Korea Selatan dan Singapura Menjadi Dua Negara Asia Pertama yang Melakukan Pengetatan

Kamis, 14 April 2022 | 17:12 WIB
Korea Selatan dan Singapura Menjadi Dua Negara Asia Pertama yang Melakukan Pengetatan
[ILUSTRASI. FILE PHOTO: Logo Bank of Korea terlihat di Seoul, Korea Selatan, 30 November 2017. REUTERS/Kim Hong-Ji/File Photo]
Reporter: Sumber: Reuters | Editor: Thomas Hadiwinata

KONTAN.CO.ID - SEOUL/SINGAPURA. Singapura dan Korea Selatan pada Kamis memperketat kebijakan moneter masing-masing, menyusul kenaikan bunga di Kanada dan Selandia Baru. Otoritas moneter di berbagai negara bergegas mencegah inflasi melaju lebih cepat lagi, agar tidak menghambat pemulihan ekonomi.

Alasan bank sentral di keempat negara melakukan pengetatan adalah membendung kenaikan harga akibat kemacetan rantai pasok yang dipicu pandemi Covid-19. Pasokan global kini juga menghadapi tekanan akibat aksi militer Rusia di Ukraina sejak 24 Februari lalu. 

"Kemungkinan kami akan melihat lebih banyak bank sentral di Asia yang mendorong waktu kenaikan suku bunga," kata Toru Nishihama, kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute di Tokyo.  "Pengetatan bisa melukai pertumbuhan tetapi. Namun mengingat ancaman inflasi, tidak banyak pilihan selain bergerak ke arah kebijakan moneter yang lebih ketat," ujar dia.

Baca Juga: Rusia Konfirmasi Akan Hadir di Pertemuan Menteri Keuangan & Gubernur Bank Sentral G20

Sebagian besar ekonomi di kawasan Asia-Pasifik tertinggal dari Amerika Serikat dan Eropa dalam melakukan pembukaan kembali setelah pandemi. Ini berarti bank-bank sentral di Australia, India dan Asia Tenggara sampai sekarang masih melihat inflasi sebagai tekanan yang bersifat sementara, dan lebih fokus ke menopang pemulihan.

Singapura, Korea Selatan, dan Selandia Baru merupakan pengecualian. Ketiganya mengkhawatirkan biaya harga impor yang muncul dan stabilitas keuangan secara lebih umum. Bank of Korea mengejutkan pasar hari ini dengan menaikkan bunga acuan sebesar 25 basis poin.

Sebagian besar ekonom memperkirakan pengetatan akan berlangsung sementara hingga penunjukan gubernur baru. Namun mengingat laju inflasi di ekonomi terbesar keempat di Asia itu sudah mencapai tingkat tertinggi dalam satu dekade terakhir, bank sentral mengatakan menunggu bukanlah pilihan.

Singapura memperketat kebijakannya, dengan mengotak-atik rentang nilai tukar, dan bukan suku bunga. Perubahan kisaran nilai tukar itu merupakan yang ketiga kalinya dalam enam bulan terakhir. Otoritas moneter Singapura menyebut krisis Ukraina sebagai risiko baru.

Baca Juga: Pasokan Ketat & Harga Premium Chip, TSMC Prediksi Lonjakan Penjualan 37% Kuartal Ini

Di hari sebelumnya, Selandia Baru dan Kanada yang berlimpah komoditas, menaikkan suku bunga masing-masing sebesar setengah poin persentase. Itu merupakan kenaikan bunga terbesar bagi kedua negara dalam dua dekade terakhir. Kenaikan bunga di Selandia Baru lebih besar dari apa yang diperkirakan para ekonom. Sedang Kanada memperingatkan bunga mungkin akan naik lebih tinggi lagi. 

Vishnu Varathan, kepala ekonomi dan strategi di Mizuho Bank, mengatakan Singapura, Korea Selatan, Selandia Baru dan Kanada adalah bagian dari kelompok yang melihat kebutuhan mendesak untuk mengatasi ancaman inflasi.

"Kokomo Club adalah bank sentral yang ingin sampai di sana dengan lebih cepat, agar bisa melakukan lebih lambat. Mereka cenderung melakukan pengetatan segera, dengan kenaikan 50 basis poin sebagai target," tutur Varathan, yang menggunakan lirik dari hit 1988 Beach Boys "Kokomo". Otoritas moneter yang lebih besar, seperti Federal Reserve dan Bank Sentral Eropa (ECB) kendati saat ini tidak agresif, Varathan menyakini, mereka akan tetap bergerak ke arah yang sama.

Tantangan bagi banyak negara adalah mereka baru saja mulai menanamkan pemulihan yang pasti dari penurunan besar yang disebabkan oleh pandemi. Meski sejak itu inflasi memaksa mereka untuk menangani masalah harga yang dapat memicu ketidakstabilan keuangan dan harga yang lebih luas.

Memang, bahkan beberapa bank sentral Asia yang kurang hawkish merasakan tekanan untuk mengurangi kebijakan era krisis mereka.

Reserve Bank of Australia pekan lalu menahan suku bunga tetapi menjatuhkan referensi dalam komunikasinya tentang menjadi "sabar" dalam mengawasi kondisi ekonomi. Pasar tenaga kerja Australia tetap sangat ketat dengan pengangguran pada level terendah 13 tahun dan pasar sekarang mengharapkan kenaikan pertama sejak dimulainya pandemi pada Juni.

Bank sentral India juga mempertahankan suku bunga pada rekor terendah pekan lalu tetapi menandai langkah menjauh dari kebijakan ultra-longgar.

Baca Juga: Banyak Kabar Buruk, Harga Bitcoin dan Mata Uang Kripto Besar Lain Alami Hari Baik

Sementara dampak ekonomi perang Ukraina sebagian besar telah terlihat dalam istilah inflasi untuk saat ini, dengan melonjaknya harga energi dan pangan, para analis memperingatkan para pembuat kebijakan perlu memperhatikan pukulan terhadap pertumbuhan.

Shane Oliver, kepala strategi investasi dan kepala ekonom di AMP Capital di Sydney, membandingkan kondisi saat ini dengan embargo minyak Saudi pada tahun 1973 yang menyebabkan kejutan harga global.

"(Bank-bank sentral) mengalami dilema ini bahwa semakin lama ini berlangsung, dan itu berlangsung selama satu tahun sekarang, ekspektasi inflasi bergerak lebih tinggi dan inflasi akan menjadi abadi seperti yang terjadi pada 1970-an," katanya.

Bagikan

Berita Terbaru

ADMR Punya Angin Segar: Aluminium Bullish dan Labanya Diproyeksi Melonjak
| Selasa, 18 November 2025 | 16:13 WIB

ADMR Punya Angin Segar: Aluminium Bullish dan Labanya Diproyeksi Melonjak

Prospek PT Alamtri Minerals Indonesia Tbk (ADMR) juga didukung smelter aluminium yang ditargetkan beroperasi pada akhir tahun 2025.

Intiland Development (DILD) Garap Proyek IKN, Begini Respon Pasar
| Selasa, 18 November 2025 | 15:31 WIB

Intiland Development (DILD) Garap Proyek IKN, Begini Respon Pasar

Masuknya DILD ke proyek IKN dianggap sebagai katalis yang kuat. IKN merupakan proyek dengan visibilitas tinggi dan menjadi prioritas pemerintah.

Astra Graphia (ASGR) Cetak Pertumbuhan Dua Digit
| Selasa, 18 November 2025 | 10:05 WIB

Astra Graphia (ASGR) Cetak Pertumbuhan Dua Digit

Dalam menjaga kelangsungan bisnis jangka panjang, perusahaan berfokus dalam penguatan fundamental bisnis yang disertai pemberian ruang eksplorasi

Indonesia Bisa Kecipratan Investasi dari Australia
| Selasa, 18 November 2025 | 09:50 WIB

Indonesia Bisa Kecipratan Investasi dari Australia

Hubungan dagang Indonesia–Australia selama ini didominasi oleh ekspor daging, gandum serta arus pelajar Indonesia ke Australia.

Hanya 4 Hari Saham CSIS Terbang Hampir 100%, Aksi Korporasi Anak Usaha Jadi Katalis
| Selasa, 18 November 2025 | 08:49 WIB

Hanya 4 Hari Saham CSIS Terbang Hampir 100%, Aksi Korporasi Anak Usaha Jadi Katalis

Secara teknikal, saham PT Cahayasakti Investindo Sukses Tbk (CSIS) masih berpotensi melanjutkan penguatan. 

Bisnis UMKM Belum Bisa Terangkat
| Selasa, 18 November 2025 | 08:15 WIB

Bisnis UMKM Belum Bisa Terangkat

Hal ini dipengaruhi oleh normalisasi daya beli masyarakat yang masih lesu, permintaan pasca Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) dan libur sekolah

Sejumlah Emiten Akan Private Placement, Simak Prospek Sahamnya
| Selasa, 18 November 2025 | 08:11 WIB

Sejumlah Emiten Akan Private Placement, Simak Prospek Sahamnya

Salah satu yang terbesar ialah PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Emiten pelat merah ini berencana menggelar private placement Rp 23,67 triliun

Mitra Keluarga (MIKA) Terus Merawat Pertumbuhan Bisnis
| Selasa, 18 November 2025 | 08:00 WIB

Mitra Keluarga (MIKA) Terus Merawat Pertumbuhan Bisnis

Pertumbuhan kinerja didukung peningkatan volume pasien swasta serta permintaan layanan medis berintensitas lebih tinggi di sejumlah rumah sakit.

Summarecon Agung (SMRA) Menyuntik Modal ke Anak Usaha Sebesar Rp 231,83 Miliar
| Selasa, 18 November 2025 | 07:46 WIB

Summarecon Agung (SMRA) Menyuntik Modal ke Anak Usaha Sebesar Rp 231,83 Miliar

SMRA melakukan transaksi afiliasi berupa penambahan modal oleh perusahaan terkendali perseroan itu pada perusahaan terkendali lain.

Integrasi Merger Berlanjut, Laba EXCL Bisa Membaik di 2026
| Selasa, 18 November 2025 | 07:33 WIB

Integrasi Merger Berlanjut, Laba EXCL Bisa Membaik di 2026

EXCL berhasil meraup pendapatan sebesar Rp 30,54 triliun. Nilai ini melonjak 20,44% secara tahunan atau year on year (yoy) dari Rp 25,36 triliun.​

INDEKS BERITA

Terpopuler