Menapaki Jejak Kejayaan Industri Tekstil Nasional Hingga Kini Satu Persatu Berguguran
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia bagaikan tikus mati di lumbung padi. Meski pangsa pasarnya besar, industri yang tadinya menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, kini gugur satu persatu lantaran digerus produk asing.
Wilayah Bandung khususnya Majalaya pernah menjadi sentra industri tekstil nusantara hingga dikenal dengan sebutan kota dolar. Pada 1980-an, kejayaan industri ekstil dimulai dari wilayah ini karena dapat mendatangkan pesanan tekstil dari berbagai belahan dunia.
Booming industri tekstil menjalar dan berkembang ke berbagai wilayah mulai dari Jawa Tengah, kemudian ke Jakarta Raya termasuk Banten, lalu Solo, Semarang hingga Jawa Timur. Industri tekstil yang berkembang dimulai dari pertenunan, pemintalan, hingga ke industri lain seperti dying sampai garmen.
“Dari beberapa negara produsen dunia, Indonesia pada masa itu, termasuk negara yang memiiliki struktur industri hulu ke hilir tekstil yang lengkap. Di Asia saat itu paling hanya beberapa negara yang punya, misalnya saja India dan China,” ujar Pengamat Industri Tekstil,Rizal Tanzil kepada KONTAN, Selasa (20/8/2024).
Indonesia memiliki posisi tawar tinggi di mata dunia karena mendominasi teknologi tekstil dan produk tekstil. Terlebih belum banyak negara yang memfokuskan industri ini sebagai penyangga pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Kendalikan Emiten Farmasi
Seiring berjalannya waktu, negara-negara lain menyadari bahwa tekstil bisa menjadi tumpuan perekonomian, Dus, Turki, India, dan China berlomba menciptakan teknologi baru yang lebih mutakhir.
Seiring inovasi tersebut, tingkat efisiensi membaik dan volume produksinya meningkat sehingga harga baju yang dijual lebih kompetitif. Di sinilah cikal bakal goyahnya kejayaan tekstil Indonesia.
Rizal menyatakan, sejak awal Indonesia tidak memiliki fondasi industri tekstil yang kuat karena tidak memiliki industri manufaktur pembuatan mesin tekstil. Sedangkan India dan China memulainya dari titik fondasi itu. Diikuti juga masif membangun rantai proses produksi TPT hingga menjadi produk akhir.
“Sedangkan Indonesia tidak punya industri manufaktur permesinan sehingga ketergantungan terhadap impor. Misalnya saja kita tidak bisa membuat mesin spinning dan knitting, ini yang membuat kita jadi lemah. Riset dan inovasi teknologi sudah terlambat dan ketergantungan dengan negara lain makin besar,” kata Rizal.
Kemudian dari sisi sumber daya manusia (SDM), saat ini Indonesia hanya memiliki satu sekolah khusus tekstil yakni Politeknik Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil Bandung (STTB). Tak ada apa-apanya dibanding China, yang bahkan sudah punya sekolah teksil hingga level Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Situasi makin memburuk setelah Indonesia menandatangani free trade agreement (FTA) dengan China pada 2010. Impor seluruh produk termasuk TPT semakin masif. Harganya jauh lebih murah dibanding produk dalam negeri sehingga mengganggu daya saing lokal.
Baru lima tahun FTA berjalan, pada 2015 pengusaha tekstil diwakili Ade Sudrajat menghadap Presiden Joko Widodo karena mengakui kondisi bisnis semakin sulit. Pada masa itu, pangsa pasar domestik hanya tersisa 30% dari yang tadinya 60% pada 2010. Namun tak ada hasil yang berarti.
Industri tekstil kian meradang ketika pandemi Covid-19 menghadang. Roda industri dalam negeri macet, sulit berjualan tetapi masih punya tanggung karyawan yang banyak. Arus kas macet ketika mesin produksi tidak berjalan semestinya. Diperparah lagi impor pakaian semakin deras saja.
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa mengamini, biang kerok bergugurannya industri TPT nasional karena serbuan impor pakaian jadi asal China. Berdasarkan datanya, ditemukan selisih pencatatan untuk kode HS 61, HS 62, HS 63 atau kode impor produk tekstil dan garmen yang semakin lebar setiap tahunnya.
"Selisih pencatatan yang kita tidak tahu kenapa bisa cukup lebar, kalau kita lihat dari deklarasi harganya itu hanya sepertiga. Ya, jadi bisa kita bayangkan kenapa industri TPT satu-satu berguguran," jelas Jemmy belum lama ini.
Kini gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri TPT semakin tinggi lantaran produktivitas terus menurun ditandai utilisasi pabrik di bawah 50%. Industri serat utilisasinya 45%, industri spinning 40%, industri weaving/knitting 52%, industri finishing 55%, dan industri pakaian jadi utilisasinya 58%.
Berdasarkan data dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), di pusat-pusat industri TPT yang berlokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, total PHK terjadi sejak 2023 mencapai 7.200 tenaga kerja. Pada periode Januari hingga Mei 2024 saja, korban PHK di industri TPT semakin bertambah, yakni sekitar 3.600 tenaga kerja.
Setelah dihantam kesulitan keuangan, perusahaan-perusahaan TPT nasional jadi kesulitan mendapatkan pendanaan dari perbankan untuk investasi baru. Pasalnya, lembaga keuangan telah memasukkan perusahaan tekstil dalam daftar hitam.
Ini membuat industri TPT bak menunggu mati lantaran tak bisa menggelar ekspansi dan di saat bersamaan kesulitan membayar utang.
Baca Juga: Saham FREN, KARW, dan TAMU Dinamis di Papan Pemantauan Khusus, Begini Risikonya
Perusahaan besar kesulitan
Nahasnya, yang jadi korban tak hanya pemain kecil. Sederet perusahaan kawakan yang punya nama besar dan sudah berusia puluhan tahun sekalipun, harus berhadapan dengan persoalan keuangan..
Ambil contoh PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) alias Sritex yang pada 2021 menghadapi tiga proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat. Pada Desember 2023, pihaknya masih menunggu persidangan untuk penyelesaian restrukturisasi anak usaha di Singapura. Adapun pengakuan PKPU di AS akan mulai berproses tahun ini.
Pada 2020, kemampuan Sritex membayar utang jangka pendek dengan kas yang tersedia sudah terlihat mengkhawatirkan. Kas setara kas Sritex yang hanya berjumlah US$ 187,64 juta, sedangkan utang jangka pendeknya mencapai US$ 398,35 juta di Desember 2020.
Kini total liabilitas jangka pendeknya sudah menurun, pada kuartal I 2024 senilai US$ 131,41 juta. Namun total liabilitas jangka panjang masih sangat besar US$ 1,46 miliar. Sehingga total liabilitas SRIL mencapai US$ 1,59 miliar.
Sampai dengan Maret 2024, Sritex mencatat rugi neto sebesar US$ 25,73 juta serta melaporkan defisit dan defisiensi modal sampai dengan 30 Juni 2024 senilai US$ 980,55 juta.
Selain SRIL, perusahaan tekstil legendaris lainnya, PT Pan Brothers Tbk (PBRX) juga harus menghadapi PKPU.
Selain itu, sampai dengan kuartal I 2024, perusahaan tersebut membukukan penurunan penjualan 16,16% yoy menjadi US$ 92,25 juta dan rugi periode berjalan US$ 71,31 juta dari yang sebelumnya masih laba US$ 614,46 juta di kuartal I 2023.
Baca Juga: Sepuluh Tahun Jokowi di Bidang Investasi, Sederet Capaian & Catatan Evaluasi (Bag 1)
Kabar terbaru datang dari PT Century Textile Industry Tbk (CNTX) yang sudah berdiri sejak 1970. Emiten yang masyhur sebagai produsen kain jenis dobby dan oxford, itu mengumumkan rencananya melakukan delisting atau go private dari Bursa Efek Indonesia (BEI).
CNTX akan meminta restu pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 24 September 2024 mendatang.
Manajemen perusahaan itu mengakui, pada 2023 daya saing biaya produk tekstil di Indonesia semakin lemah.. Alasan utamanya adalah kenaikan biaya produksi yang drastis, seperti kenaikan harga bahan pewarna dan kenaikan biaya tenaga kerja. Selain itu, tekstil dasar yang lebih kompetitif datang dari China.
Dalam kondisi pasar seperti ini, CNTX menghadapi merosotnya penjualan dan produksi. Pihaknya pun mencoba meningkatkan penjualan dan mengurangi biaya perbaikan, termasuk menutup produksi spinning.
Centex bahkan sampai menaikkan harga pada pelanggan dan mengubah produk dan bauran pelanggan dengan mengurangi penjualan yang tidak menguntungkan.
Ke depan, perusahaan sepuh ini masih berupaya untuk bertahan. beberapa strategi yang akan dilakukan di tahun ini, berkonsentrasi pada bisnis yang tertuju ke garmen dengan penjualan langsung ke pabrik pakaian jadi dan SPA. Pihaknya juga mengonsentrasikan bisnisnya di dalam negeri.
Di tahun ini, CNTX yang dikendalikan perusahaan asal Jepang; Toray Industries Inc., menargetkan penjualan domestik meningkat menjadi 57% dan penjualan ekspor turun menjadi 43%.
“Kebijakan ini diambil untuk meningkatkan penjualan pasar domestik dikarenakan pasar lokal sangat besar dan lebih dari ribuan pabrik garmen ada di Indonesia. Centex ke depannya akan lebih fokus ke pasar domestik,” ujar Manajemen CNTX dalam Annual Report 2023.
Baca Juga: Sepuluh Tahun Janji dan Realisasi di Sektor Energi Era Jokowi (Bag 2)
Langkah pemerintah
Sejatinya, pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi senjakala industri tekstil nasional. Dimulai dengan menyiapkan kebijakan terkait Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Tujuannya, menjaga ekosistem industri tekstil dan produk tekstil nasional dari hulu ke hilir.
Pemerintah juga telah mengimplementasikan langkah pengendalian laju impor, lewat instrumen tata niaga impor dengan merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36 Tahun 2023 yang mengatur persetujuan impor (PI) dan laporan surveyor (LS), serta pengawasan kepabeanan.
Persyaratan PI juga diatur oleh pemerintah berdasarkan rekomendasi, pertimbangan teknis, dan laporan hasil verifikasi dari Kementerian Perindustrian (kemenperin).
Dalam catatan Kontan.co.id, industri kecil dan menengah (IKM) garmen dan sepatu menikmati kenaikan permintaan sebesar 30-50% dari dalam negeri dengan berlakunya aturan pertimbangan teknis (pertek) untuk barang impor, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Namun, aturan tersebut malah direlaksasi melalui Permendag 8 Tahun 2024. Dus, dampaknya negatif buat industri TPT dalam negeri karena produk impor akan semakin membanjiri pasar dalam negeri.
Pelaku usaha TPT pun berharap banyak dari pemerintah. Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan, satu-satunya cara untuk menyelamatkan industri TPT dari kehancuran adalah dengan menjadikan pasar domestik sebagai jaminan pasar produk lokal.
Langkah ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain, membersihkan bea cukai dari oknum mafia impor demi memberantas impor ilegal. Lalu merevisi Permendag 8/2024 serta mengenakan BMAD atau BMTP terhadap seluruh pos tarif TPT HS 50-63.
Baca Juga: Bukan Indonesia, Justru Vietnam yang Menjadi Jawara Pertumbuhan Ekonomi Asia Tenggara
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), pada kuartal I-2024 industri TPT mulai menunjukkan perbaikan kinerja signifikan. Nilai PDB industri TPT disebut tumbuh 2,64% secara tahunan atau year on year (yoy). Demikian juga secara kuartalan industri TPT diklaim mengalami peningkatan 5,92% dibandingkan kuartal IV-2023 yang kontraksi -1,15%.
Plt. Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier menyatakan, kinerja gemilang industri TPT juga tercemin pada capaian nilai ekspornya pada kuartal I-2024 yang meningkat 0,19% atau senilai US$ 2,95 miliar. Padahal, situasi di pasar ekspor masih dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global karena beberapa konflik antarnegara yang terjadi.
Demi mendorong industri TPT dalam negeri, Kemenperin melaksanakan program restrukturisasi mesin atau peralatan pada industri penyempurnaan kain dan industri pencetakan kain sesuai Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 18 Tahun 2021.
Pada tahun 2024, Kemenperin mengalokasikan anggaran sebesar Rp 50 miliar untuk program restrukturisasi ini dengan target 59 perusahaan.
Selain itu, Kemenperin mempercepat implementasi industri 4.0 dengan memanfaatkan beberapa teknologi kunci untuk memenangkan persaingan global seperti artificial intelligence, novel fabrics, internet of things, rapid data analysis for quick adaptation, mobile commerce, virtual and augmented reality, Online vector editors, 3D Printing, hingga blockchain.