KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhatian masyarakat belakangan ini kembali tertuju pada isu pernikahan beda agama. Perhatian ini terutama setelah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2/2023 mengenai petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin memerintahkan hakim memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
MA memerintahkan agar pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat berbeda agama dan kepercayaan.
Perintah ketua MA ini kembali menuai pro kontra di masyarakat. Masyarakat pembela hak asasi manusia (HAM) menilai kebijakan ini melanggar hak asasi. Sebab Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan bahwa perkawinan adalah bagian dari kebebasan dasar yang lahir dari sifat alamiah manusia itu sendiri.
Pasal 10 UU No 39 tahun 1999 tentang HAM mengatur bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.
Namun, perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 2 ayat 1) UU Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya negara menyerahkan pengesahan perkawinan kepada aturan agama.
Sejatinya pasal ini juga sudah berulang kali digugat uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Terakhir MK kembali menolak gugatan pada awal tahun 2023 ini, dan menegaskan, UU No 1/1974 tidak bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
MK berpandangan, perkawinan merupakan bagian dari forum eksternum atau ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati nurani, sehingga negara dapat campur tangan, seperti halnya pengelolaan zakat juga haji.
Intinya, aturan negara menyerahkan kepada aturan agama sebagi bentuk penghormatan negara kepada aturan yang diciptakan Tuhan.
Terlepas dari hukum formal tersebut, bukankah membiarkan pasangan beda agama tanpa jalan menikah justru menambah mudarat?