KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek industri semen belum kokoh. Tengok saja, sejumlah pelaku industri semen mencatatkan kinerja yang tidak memuaskan dalam tiga bulan pertama tahun ini.
PT Semen Indonesia (Persero) Tbk., misalnya, masih bisa mengatrol pendapatan 22,81% year on year (yoy) menjadi Rp 8,13 triliun. Namun, laba periode berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias laba bersih, terpangkas 34,86% yoy menjadi Rp 268,10 miliar.
Pendapatan anak usaha emiten berkode SMGR itu, yakni PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB), juga naik 2,62% yoy menjadi Rp 2,35 triliun. Namun, perusahaan yang semula mengusung identitas PT Holcim Indonesia Tbk itu masih menanggung rugi tahun berjalan Rp 123,02 miliar.
Setali tiga uang dengan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk. Dari Januari-Maret 2019 kemarin, pendapatannya tumbuh 7,23% yoy menjadi Rp 422,74 miliar tapi bottom line susut hingga tiga kali lipat menjadi Rp 4,13 miliar.
Pelaku industri semen menuding kondisi kelebihan pasokan semen alias over supply masih menjadi dalang kinerja keuangan turun. Pada saat yang bersamaan, permintaan dari sektor properti belum puliih.
Selain tantangan tersebut, secara khusus tahun ini Semen Indonesia berkutat dengan persoalan integrasi bisnis pasca mengakusisi Solusi Bangun Indonesia pada pada 31 Januari 2019 lalu. Maka dari itu, konsentrasinya sedikit terpecah.
Semen Indonesia memprediksi lesu pasar semen akan berlangsung selama semester I 2019. Namun, mereka justru melihat momentum itu tepat untuk melakukan pemeliharaan fasilitas produksi dan distribusi. Dengan melakukan pemeliharaan, Semen Indonesia bakal lebih siap menyambut peluang geliat pasar pada semester II nanti.
Sambil jalan, Semen Indonesia merestrukturisasi utang jangka panjang menggunakan duit hasil Penawaran Umum Obligasi. Tujuannya menekan beban bunga. "Salah satu langkah yang telah kami lakukan untuk menekan beban biaya adalah dengan penerbitan obligasi," kata Sigit Wahono, General Manager of Corporate Communication PT Semen Indonesia (Persero) Tbk kepada KONTAN, Jumat (24/5) pekan lalu.
Tak cuma emiten, perusahaan semen yang tidak tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun merasakan tantangan di bisnis ini. Semen Bosowa misalnya, mengeluhkan mahalnya harga gas industri.
Namun Semen Bosowa juga tak menyerah pada nasib. Strateginya adalah menyusun ulang portofolio wilayah penjualan dan memperkuat ekspor klinker. "Kami kembali mengkaji jumlah produksi disesuaikan dengan permintaan pasar," terang Feby Triadi, Marketing Division Head Bosowa saat dihubungi KONTAN, Sabtu (25/5).
Indocement cemerlang
Hanya PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP) yang boleh berbangga hati. Pendapatan bersihnya tumbuh 8,43% yoy menjadi Rp 3,73 triliun. Sejalan dengan itu, laba bersih mereka terungkit 50,21% yoy menjadi Rp 396,95 miliar.
Manajemen Indocement mengaku pertumbuhan kinerjanya ditopang oleh tiga faktor. Pertama, rata rata harga jual semen mereka pada tiga bulan pertama tahun ini lebih tinggi sekitar 6% ketimbang tahun lalu. Kedua, volume penjualan klinker yang bertumbuh.
Ketiga, peningkatan efisiensi biaya operasional. Penyebabnya, Indocement hanya menjalankan pabrik terbaru. "Optimalisasi pengeluaran output dari terminal-terminal terbaru kami," jelas Antonius Marcos, Corporate Secretary PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
Indocement memiliki memiliki 13 pabrik dan dua terminal semen di di Lampung dan Palembang, Sumatra Selatan. Sambil menjalani efisiensi, mereka mengulik pasar baru dengan potensi bisnis yang menjanjikan.