KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar gembira buat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (bpjs) Kesehatan. Setelah dua tahun tidak mengalami kenaikan tarif, pemerintah berancang-ancang mengerek iuran kategori penerima bantuan iuran (PBI).
Warta tersebut datang langsung dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Menkeu menyatakan, pemerintah mulai mempertimbangkan peluang kenaikan iuran PBI yang saat ini masih sebesar Rp 23.000 per peserta per bulan. Belum ditetapkan, namun sudah ada ancang-ancang untuk menaikkan, katanya.
Sri Mulyani memastikan, pemerintah baru akan memutuskan kenaikan premi tersebut setelah hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas BPJS Kesehatan keluar.
Yang jelas, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani, mengatakan, saat ini pemerintah belum menentukan besaran kenaikan tarif iuran PBI tersebut. Masih kami kalkulasi kenaikannya berapa, ujar dia.
Menurut Askolani, pemerintah benar-benar cermat dalam mengalkulasikan kenaikan iuran PBI lantaran bakal berdampak ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Yang terang, Tidak sampai Rp 36.000 seperti hitungan aktuaris tegas Askolani.
Kalau besaran iuran PBI mengikuti hitungan aktuaris, jelas beban ABPN bakal sangat besar menanggung kenaikan itu. Pasalnya, selain tarif, pemerintah juga berencana menaikkan jumlah peserta PBI menjadi di atas 100 juta orang.
Otomatis, anggaran untuk PBI membengkak. Dalam APBN 2019, anggaran PBI mencapai Rp 26,7 triliun. Secara hitung-hitungan matematis, ya, seperti itu, jumlahnya akan bertambah, ungkap Askolani.
Per 1 April 2019, jumlah peserta PBI sebanyak 96,52 juta jiwa. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, target peserta penerima bantuan itu sebesar 107 juta jiwa.
Askolani berjanji, pemerintah segera mengumumkan angka kenaikan iuran PBI begitu selesai melakukan penghitungan. Ia memperkirakan, proses penghitungan akan kelar paling cepat akhir bulan ini. Namun, belum ada waktu yang pasti, kami masih melihat waktu (pengumuman) yang tepat, urainya.
Kendati belum mampu menutup semua defisit keuangan bpjs Kesehatan, kenaikan iuran dan jumlah peserta PBI cukup membantu mengurangi beban lembaga jelmaan dari PT Askes tersebut.
Sebagai catatan, tarif iuran PBI belum berubah sejak 2016. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 dan Perpres No. 28/2016 menyebutkan, premi PBI sebesar Rp 23.000 per peserta per bulan. Padahal Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan mengamanatkan, evaluasi tarif iuran Jaminan Sosial Nasional (JSN) maksimal selama dua tahun sekali.
Toh, rencana kenaikan iuran PBI di bawah hitungan aktuaris belum memuaskan banyak kalangan. Soalnya, kenaikan tersebut tidak mampu menutup rapat defisit keuangan bpjs Kesehatan yang setiap tahun terus bertambah. Idealnya iuran PBI memang Rp 36.000, sebut M. Iqbal Anas Maruf, Kepala Humas bpjs Kesehatan.
Itupun sebenarnya kurang pas dengan kondisi sekarang. Sebab nilai Rp 36.000 merupakan hitungan aktuaris lama, yang tentu saja kondisinya berbeda dengan saat ini. Belum disesuaikan dengan inflasi dan angka keekonomian kondisi sekarang, kata Iqbal.
Iuran non-PBI juga naik
Selama besaran kenaikan iuran belum sesuai perhitungan aktuaria, maka kebijakan pemerintah menambah jumlah peserta PBI menjadi di atas 100 juta justru bisa menimbulkan masalah baru. Karena, akar utama permasalahan defisit adalah besaran iuran yang belum ideal, tegas Iqbal.
Maka itu, Iqbal berharap, penambahan peserta dan penyesuaian iuran PBI sesuai dengan perhitungan aktuaris. bpjs Kesehatan juga berharap, tarif premi untuk semua segmen peserta perlu dinaikkan.
Kemal Imam Santoso, Direktur Keuangan dan Investasi BPJS Kesehatan, berpendapat sama. Menurutnya, defisit keuangan masih tetap terjadi selama besaran iuran belum sesuai perhitungan aktuaris.
Dua tahun lalu, Kemal mengungkapkan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pernah menghitung angka ideal premi PBI per orang sebulan sebesar Rp 36.000. Nah, sepanjang kenaikan iuran PBI belum sebesar itu, maka tetap akan terjadi defisit di bpjs Kesehatan. Defisit karena memang iuran yang ditetapkan belum sesuai dengan iuran yang dihitung secara aktuaris, imbuh Kemal.
Daeng M. Faqih, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mendukung langkah pemerintah menaikkan iuran PBI karena memang sesuai kebutuhan. Kami sudah mengajukan dinaikkan, ujarnya.
IDI juga mengusulkan iuran PBI sesuai perhitungan aktuaris, yakni Rp 36.000 per peserta per bulan. Bukan cuma itu, IDI menganjurkan pemerintah untuk menaikkan iuran non-PBI. Besarannya memang masih harus dihitung dan dipastikan lagi, ucap Daeng.
Penyesuaian iuran untuk peserta non-PBI bisa menjadi jalan keluar untuk menekan defisit bpjs Kesehatan. Apalagi, Daeng mengungkapkan, mayoritas peserta non-PBI adalah orang yang berkecukupan.
Timboel Siregar, Kepala Bidang Advokasi bpjs Watch, setuju dengan rencana kenaikan iuran PBI. Asalkan, kenaikan premi berdasarkan angka yang tepat, imbuhnya.
Menurut Timboel, secara aktuaris, tarif PBI adalah sebesar Rp 36.000 per peserta per bulan. Bila pemerintah menaikkan tarif ke angka itu, maka BPJS Kesehatan bisa mengantongi tambahan pendapatan dari iuran PBI Rp 21 triliun.
Dengan demikian, kata Timboel, potensi defisit keuangan BPJS Kesehatan tahun ini yang mencapai Rp 25 triliun nyaris bisa ditutup dari iuran PBI. Potensi defisit tahun ini bisa dilihat dari Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan 2019.
Dalam RKAT 2019 terungkap, dari sisi pendapatan, targetnya mencapai Rp 89 triliun, sementara beban sebesar Rp 114,1 triliun. Alhasil, ada potensi defisit sekitar Rp 25 triliun. Jadi, kalau ada tambahan dari iuran PBI sebesar Rp 21 triliun, kan lumayan hampir tertutup defisit tersebut, beber Timboel.
Tapi, Timboel tidak yakin ABPN sanggup menanggung kenaikan iuran PBI sebesar hitungan aktuaris. Nah, di tengah keterbatasan anggaran negara, ia mengusulkan tarif PBI cukup naik Rp 7.000 menjadi Rp 30.000 per peserta per bulan.
Perhitungan Timboel, kenaikan iuran itu akan memberikan pemasukan tambahan bagi bpjs Kesehatan sebesar Rp 11,4 triliun. Angka tersebut dengan asumsi kenaikannya terhitung sejak Januari 2019.
Maksimalkan penagihan
Tambahan pemasukan itu hampir setara dengan dana talangan (bailout) yang pemerintah kucurkan ke bpjs Kesehatan sepanjang 2018 lalu, yang mencapai Rp 10,8 triliun. Dengan tambahan sebesar Rp 11,4 triliun, maka sisa defisit tahun ini tinggal Rp 13,6 triliun.
Untuk menutup sisa defisit tersebut, pemerintah dan BPJS Kesehatan jelas perlu melakukan upaya-upaya lain. Contoh, memaksimalkan penggunaan dana pajak rokok untuk mendukung program bpjs Kesehatan. Itu kan sudah diamanatkan Pasal 100 Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, kata Timboel seraya menambahkan, potensi pendapatan pajak rokok Rp 5,5 triliun hingga Rp 6 triliun.
Berikutnya, BPJS Kesehatan bisa memaksimalkan penagihan utang iuran minimal Rp 1,5 triliun dari jumlah tunggakan yang mencapai Rp 3,5 triliun. Dari dua upaya tersebut, maka potensi penerimaan bisa bertambah hingga Rp 7 triliun.
Dengan demikian, sisa defisit tinggal Rp 7 triliun. Menurut Timboel, angka itu bisa ditutup dengan mengerek iuran peserta non-PBI. Ia mengusulkan, iuran peserta non-PBI kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 27.000 per orang per bulan. Lalu, kelas II naik dari Rp 51.000 jadi Rp 55.000. Kenaikannya tak perlu tinggi, takut nanti banyak peserta yang malah menunggak iuran, ujarnya.
Selain itu, perlu juga menaikkan iuran peserta dari segmen pekerja penerima upah (PPU) swasta. Selama ini, iuran mereka mengacu batas atas upah PPU swasta sebesar Rp 8 juta dikalikan 5%. Mereka yang gajinya Rp 10 juta hingga Rp 12 juta tetap mengacu ke Rp 8 juta, jadi tidak fair, tegas dia.
Pemerintah tetap perlu menaikkan iuran peserta non-PBI tersebut demi keadilan dan asas gotong royong yang selama ini menjadi semboyan bpjs Kesehatan. Kenaikan harus menyeluruh sehingga bisa mengatasi defisit, tambah Timboel.
Menanggapi permintaan tersebut, Askolani belum mau berkomentar lebih jauh. Menurutnya, pemerintah masih fokus menghitung kenaikan iuran PBI. Saya belum bisa komentar lebih banyak, katanya.
BPJS Kesehatan tentu saja setuju dengan usulan kenaikan iuran peserta non-PBI. Idealnya, memang semua segmen perlu untuk disesuaikan besaran iurannya, ujar Iqbal.
Meski begitu, kenaikannya jangan terlampau tinggi. Sebab saat ini, tunggakan dari peserta non-PBI cukup tinggi khususnya dari segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU).
Segmen ini cukup banyak mencetak tunggakan pembayaran iuran. Sebanyak 40% peserta PBPU merupakan peserta tidak aktif. Sedang peserta PBPU yang aktif ada 60% dari total 30 juta peserta. Tidak aktif ini bukan berarti mereka tidak bayar, kadang bayar, kadang tidak, sebut Kemal.
BPJS Kesehatan tak bisa hanya berharap dari kenaikan iuran. Mereka juga harus kerja keras untuk menutup lubang defisit yang menganga.