Menerapkan Strategi Investasi Saham dengan Tiga MAN (Bagian 2)
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Agar memperkecil risiko kerugian akibat penurunan harga saham, kita harus memahami secara baik saham atau perusahaan yang ingin kita beli, menghitung nilai (valuasi) dan membandingkannya dengan harga saham tersebut di bursa saham.
Harga saham ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Jika penawaran lebih banyak dari permintaan, harga saham akan turun. Demikian sebaliknya. Di artikel sebelumnya sudah dijelaskan bahwa harga sebuah saham di bursa dipengaruhi banyak faktor. Faktor ini bisa dibagi menjadi dua, yakni faktor fundamental perusahaan dan faktor non fundamental.
Faktor non fundamental ini seperti psikologi (hype, FOMO, herding behaviour) dan tindakan manipulasi harga (baca: goreng-menggoreng harga saham).
Investor yang membeli saham dengan hanya mencermati pergerakan harga akan menanggung risiko yang lebih besar. Seorang investor harus membandingkan harga dengan nilai sahamnya. Jika ia membeli saham yang harganya lebih tinggi dari nilainya (overpriced atau kemahalan), ia menanggung risiko kerugian yang lebih besar.
Seorang investor bijak akan membeli saham yang dianggap underpriced (kemurahan) karena memiliki nilai di atas harganya. Prinsip yang simpel, namun tidak mudah dipraktikkan. Mengapa?
Menentukan nilai sebuah saham tidak mudah. Berbagai metoda valuasi bisa digunakan untuk menghitung nilai sebuah saham pada suatu titik waktu tertentu (biasanya disebut nilai intrinsik atau harga wajar saham).
Baca Juga: Menerapkan Strategi Investasi Saham dengan Tiga MAN (Bagian 1)
Penekanannya pada kata "suatu titik waktu" karena nilai sebuah saham hari ini bisa berbeda dengan sebulan kemudian. Intinya nilai sebuah saham bersifat dinamis. Ambil contoh, nilai intrinsik saham perusahaan batubara hari ini dengan besok bisa berbeda jika malam ini ada berita , harga batubara naik drastis karena perang Ukraina-Rusia.
Metoda valuasi yang biasa digunakan adalah relative valuation, membandingkan rasio nilai sebuah saham dengan saham lain yang sejenis. Rasio nilai tersebut ada beberapa seperti PER (price earnings ratio), PBV (price to book value ratio), EV/EBITDA dan price sales ratio.
Dari rasio-rasio itu, yang paling popular adalah PER dan PBV. Value investor sukses seperti Lo Kheng Hong mengandalkan dua ratio sederhana ini dalam memilih saham yang salah harga (undervalued).
Lo membatasi saham yang dipilih dengan kriteria PER lebih kecil dari 5 kali dan PBV lebih kecil dari 0,5, dengan penekanan pada penggunaan PER daripada PBV. Semakin kecil angkanya semakin menarik. Investor yang beraliran growth investing juga bisa menggunakan PER dan PBV.
Mereka masih bersedia membeli saham yang PER dan/atau PBV tinggi jika diimbangi dengan potensi pertumbuhan laba bersih (earnings per share atau EPS) yang tinggi di masa mendatang.
Peter Lynch, pengelola dana legendaris, menggunakan rasio PER dibagi dengan angka persentase pertumbuhan EPS untuk menentukan valuasi saham yang bertumbuh, disebut PEG ratio. Menurut Peter Lynch, jika PER sebuah saham 10 kali, kenaikan EPS per tahun harus 10% supaya bisa mengatakan harga sahamnya wajar. Artinya PEG ratio sebesar 1 adalah harga wajar. Jika PER ratio kurang dari 1, saham tersebut undervalued.
Misalnya, sebuah saham memiliki PER 10 kali dan estimasi pertumbuhan EPS 20% per tahun. Maka PEG rationya adalah 0,5 dan menarik untuk dibeli.
Sebaliknya jika PEG ratio lebih dari satu, sahamnya termasuk overvalued. Misalnya, sebuah saham memiliki PER 10 kali, tetapi estimasi pertumbuhan EPS nya hanya 5%, sehingga PER ratio sebesar 2 kali. Saham ini kurang menarik untuk dikoleksi karena harganya tidak sepadan dengan potensi pertumbuhan laba bersih.
Bayangkan jika seorang investor membeli saham yang memiliki PER 100 kali sedangkan potensi pertumbuhan EPS hanya 5% per tahun. PEG ratio menjadi 20 kali.
Para analis saham banyak yang mengunakan metode discounted cash flow (DCF) yang diajarkan oleh Benjamin Graham, guru Warren Buffett. Dengan metoda ini seorang investor harus memprediksi arus kas bebas (free cash flows) yang bakal dihasilkan sebuah saham, kemudian dinilai sekarangkan (present value) dengan cara membagi free cash flows dengan biaya modal (cost of capital) saham. Jumlah dari present value free cash flows kemudian dikurangi dengan nilai utang perusahaan.
Hasilnya dibagi jumlah saham beredar, memberikan nilai intrinsik sebuah saham. Cara ini lebih rumit dan memerlukan kemampuan memprediksi prospek perusahaan dengan baik.
Warren Buffett mengingatkan, tidak cukup menghitung valuasi saham hanya menggunakan PER dan PBV, tetapi harus dengan metoda DCF. Artinya, DCF ini metode lebih canggih, namun jika tidak disertai dengan kemampuan memprediksi arus kas perusahaan baik, hasilnya tidak akurat. Artinya, valuasi dengan PER dan PBV bisa lebih baik daripada DCF yang asumsinya asal-asalan.