Reporter:
Auriga Agustina, Elisabet Lisa Listiani Putri |
Editor: Narita Indrastiti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak depresiasi rupiah mulai terlihat. Efek paling nyata dirasakan oleh emiten yang banyak memiliki utang dollar maupun obligasi dalam bentuk dollar Amerika Serikat (AS).
Efeknya, kerugian kurs yang mereka alami membengkak. Hasilnya, laba bersih pun tergerus, bahkan ada yang sampai merugi (lihat tabel). Tony Rudianto, Sekretaris Perusahaan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) mengatakan, ASRI sejatinya sudah melakukan lindung nilai alias hedging. "Kami melakukan call spread hedging untuk seluruh pokok utang dollar sampai dengan maturity, hedging cover sampai dengan Rp 15.000," jelasnya kepada KONTAN belum lama ini.
Tapi apa daya, rupiah terdepresiasi terlalu dalam, bahkan sempat melebihi level Rp 15.200 per dollar AS. ASRI pun terpaksa mencatat kerugian selisih kurs. Dampaknya, laba bersih perusahaan ini turun lebih dari 40%.
Hal serupa juga terjadi pada PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA). Manajemen perusahaan ini juga telah hedging utang senilai US$ 200 juta. Saat bersamaan, ada pendapatan KIJA dalam bentuk dollar AS. "Untuk infrastruktur, penagihannya dalam bentuk dollar AS sehingga ada natural hedging," ujar Sekretaris Perusahaan KIJA Muljadi Suganda.
Tapi, tetap saja, efek depresiasi rupiah tidak terbendung. KIJA terpaksa mencatat kerugian pada sembilan bulan tahun ini.
Rupiah menguat
Hanya, belakangan nilai tukar rupiah kembali menguat. Bahkan, rupiah sempat meninggalkan level Rp 14.500 per dollar AS. Kendati demikian, ini belum menjadi sinyal positif bagi para emiten tersebut.
Penguatan rupiah belakangan ini belum bisa dijadikan pegangan kerugian kurs para emiten bakal berkurang."Terlalu dini untuk merespon, kami menunggu rupiah stabil," ujar Tony berlasan.
Sedikit gambaran, dalam laporan keuangan ASRI disebutkan jika rupiah melemah 5%, laba sebelum pajak untuk periode enam bulan yang berakhir pada tanggal 30 September 2018 akan lebih rendah sebesar Rp 302,99 miliar. Begitu pula sebaliknya.
Praska Putrantro, analis Infovesta Utama menilai, penguatan rupiah beberapa hari ini belum bisa menjadi katalis positif untuk emiten dengan eksposur utang dollar AS yang tinggi. Terlebih, potensi depresiasi rupiah juga masih terbuka mengingat The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan.
"Perang dagang juga masih menjadi sentimen negatif bagi rupiah," ujar Praska. Makanya, ia pun menyarankan investor lebih baik wait and see dengan potensi fluktuasi dollar AS yang masih bisa terjadi ke depan.
Kalau pun rupiah stabil, investor juga disarankan jangan terburu-buru masuk ke saham dengan utang dollar AS yang tinggi.
Terlebih, jika saham itu merupakan saham properti. "Karena secara sektoral, saham properti masih lesu," kata Dennies Christoper Jordan, analis dari Artha Sekuritas.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.