.
Untuk sektor kendaraan listrik, Pemerintah China tengah mengaudit subsidi yang dibayarkannya ke para produsen. Namun, apakah pemeriksaan ulang ini bagian dari kebijakan anti involusi yang disiapkan Beijing, masih belum diketahui. Mengingat, hingga kini Beijing belum mempublikasikan apa saja langkah yang akan diambilnya untuk menyehatkan kembali industrinya.
Kendati agendanya masih samar, anti involusi dinilai sebagai sentimen yang positif, di saat China menjadi sasaran tembak utama tarif resiprokal dari Amerika Serikat.
Mengingat ketiga sektor yang menjadi sasaran penyehatan di China punya hubungan erat dengan Indonesia, sudah sepatutnya kita mencermati agenda anti involusi sekaligus menakar dampaknya ke ekonomi negeri ini.
Jangan lupa, beberapa tahun terakhir pemerintahan negeri ini menaruh asa besar ke industri yang berkaitan dengan mobil listrik. Hilirisasi nikel dan pembangunan sejumlah kawasan ekonomi khusus tak lepas dari mimpi menjadi pemain di industri mobil listrik. Dan kendati tak pernah disebut eksplisit, untuk mengejar mimpi itu Indonesia butuh China sebagai mitra.
Di saat China mulai kapok perang harga, lantas skenario apa yang perlu kita siapkan?