KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada 12 Mei lalu, pendiri Grup Lippo Mochtar Riady genap berusia 90 tahun. Usia tampaknya tak menjadi penghalang bagi pria kelahiran Malang, Jawa Timur, ini untuk tetap beraktivitas seperti biasa.
Mochtar masih tampak sehat dan bugar saat KONTAN menemuinya di kantornya, di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), Lippo Karawaci, Tangerang, pada 8 Mei lalu.
Berawal dari kesuksesan sebagai bankir, Mochtar berhasil membangun sebuah kelompok usaha dengan berbagai lini bisnis, mulai dari properti, keuangan, kesehatan, pendidikan, ritel, hingga media.
Pada 2018 lalu, Forbes menempatkan Mochtar Riady dan keluarganya di peringkat ke-12 sebagai orang terkaya di Indonesia. Forbes menaksir, kekayaan Mochtar Riady dan keluarganya mencapai US$ 2,2 miliar.
Di dunia perbankan, Mochtar dikenal sebagai bankir bertangan dingin. Sepanjang 50 tahun kariernya di dunia perbankan, Mochtar telah sukses mengelola dan membesarkan lima bank di Indonesia: Bank Kemakmuran, Bank Buana, Pan Indonesia (Panin) Bank, Bank Central Asia (BCA), dan Lippo Bank.
Mochtar sering dijuluki sebagai banking doctor karena reputasinya menyelamatkan bank bermasalah. Ia tercatat menyelamatkan Bank Buana dari krisis 1965. Pada 1966, ia mengambil alih Bank Kemakmuran dan Bank Industri dan Dagang Indonesia (BIDI) yang dalam keadaan krisis. Di 1997, ia membentuk Panin Bank, sebuah bank hasil penggabungan dari Bank Kemakmuran, BIDI, dan Bank Industri Jaya.
Reputasinya sebagai bankir membuat Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, pendiri Grup Salim, meminta Mochtar untuk memimpin satu dari dua bank miliknya, BCA dan Bank Windu Kencana. Mochtar memilih BCA. Saat itu, Mochtar sudah meninggalkan Panin Bank.
Mochtar mulai memimpin BCA sejak 1975. Saat itu, BCA hanyalah bank kelas biasa. Saat Mochtar masuk, BCA hanya memiliki aset sebesar Rp 998 juta atau sebesar US$ 1 juta. Di BCA, Mochtar membuat berbagai gebrakan. Hanya dalam waktu enam tahun, aset BCA telah berada di urutan keenam sebagai bank perdagangan.
Pada 1991, Mochtar keluar dari BCA. Saat itu, aset BCA telah mencapai Rp 7,5 triliun atau hampir US$ 3 miliar dollar. Jumlah tersebut melonjak tiga ribu kali lipat dibandingkan aset di saat Mochtar pertama kali masuk BCA.
Mochtar memilih fokus mengelola Lippo Bank, bank hasil penggabungan antara Bank Perniagaan Indonesia (BPI) dan Bank Umum Asia. BPI merupakan bank yang didirikan oleh Hasjim Ning. Pada 1981, Mochtar membeli 49% kepemilikan saham di BPI dari Hasjim Ning.
Pada 1989, Lippo Bank resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan tercatat sebagai bank pertama yang go public. Lippo Bank juga tercatat sebagai salah satu bank swasta terbesar di Indonesia. Kesuksesan membesarkan BCA dan Bank Lippo inilah yang menyebabkan orang menjuluki Mochtar sebagai The Magic Man of Bank Marketing.
Lippo Bank merupakan tonggak penting bagi sejarah bisnis Grup Lippo. Dari Lippo Bank inilah, Mochtar memperoleh aset sitaan kredit macet berupa lahan di Karawaci dan Cikarang. Dari situlah, Mochtar berekspansi ke bisnis properti hingga saat ini.
Di kemudian hari, Mochtar memutuskan menjual Lippo Bank setelah sempat terhantam krisis keuangan 1997. Pada 1998, Mochtar terpaksa harus menyerahkan mayoritas saham Bank Lippo kepada Pemerintah pasca rekapitalisasi aset bank bermasalah. Pada 2005, Mochtar resmi mundur dari Bank Lippo dan meninggalkan dunia perbankan.
Sejak lama, Mochtar juga tidak secara langsung mengelola Grup Lippo. Ia telah melimpahkan tongkat estafet kepemimpinan di Grup Lippo kepada kedua puteranya. James Riady mendapat tugas mengelola bisnis Grup Lippo di Indonesia sementara Stephen Riady bertanggung jawab mengelola bisnis Grup Lippo di luar negeri.
Namun, Mochtar juga sempat membuat kejutan saat kembali masuk ke dunia perbankan. Pada 2010 lalu, ia membeli saham Bank Nationalnobu.
Kejutan lainnya datang baru-baru ini dalam bentuk suksesi kepemimpinan di Lippo Karawaci, lengan bisnis Grup Lippo di sektor properti. Maret lalu, John Riady, putra James Riady, ditunjuk sebagai Chief Executive Officer (CEO) Lippo Karawaci Tbk. Penunjukan itu disebut-sebut merupakan permintaan langsung dari Mochtar.
Berikut petikan wawancara KONTAN dengan Mochtar Riady:
KONTAN: Bagaimana Anda menyiapkan suksesi kepemimpinan di Grup Lippo?
MOCHTAR: Kira-kira pada usia saya 40-an, saya menonton televisi yang menayangkan kisah mengenai ibu elang yang mendidik anaknya untuk terbang.
Ibu elang itu mengambil anaknya, mengangkat ke atas, lalu melepas anaknya. Anak elang itu jatuh ke bawah namun segera dipegang lagi oleh ibunya. Lalu, ibu elang itu kembali membawa terbang anaknya ke atas dan menjatuhkannya lagi, Begitu seterusnya hingga anaknya bisa terbang.
Video itu memberikan inspirasi kepada saya bahwa mendidik anak-anak itu seyogyanya harus demikian. Kalau mendidik anak itu, bukannya sedikit-sedikit kita bilang jangan ini jangan itu. Justru, kita mendidik anak itu, biar you kerja. Kalau jatuh, jangan kesal. Anak-anak kita itu baru bisa mendapat pengalaman dari dia jatuh. Dia gagal, baru dia akan berkembang.
KONTAN: Inspirasi itu Anda terapkan saat mendidik generasi penerus Anda?
MOCHTAR: Contohnya John. Kita kasih tahu dia untuk pegang e-commerce. Dia bikin Mataharimall.com. Saya tahu dia banyak salah. Tapi, biar saja dia banyak salah. Barulah dia berhasil di OVO. Dia mulai dari Mataharimall.com. Saya anggap dia gagal. Nah, di OVO ini baru dia mulai ada pengalaman dan berhasil. Saya tidak yakin kalau dia langsung mulai di OVO akan langsung berhasil. Jadi, suatu keberhasilan itu selalu adalah ambil pengalaman dari kegagalan.
KONTAN: Apakah keberhasilan John di OVO itu yang membuat Anda memintanya menjadi CEO di Lippo Karawaci?
MOCHTAR: Kalau Anda membaca buku saya (red: buku berjudul Manusia Ide), di situ saya mengatakan bahwa saya ingin kepemilikan dan manajemen ada pemisahan. Jadi, jangan pemilik dan manajemen itu dicampur aduk. Namun sekian puluh tahun ini, saya melihat teori ini bisa dikatakan benar tapi juga bisa dikatakan tidak benar. Jadi tidak ada satu teori yang dikatakan tidak benar. Jadi, ada perubahan-perubahan.
Beberapa bulan lalu, banyak orang merasa ada teka-teki, ini Lippo mau diapain. Untuk itulah, saya sarankan, “John, kamu harus tampil ke depan. Tunjukkan kalau family Riady siap.”
Ini untuk membangun keyakinan. Kalau dulu, sama sekali family saya tidak ada ikut campur. Semua ada di manajemen. Namun, dengan keadaan baru-baru ini, saya merasa mungkin perlu ada suatu perubahan supaya cucu saya itu yang tampil ke depan dan "we are here". Jadi, menunjukkan kalau kami commited.
KONTAN: Kenapa cucu yang Anda minta maju, bukan anak Anda?
MOCHTAR: Saat saya berusia 60 tahun, saya sudah menyerahkan kepemimpinan kepada James. Usia James saat ini sudah lebih dari 60 tahun. Jadi, harusnya memang cucu.
KONTAN: Kenapa John, bukan cucu lain yang Anda minta?
MOCHTAR: Dia, kan, anak tertua. Tetapi Henry juga pegang. Saya rasa puji syukur, dengan masalah-masalah baru-baru ini, misalnya di Meikarta. Oleh karena ada masalah, semuanya meninggalkan tempat. Henry masuk dan mengendalikan semuanya. Itu menunjukkan cucu saya itu cukup hati-hati dan capable.
KONTAN: Yang meninggalkan semuanya maksudnya siapa, Pak?
MOCHTAR: Partner kami. Dulu, kami sama sekali enggak pernah ikut campur. Semua diserahkan kepada manajemen dan partner itu.
KONTAN: Konglomerat lain biasanya menunjuk seorang putra mahkota sebagai penerus. Bagaimana dengan Anda?
MOCHTAR: Saya lebih condong memberikan kesempatan kepada semuanya. Jangan bilang ditunjuk.
KONTAN: Tidak takut mereka akan berebut?
MOCHTAR: Kalau satu mau di sini, yang satu di tempat lain. Jangan dicampur.
KONTAN: Ada pembagian tertentu untuk generasi penerus Anda?
MOCHTAR: Iya. Misalnya, satu di perusahaan ini dan satu perusahaan lain. Jangan semuanya dicampur.
KONTAN: Anda yang mengatur pembagian itu? Kalau tidak salah, Pak James dulu ditugaskan memimpin perusahaan di Indonesia sedangkan Pak Stephen memimpin perusahaan di luar negeri. Sekarang bagaimana pembagiannya?
MOCHTAR: Salah satu cara saya adalah, biarkan cucu-cucu itu melakukan usaha sendiri. Jika sudah berhasil, baru garap yang lainnya. Jangan, misalnya di satu holding, semuanya di situ. Itu kacau. Saling merebut ini itu. Mereka enggak akan punya pengalaman bagaimana membangun suatu perusahaan dari nol.
Misalnya, John mulai dari menjadi pengajar di Universitas Pelita Harapan (UPH). Setelah sekian tahun, dia masuk ke bisnis digital. Di digital, secara jujur, Mataharimall.com itu tidak sukses. Tapi di OVO ini, dia sukses.
Semua cucu saya umumnya tidak di perusahaan induk. Ada yang di Maxx Coffee, ada di Cinemaxx. Jadi, semua adalah bisnis yang baru. Mereka harus berusaha dulu dan mencari pengalaman dulu.
KONTAN: Dulu Anda memulai karier sebagai bankir dan dikenal sebagai bankir sukses. Makanya, banyak orang kaget saat Anda menjual Bank Lippo dan melepas seluruh bisnis bank Anda. Kenapa sekarang Anda kembali lagi di bisnis bank?
MOCHTAR: Ini pertanyaan sensitif. Jadi begini. Saya 50 tahun di dalam banking. Dari tidak ada menjadi ada. Lima kali. Dari tidak ada, saya bangun bank lebih tinggi. Lalu saya tinggalkan. Saya bangun yang lain lebih tinggi. Lima kali.
Saya selalu membangun bank dari nol. Dalam 50 tahun tahun di banking, saya mengalami beberapa masalah. Salah satu issue itu adalah seperti kita ketahui, capital adequacy ratio (CAR). Banknya tambah besar, CAR-nya tambah kecil. Sehingga, setiap tahun itu, asset naik, modalnya kurang. Karena itu harus tambah modal. Jadi, saya tidak pernah ambil dividen dari bank tapi setiap tahun harus cari uang untuk nombok di bank.
Di belakang, kelihatan nolnya itu bertambah tapi kantong itu kempes. Jadi harus di-top-up. Dalam 50 tahun itu, pribadi saya sengsara. Karena pribadi saya tidak punya uang. Semua masuk ke dalam modal. Sehingga pada tahun 2004, saya mulai memikirkan, saya sudah 50 tahun di banking dan setiap tujuh tahun, mesti ada satu gejolak yang besar dan membuat saya itu betul-betul ketakutan. Tapi saya harus menghadapi. Sekian puluh tahun ini, hidup tidak tenang. Saya tidak ingin anak cucu saya juga tidak tenang. Jadi, saya ambil keputusan jual.
Bank yang ada di Indonesia saya jual. Juga bank di Singapura, Hong Kong, Makau, Filipina, Amerika saya jual. Semua saya jual. Habis di 2004. Ada orang yang mengatakan, teman-teman bankir, mereka bilang bahwa bangun bank memang tak gampang tapi jual bank juga lebih tidak gampang. Artinya, semua bank yang saya kelola sehat karena ada yang mau beli. Kalau banknya kacau, siapa yang mau beli. Jadi, saya merasa bersyukur, saya bisa keluar dari banking secara honour.
KONTAN: Setelah melepas bank, Anda justru membeli Bank Nobu pada 2010 lalu. Mengapa? Apakah Anda benar-benar kembali ke bisnis bank?
MOCHTAR: Sebenarnya saya tidak bermaksud untuk kembali ke banking. Mungkin tujuh hingga delapan tahun yang lalu, ada teman saya, Hendro Setiawan dari Pikko Group. Beliau ini jual beli bank. Uang sudah dibayar, tapi fit and proper tidak lulus. Jadi terkatung-katung di sana. Akhirnya, dia datang ke saya. Dia bilang, “Pak Mochtar, bisa enggak pinjam you punya nama untuk hold ini.” Ya, untuk bantu orang hold, ya oke lah.
KONTAN: Lalu, kenapa masih hold sampai sekarang ketika Grup Pikko bahkan sudah keluar dari Nobu?
MOCHTAR: Saya lupa, untuk hold ini, saya juga harus fit and proper test. Akhirnya, saya menghadap Bank Indonesia (BI) untuk tes. Secara silent itu. Tiba-tiba, esok harinya muncul berita bahwa Mochtar Riady kembali ke bank. Nah, di sini ada teman-teman challenge saya, ”Mochtar, you bisa bangun lima bank kecil jadi bank besar. Sekarang bisa enggak bangun ini?” Saya ditantang begitu terus. Akhirnya, oke, saya ingin menunjukkan saya masih mau, saya masih mampu.
KONTAN: Apa yang membuat Anda berpikir kali ini mampu membesarkan bank seperti sebelum-sebelumnya?
MOCHTAR: Saya berpikir saya mampu. Kebetulan ada satu tren. Perubahan zaman. Tanpa perubahan zaman, tidak mungkin bisa. Lima kali saya membangun bank, dari kecil sampai besar, karena ada perubahan zaman. Waktu saya selesai kuliah, saya melihat Indonesia setelah perang dunia ketiga, tiga setengah tahun dan perang kemerdekaan. Total delapan setengah tahun. Ekonomi Indonesia hancur total. Belanda, yang sebelumnya menguasai ekonomi, keluar dari Indonesia.
Pada 1950, ekonomi Indonesia itu flat. Tidak ada yang lebih kaya dan tidak ada yang lebih miskin. Semuanya miskin. Saya melihat ini kesempatan saya. Pada saat itu saya lihat, you mau kerja apa boleh. Nah, saya bilang, saya mau jadi bankir. Itu kesempatan yang pertama. Kalau hari ini, saya enggak berani bilang begitu. Kan, tidak ada modal. Tapi, saat itu, bisa.
Setelah itu, tahun 1965, Indonesia mengalami perubahan sistem ekonomi. Ekonomi komunis dan sosialis yang dianut oleh Bung Karno berubah menjadi ekonomi pasar oleh Soeharto. Ini momentum.
Momentum ketiga, pemerintah Indonesia ingin mengurangi jumlah bank. Jadi, bank disarankan untuk merger. Jadi, saya merger tiga bank menjadi Panin Bank. Saya mendapat izin devisa. Izin devisa dan ekonomi Indonesia zaman pembaharuan mulai berkembang menjadi kesempatan yang baik untuk menjadi besar.
Kesempatan yang keempat adalah saat Indonesia masuk World Trade Organization (WTO). Dengan WTO ini, banking industry harus open. Maka, Pakto 88 (Paket Kebijakan 27 Oktober 1988) waktu itu jadi kesempatan. Saya bisa mengembangkan BCA. Lippo Bank juga demikian.
Sekarang juga momentum yang baru, yaitu ekonomi digital. Saya kira semua orang tahu ekonomi digital. Tapi, apa sesungguhnya apa itu ekonomi digital? Ekonomi digital berarti sharing economy. Kalau kita tidak mengerti sharing economy ini, tidak mungkin. Dengan sharing economy ini, e-banking harus masuk ke desa untuk partisipasi program pengentasan kemiskinan pemerintah. Bank ini andilnya besar.
Saya masuk ke desa, membantu petani. Ini dua hal yang berbeda. Tanpa ada suatu yang demikian ini, dan konsep yang jelas ini, digital banking tidak mungkin bisa ke sana. Jadi, saya mempunyai keyakinan, saya bisa ke sana. Objek yang akan saya layani adalah 200 juta rakyat kecil. Mereka memang kecil-kecil tapi kalau dikumpulkan akan besar.
KONTAN: Apa yang Anda lakukan di Bank Nobu?
MOCHTAR: Yang pertama, saya sudah siapkan ini tiga tahun di Cirebon. Sekarang, kami sudah ada 2.000 warung di desa itu yang kami biayai. Kami didik mereka menggunakan digital. Dulu, pemilik warung membeli barang dengan capital yang tidak banyak. Setiap dua hari, dia harus ke kecamatan, kulak barang. Dia harus jalan kaki dulu, naik angkot ke pasar kecamatan, dan kembali lagi. Barang dagangan yang dikulak itu hanya Rp 200.000-Rp 300.000. Tapi, ongkosnya Rp 80.000. Jadi, logistic cost itu 8%.
Sekarang, mereka pesan barang lewat handphone, mereka bayar lewat e-payment. Jadi, mereka bisa save 8% cost-nya itu. Kami menggunakan digital ini untuk membantu warung-warung di desa agar bisa membeli barang yang murah. Ini step pertama. Demand side.
Nanti, kalau ini sudah lancar, kami akan kirim barang menggunakan kendaraan kirim. Pada suatu saat, kami akan bilang ke petani di sana, “You punya tanaman dipilah. Yang panjang, yang menengah, yang pendek, dipilah. Packaging-nya harus begini. Maka you bisa langsung jual ke kota.
Jadi, ini second step mendidik mereka. Maka mereka bisa jual hasil buminya dengan harga yang baik dan beli kebutuhan dengan harga yang murah. Jadi jual mahal, beli murah. Sehingga, petani ada surplus.
Kami akan memperkenalkan distance learning ke sekolah. Kami akan memberikan divisi ke sekolah.
KONTAN: Ini semua sudah jalan?
MOCHTAR: Belum. Ini akan kami jalankan. Keempat, kami akan membantu puskesmas. Kami akan melatih mereka untuk pelayanan yang baik dan menggunakan digital. Sehingga, dokter di puskesmas bisa langsung berhubungan dengan spesialis di Jakarta untuk diagnostik penyakit dan membantu orang-orang, misalnya kalau perlu dirujuk ke kota.
Kasihan, di desa itu tidak ada dokter yang baik karena sistem puskesmas itu diborongkan Rp 9.000 per orang. Jadi enggak boleh klaim lagi. Maka, puskesmas enggak ambil pusing lagi. Memang BPJS akan menghemat tapi itu tidak bertanggung jawab. Borongkan Rp 9.000 ke saya, you datang ke sini. Saya, kan, rugi. Nah, ini tidak fair. Kasihan orang desa itu. Alangkah baiknya dokter di sana diatur, langsung diagnostik dari spesialis di kota besar. Empat langkah ini dilakukan Grup Lippo keseluruhan.
KONTAN: Jadi, apa yang sebetulnya membuat Anda masuk lagi ke bank?
MOCHTAR: Itu karena saya di-challenge dan saya pikir momentumnya kalau ada bisa saja. Momentumnya adalah digital. Digital ini bisa pilih ke atas, menengah, atau ke bawah. Dan saya pilih ke bawah.
KONTAN: Apakah Anda bisa membuat Bank Nobu nantinya menyaingi BCA yang pernah Anda besarkan?
MOCHTAR: Kalau dalam keadaan BCA normal, tidak mungkin. Karena dia terlalu besar. Sudah ada suatu distance, saya tidak bisa. Tapi kalau dia tidak allert, saya bisa. Contohnya, kalau Blue Bird jauh-jauh hari tahu tentang digital ini dan mengubah diri sendiri, mana bisa timbul Grab maupun Gojek. Tapi dia tidur, merasa nyaman. Di sinilah dia diganggu oleh Grab dan jadi masalah.
Jadi, tidak pernah ada suatu hal yang terus jaya dan tidak pernah ada suatu hal yang tidak jaya. Kalau BCA selalu sadar, tidak mungkin orang bisa kejar dia.
KONTAN: Anda sukses menjadi bankir, pengusaha, dan konglomerat. Anda sebetulnya ingin dikenang sebagai apa?
MOCHTAR: Saya hanya ingin dikenal sebagai orang yang jujur kepada Tuhan, taat kepada peraturan pemerintah. Jadi warga negara yang baik. Itu keinginan saya.
KONTAN: Anda dikenal sebagai bankir bertangan dingin yang telah membesarkan beberapa bank seperti Panin Bank dan BCA. Anda juga dikenal sebagai pengusaha tangguh. Anda juga dikenal sebagai konglomerat yang sukses membangun dan membesarkan Grup Lippo hingga seperti sekarang. Sebagai apa Anda ingin dikenang oleh orang, apakah sebagai bankir, sebagai pengusaha, atau sebagai konglomerat?
MOCHTAR: Saya kira itu semuanya sudah lewat. Tidak ada hal yang bisa kita banggakan. Tapi, kalau umpamanya saya bisa mempunyai atau membangun sekolah yang baik, saya bisa membangun rumahsakit yang baik, bisa mencerdaskan banyak orang, bisa menolong banyak orang yang sakit, itu lah yang mungkin bisa saya banggakan. Bisnis enggak ada artinya.
KONTAN: Sebagai konglomerat dan pendiri Grup Lippo, apa legacy atau warisan yang ingin Anda berikan kepada generasi penerus Anda?
MOCHTAR: Saya mempunyai satu konsep, satu keluarga adalah DNA atau sel daripada satu bangsa. Jadi kalau keluarga sehat, bangsa itu pasti sehat. Kalau keluarganya tidak sehat, negara bangsa itu sudah tidak sehat. Sehingga, setiap orang kalau sudah menjadi orang sebenarnya, itu harus betul-betul memperhatikan dan mendidik anak-anaknya. Supaya anaknya menjadi orang yang baik. Dan di sisi lainnya, kita mesti menghormati kepada orang tua. Nah kalau setiap keluarga setiap orang mempunyai konsep ini, bahkan negara kita kan aman, makmur. Sebetulnya hanya sesimpel itu.
KONTAN: Apakah keinginan yang Anda belum bisa wujudkan?
MOCHTAR: Kami berterima kasih sama Tuhan sudah diberkati seperti ini. Masa mau apa lagi? Sudah puas. Ada keinginan, hanya satu. Pesan kepada cucu saya, you harus bisa mendidik anak kamu lebih dari kamu. Kamu harus bisa mendidik anak kamu utang budi kepada tanah dan air. Sehingga, setiap anak cucu kita ini, kamu harus menjadi satu warga negara yang bermanfaat bagi banyak orang. Jangan membikin susah pemerintahan.
KONTAN: Di usia Anda saat ini, Anda masih tampak sehat dan bugar. Apa rahasianya?
MOCHTAR: Kesehatan itu adalah pemberian Tuhan. Apapun kita jaga tapi kalau Tuhan tidak mengizinkan, tidak mungkin bisa. Namun ada satu alasan. Saya dulu suka iri hati. Wah, ini kok begini, ini kok begitu. Jadi setiap iri hati itu, kurang enak. Dan akhirnya saya menyadari bahwa iri hati, jealousy, itu adalah penyakit yang paling celaka.
Mulai saat itu, terhadap apa saja, saya terima. Ini semua pemberian Tuhan. Kita hanya keja keras. Apa yang kita hasilkan, ya sudah.
Jadi, yang penting itu jangan iri hati. Itu merusak pikiran. Kalau dendam itu jadi masalah. Yang dipikirkan selalu yang jahat, bagaimana matikan dia. Jadi tidak tenang. Kalau merasa tidak ada dendam, setiap orang adalah teman baik, sehingga saya tidak punya kekhawatiran macam-macam. Jadi ada orang depan belakang pengawal. Jadi hidup tidak tenang.