KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa tahun terakhir Bursa Efek Indonesia (BEI) mendorong perusahaan dengan aset bernilai kecil hingga menengah untuk go-public. Bahkan, perusahaan yang merugi sekalipun tetap bisa melantai di bursa saham. Emiten skala kecil menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 53/POJK.04/2017 pasal 1 ayat 2, diantranya didefinisikan sebagai emiten yang memiliki total aset tidak lebih dari Rp 50 miliar.
Adapun emiten dengan aset skala menengah menurut pasal 1 ayat 3 diantaranya didefinisikan emiten yang memiliki total aset lebih dari
Rp 50 miliar sampai dengan Rp 250 miliar.
Seiring POJK tersebut dan peraturan BEI terkait, maka berbondong-bondonglah emiten skala kecil dan menengah menawarkan sahamnya di bursa. Emiten-emiten yang memiliki aset kecil-menengah ini nantinya dicatatkan di papan akselerasi. Sebagai informasi tambahan, perdagangan efek di papan akselerasi menurut Peraturan II-V dari BEI tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas pada Papan Akselerasi, memungkinkan investor memasukkan penawaran dengan harga terendah Rp 1 dengan batasan auto rejection yang berbeda dari aturan di papan utama.
Adapun menurut peraturan I-V, harga saham pada saat pencatatan perdana paling sedikit Rp 50 dan bagi perusahaan yang rugi, wajib paling lambat pada akhir tahun buku ke-6 sejak tercatat sudah memperoleh laba usaha berdasarkan proyeksi keuangan.
Selain itu jumlah saham yang dimiliki pemegang saham bukan pengendali dan bukan pemegang saham utama paling kurang 7,5% dari jumlah saham dalam modal disetor.
Sehubungan dengan itu, penulis tergerak untuk mengetahui bagaimana kinerjanya dibanding papan pengembangan dan papan utama. Nah, berdasarkan data yang bisa dihimpun sejak tanggal 5 Juni 2023 hingga 6 Desember 2023 saat artikel ini dibuat, papan akselerasi yang terdiri dari 40 saham, mencatatkan kerugian -14.79%.
Posisinya jauh tertinggal dari rangking 1 yang diraih papan pengembang dengan kenaikan +7.33%. Papan utama angkanya tidak jauh berbeda, +7.04%. Sebagai perbandingan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencetak kenaikan +7.05%. Sedang Indeks LQ45 pertumbuhannya -0.62%.
Dari segi resiko yang diwakili annualized standard deviation ternyata papan akselerasi paling berisiko dibanding papan pencatatan yang lain. Annualized risk papan akselerasi mencapai 24,72% versus papan pengembangan 11,61%. Sementara IHSG memiliki annualized risk 9,08%. Jadi risiko di Papan Akselerasi lebih dari dua kali lipat papan pengembangan ataupun IHSG.
Buruknya kinerja papan akselerasi tercermin dari kinerja saham-saham penghuninya. Sebagai contoh, dalam sebulan terakhir per 6 Desember 2023, saham PT Menn Teknologi Indonesia Tbk (MENN) anjlok 79,75% hingga menorehkan return bulanan terburuk di papan akselerasi.
Baca Juga: BEI Berharap Perhelatan CMSE 2023 Bisa Mendorong Minat Masyarakat Berinvestasi
Selama sebulan terakhir terdapat 21 emiten dengan return negatif dan hanya 16 emiten menghasilkan return positif, dengan kisaran kenaikan harga antara 1,11% hingga 48.08% month-on-month (mom). Return paling ciamik diteorehkan PT Imago Mulia Persada Tbk (LFLO) yang mencetak kenaikan harga hingga +48.08%.
Sementara dalam satu tahun terakhir atau year-on-year (yoy), kisaran kinerjanya sangat lebar, dari -88,65% ke 375,56%. Return terjelek ditorehkan PT Sumber Mas Konstruksi Tbk (SMKM) yang anjlok -88.65% yoy. Adapun gain terbesar diraih PT Indo Boga Sukses Tbk (BOGA) 375.56% yoy. Secara rata-rata, return dalam setahun dari emiten yang sudah berumur 1 tahun atau lebih tercatat dan di papan akselerasi sebesar -6.47% yoy.
Ditinjau dari kinerja laporan keuangan, terdapat 10 emiten dengan laba bersih negatif. Dari daftar itu, ada dua emiten menduduki return saham tahunan kategori 5 besar. Sedang saham SMKM yang return-nya paling anjlok malah menghasilkan laba positif dengan PER 8,57x dan PBV 0,39x. Tampaknya kinerja return saham kurang berkorelasi dengan kinerja fundamental emiten yang bersangkutan.
Selanjutnya terdapat 17 saham yang harganya di bawah Rp 50 dengan kisaran harga terendah Rp 10 oleh NINE dan Rp 11 oleh ISAP. Mirisnya, ISAP yang harganya mendekati 1 digit, telah dimiliki masyarakat sebanyak 42,22% dan jumlah pemegang saham per 31 Oktober 2023 sebanyak 8.233 investor.
Porsi kepemilikan masyarakat terbesar ada di saham PT Fimperkasa Utama Tbk (FIMP), sebesar 70%. Padahal FIMP baru go-public 9 April 2021. Dengan kepemilikan masyarakat yang dominan dan tiadanya pengendali yang berasal dari pendiri perusahaan, maka pertanyaan menyeruak soal komitmen eks pengendali dan keraguan terhadap kemajuan perusahaan di masa datang.
Dari 40 saham yang tercatat di papan akselerasi, 13 emiten di antaranya berasal dari sektor barang konsumer non-primer. Lalu 8 emiten dari sektor barang konsumer primer dan sektor teknologi menyumbang 7 emiten.
Namun dari segi bobot kapitalisasi pasar, ternyata sektor barang konsumer primer mendominasi hingga 45,85%. Ini didorong bobot saham BOGA yang sangat besar, mencapai 37,50%. Berikutnya, sektor teknologi mewakili 28,98% karena bobot CHIP yang relatif besar.
Melihat kinerja papan akselerasi yang kurang moncer, perlu usaha dari pemangku kepentingan seperti Self Regulating Organization khususnya BEI dan emiten untuk melakukan aksi nyata agar kinerja perusahaan meningkat hingga kinerja saham diharapkan akan mengikuti.
Keterbukaan informasi terutama dari emiten sangat diperlukan. Hal ini perlu ditopang dengan pengawasan dan peraturan yang lebih tegas agar emiten secara berkala, misalnya setiap bulan. Isinya memberikan informasi kepada Bursa, investor dan masyarakat tentang perkembangan perusahaan dan rencana kerja atau strategi untuk lebih meningkatkan nilai perusahaan.