KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harian KONTAN, kemarin (6/10), kembali merilis hasil survei Keyakinan CEO Indonesia atau Indonesia CEO Confidence Index (ICCI). Secara keseluruhan, ada sedikit perbaikan karena ICCI kuartal ke-3 2025 berada di angka 3,25 atau meningkat tipis dari 3,01 di kuartal sebelumnya. Namun, para CEO masih menahan diri untuk menggenjot ekspansi.
Indikator yang menggambarkan sikap wait and see para CEO adalah angka Indeks Ekspansi Bisnis yang justru turun ke level 3,46; dari 3,52 pada kuartal ke-2. Ada beberapa pemicu sikap ini. Kondisi politik yang masih "hangat" menjadi salah satu perhatian pebisnis. Maklum, kita baru saja melalui periode panas yang memicu demonstrasi dan protes keras masyarakat.
Masih terkait variabel politik di atas, tampaknya, para CEO juga masih menunggu apakah pemerintah dapat bergerak cepat mengucurkan stimulus ekonomi, menopang daya beli, hingga menciptakan lapangan kerja. Jika diingat, berbagai kesulitan ekonomi ini merupakan akar utama aksi demonstrasi dan protes warga beberapa waktu lalu.
Senjata utama pemerintah menopang ekonomi adalah anggaran (counter cyclical). Logikanya, jika belanja pemerintah efektif, ujungnya akan mendorong permintaan masyarakat atas barang dan jasa. Sinyal pemulihan permintaan seperti ini, niscaya akan menumbuhkan keyakinan pebisnis untuk ekspansi.
Masalahnya, efektivitas belanja pemerintah justru memburuk. Tengok saja, sampai awal Oktober tahun ini, realisasi belanja Kementerian dan Lembaga atau K/L ternyata baru 55%. Capaian ini jauh di bawah realisasi hingga Oktober 2024 yang menyentuh hampir 74%. Salah satu penyebabnya: banyak kementerian dan lembaga baru yang belum beres administrasi anggarannya.
Yang lain, pemerintah juga masih keukeuh melanjutkan program-program populis yang terbukti lambat serapan anggarannya. Makan Bergizi Gratis (MBG) contoh paling nyata. Badan Gizi Nasional (BGN) masih yakin bisa menghabiskan anggaran Rp 71 triliun dan bakal minta tambahan dana tahun ini. Padahal, hingga awal Oktober, realisasinya baru sekitar Rp 19 triliun atau 27%.
Anggaran ini tentu akan lebih bermanfaat bagi ekonomi jika dialihkan untuk belanja yang lain. Apalagi, maraknya kasus keracunan menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kapasitas pemerintah untuk menjalankan MBG masih jauh dari mencukupi. Jika dipaksakan, hasilnya pasti tak maksimal. Akuntabilitasnya juga meragukan.