KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketimpangan kekayaan di Indonesia terus menjadi perhatian serius. Laporan Global Wealth Databook yang dikutip dalam kajian Indonesia’s Rising Divide (World Bank, 2016) mencatat hanya 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.
Sebaliknya, 50% terbawah hanya memiliki kurang dari 5%. Ketimpangan ini tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan ekonomi, tetapi juga menjadi tantangan bagi pemerintah dalam merancang kebijakan perpajakan yang adil dan efektif.
Keadaan itu memberi gagasan perlunya diterapkan pajak kekayaan (wealth tax) untuk menciptakan keadilan pajak. Pertanyaan mendasarnya, apakah kebijakan pajak kekayaan bisa memberikan solusi struktural bagi redistribusi dan perluasan basis pajak, atau menjadi beban administratif yang sulit dijalankan?
Reformasi pajak
Secara umum, wealth tax adalah pungutan tahunan atas total nilai kekayaan bersih seseorang, dengan hitungan aset dikurangi kewajiban. Berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang berbasis arus kas, pajak kekayaan lebih menyasar pada akumulasi harta, seperti properti, surat berharga, logam mulia, bahkan aset digital.
Baca Juga: Ekspor China ke ASEAN Bulan Mei Cetak Rekor! Lonjakan Impor Indonesia Hingga 21%
Pemaknaan pajak kekayaan tertuju pada tujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif, serta merespons akumulasi kekayaan yang dimiliki seseorang, yang diyakini pasti tidak sebanding dengan kontribusi pajaknya.
Kalau begitu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Yon Arsal, Staf Ahli Menteri Keuangan menyatakan penerapan wealth tax tengah dikaji, namun memerlukan proses panjang karena tergolong jenis pajak baru yang butuh landasan undang-undang (UU) serta analisis manfaat-biaya secara menyeluruh.
Bahkan pemerintah tengah mendorong penerapan family tax unit, yakni pelaporan kekayaan keluarga sebagai satu kesatuan pajak. Cara ini sangat krusial dalam mendukung administrasi wealth tax terkait identifikasi kepemilikan aset lintas individu dalam satu keluarga, yang rawan disalahgunakan.
Baca Juga: Produksi Padi di Januari-April 2025 Tertinggi Dalam 7 Tahun Terakhir
Cepatnya respons yang dilakukan pemerintah memberikan sinyal kuat menandai perubahan pendekatan fiskal yang lebih terbuka terhadap instrumen redistributif. Karena itu esensi dari persoalan keadilan pajak, yang dinanti semua pihak untuk segera diwujudkan.
Saat rasio pajak terhadap produk domestik bruto (tax-to-GDP ratio) masih stagnan di kisaran 10,4% (World Bank, 2025), jauh di bawah rata-rata ASEAN sebesar 15%, penerapan pajak kekayaan menjadi satu opsi memperluas basis pajak tanpa membebani konsumsi masyarakat menengah-bawah.
Terlebih, sekitar 1.268 wajib pajak orang pribadi ultra-kaya di Indonesia menyumbang lebih dari 35% penerimaan PPh orang pribadi di sepanjang tahun 2023. Itu sebabnya, reformasi pajak patut dilanjutkan sesegera mungkin.
Baca Juga: Ditjen Pajak Pertegas Aturan Pertukaran Informasi
Kesenjangan fiskal juga diperkuat laporan The Prakarsa (2023), lembaga riset kebijakan publik independen, yang mengusulkan wealth tax atas individu dengan kekayaan bersih di atas Rp 155 miliar, berpotensi menghasilkan penerimaan negara hingga Rp 150 triliun, jika dikenakan sekali.
Angka tersebut tentu tidak bisa diabaikan. Karenanya, kajian yang sudah dijalankan pemerintah harus merupakan komitmen yang patut didukung. Publik harus dilibatkan guna mendorong terealisasinya gagasan besar tersebut.
Dalam diskusi kecil penulis dengan konsultan senior Halim Santoso, Founder HBMS Consulting, dinyatakan bahwa wealth tax sangat bisa menjadi instrumen koreksi fiskal yang memberikan keadilan pajak, sepanjang didasarkan pada data yang kuat. Pelaku usaha pun tidak terbebani likuiditas bisnis produktif.
Baca Juga: Mendadak Kisruh Tambang Nikel di Raja Ampat, PT GAG Akhirnya Buka Suara
Dengan kata lain, desain kebijakan (kelanjutan reformasi pajak) harus menjawab tantangan struktural tanpa mengganggu iklim investasi. Pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, dan wajib pajak tetap percaya atas kebijakan fiskal yang demikian.
Memang, di banyak negara, hambatannya terletak pada valuasi aset, likuiditas dan kesiapan data lintas lembaga. Sistem perpajakan kita pun masih menghadapi kesenjangan informasi antar instansi, termasuk minim audit atas aset non-likuid seperti karya seni atau aset digital.
Praktik internasional
Negara Norwegia menjadi contoh bagaimana wealth tax tetap dipertahankan dengan tarif rendah dan sistem pelaporan yang transparan. Sebaliknya, Prancis menghentikan wealth tax pada 2017 karena dianggap menciptakan distorsi dan mendorong eksodus kekayaan.
Di Asia Tenggara, ternyata Singapura dan Filipina belum memiliki wealth tax formal, tetapi menerapkan instrumen alternatif seperti pajak properti progresif dan pajak warisan yang fungsinya mirip secara prinsipil.
Baca Juga: Ketidakpastian Global Bayangi Cadangan Devisa
Artinya, praktik internasional terkait wealth tax, cukup beragam. Dalam penilaian penulis, secara teoritik, kebutuhan akan kebijakan fiskal tetap harus disesuaikan dengan kapasitas administrasi dan dinamika kepatuhan masyarakat.
Akan tetapi, negara tidak boleh abai jika kajian terhadap wealth tax harus segera diwujudkan sebagai langkah solusi (bukan ilusi) menuju keadilan pajak yang dicita-citakan. Wealth tax bukan sekadar alat fiskal, tetapi ujian keadilan. Keberhasilannya ditentukan bukan oleh desain tarif atau batas minimum, tetapi kemauan politik.
Sebagai kesimpulan, pemberlakuan wealth tax diyakini menjadi pemecah kebuntuan akan dana yang diperlukan negara. Maka tepat jika digaungkan ungkapan yang menyatakan, "tanpa keberanian mengevaluasi instrumen perpajakan, kita akan terus kehilangan potensi, terutama dari mereka yang pantas memberi kontribusi lebih kepada negara".