KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Sudah 96 tahun yang lalu sejak para pemuda Indonesia mengucapkan sumpah tersebut pada Kongres Pemuda Kedua, yang digelar pada 27-28 Oktober 1928.
Presiden Republik Indonesia pertama, Soekarno, juga menempatkan pemuda di derajat yang tinggi. Mungkin Anda pernah mendengar salah satu pidatonya yang menyebut, "Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!"
Tapi entah bagaimana pendapat Soekarno bila masih hidup sekarang dan membaca hasil survei yang dilakukan Intelligent.com. Survei tersebut menyiratkan, pemuda zaman sekarang kurang bisa diandalkan. Sekadar info, Intelligent adalah media dan platform online konsultasi pendidikan dan karier.
Dalam survei tersebut, Intelligent mendapati 75% perusahaan yang disurvei menilai kinerja karyawan Gen Z yang mereka rekrut tidak memuaskan. Setidaknya enam dari 10 perusahaan mengatakan mereka pernah memecat karyawan fresh graduate yang baru saja direkrut.
Perusahaan-perusahaan tersebut mendapati pekerja Gen Z kesulitan beradaptasi dengan pekerjaan. Selain itu, para pekerja Gen Z juga disebut kurang motivasi, kurang profesionalisme, serta tidak memiliki kemampuan komunikasi dan organisasi yang mumpuni.
Memang, ini riset yang dilakukan atas perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Di Indonesia, sepertinya kebanyakan perusahaan masih menaruh harapan pada generasi Z. Buktinya, masih banyak perusahaan mencari pegawai baru yang berusia muda.
Tapi, akses pemuda Indonesia terhadap lapangan dan kesempatan kerja masih rendah. Menilik Indeks Pembangunan Pemuda 2023, pencapaian indeks Lapangan dan Kesempatan Kerja cuma sebesar 45,0%. Menurut Kementerian Pemuda dan Olahraga, indikator ini berkaitan erat dengan peran pemuda melakukan penetrasi di pasar tenaga kerja.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase pengangguran terbuka terbesar juga ada pada generasi Z. Menilik hasil Survei Angkatan Kerja Nasional yang digelar BPS, gen Z yang masuk kategori pengangguran terbuka mencapai 16,42%, turun sedikit dari 16,46% setahun sebelumnya.
Salah satu solusi yang bisa ditawarkan adalah penguatan pendidikan karakter. Kurikulum pendidikan tidak bisa hanya mementingkan transfer ilmu praktis. Selain itu, perlu ada kurikulum yang berkelanjutan, yang tidak ikut berubah saat pemerintah berganti.