Merger Goto & Grab: Antara Konsolidasi Ekosistem Digital dan Persaingan Usaha
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana merger antara Goto dan Grab menimbulkan perdebatan karena posisinya yang berada di persimpangan antara penyelamatan investasi negara, konsolidasi pasar ekonomi digital dan perlindungan jutaan pekerja informal. Pemerintah telah memberikan sinyal dukungan terhadap rencana ini, terutama karena posisi salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Telkom, yang berhubungan langsung dengan strategi korporasi tersebut. Telkom mencatatkan unrealized loss sebesar Rp 380 miliar per 30 September 2024 sehingga merger ini dipandang sebagai salah satu upaya exit strategy yang tidak hanya menyelamatkan neraca BUMN, tetapi juga menjaga realisasi dividen bagi APBN.
Namun, ketika rencana merger ini dianalisis dari perspektif kinerja keuangan, terlihat bahwa Goto, khususnya Gojek sebagai lini utamanya, masih berada dalam fase ekspansi berbiaya tinggi. Berdasarkan data JRC R&D Scoreboard yang diterbitkan Uni Eropa yang merangkum 2000 perusahaan paling inovatif di dunia, pada 2024, Gojek mencatat penjualan bersih sekitar € 864 juta, tetapi dengan rugi operasi sebesar € 5,37 miliar sehingga menghasilkan margin operasi sekitar −621%. Ini menunjukkan ketidakseimbangan fundamental antara ekspansi dan monetisasi yang belum terselesaikan.
Baca Juga: Isu Merger dengan Grab Kian Menguat, Diawali dengan Mundurnya Patrick Waluyo
