KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kalau Anda penggemar sepak bola, pasti tahu persis, bagaimana selera seorang pemilik bisa mengubah "warna" sebuah klub bola. Mulai dari desain jersey, pelatih yang ditunjuk, pemain yang dipilih mengisi line up dan di bangku cadangan, sampai ke strategi bermain bola di lapangan.
Hal yang sama terjadi juga dalam pemerintahan di sebuah negara. Setiap kali rezim berganti, apalagi rezim yang digantikan dengan revolusi, maka "para pemain" di dalamnya pun akan berganti. Bedanya, dalam konteks pergantian rezim ini, permainan bisa menjadi sangat kotor dan berdarah-darah.
Hal yang unik terjadi di negeri kita. Di awal pemerintahan ini berjalan, dikatakan pemerintahan berkomitmen melanjutkan program yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Bahkan sebelum Presiden Prabowo resmi berkuasa, dibentuk Tim Gugus Tugas Sinkronisasi yang menjembatani program di pemerintahan lama dan baru. Di dalam Kabinet Merah Putih pun bisa kita lihat ada begitu banyak nama menteri-menteri dari Kabinet Indonesia Maju, kabinet di era Jokowi periode ke-2. Ini seperti meyakinkan kita, semua niatan dan komitmen dari Presiden Prabowo itu memang nyata adanya.
Tapi rupanya pelan-pelan pemerintahan kita ini bergeser. Mulai dari penghematan anggaran belanja 2025. RAPBN 2025 yang sudah diketok sebelumnya, dibongkar total dan banyak anggaran dari beberapa kementerian dipotong untuk dialokasikan pada program pemerintah baru. Terakhir, calon ASN yang sudah terpilih dan harusnya mulai masuk Maret 2025 ditunda menjadi Oktober 2025. Memang selera seseorang tidak bisa sama 100%. Apa yang terjadi saat ini sepertinya bukan meneruskan program tapi lebih ke "pergantian pemain" besar-besaran. Ada beberapa orang yang mungkin masih akan bisa terus menempel dengan pemerintahan yang baru. Tentunya, orang-orang ini akan dipakai karena perannya yang dianggap penting atau loyalitasnya dipercaya sudah berganti kepada tuan yang baru.
Tapi ada juga banyak orang yang tidak punya hati atau kemampuan untuk menempel ke pemerintahan baru. Bukan semata-mata karena masalah pribadi, tapi ada banyak orang yang ingin bekerja untuk berkarya di tempatnya. Mereka memang pekerja teknis, bukan politisi. Ke depan ini akan makin banyak pergantian pejabat, komisaris, direksi di BUMN dan anak-anak usahanya. Baik dengan cara "baik-baik" ataupun dengan model penangkapan oleh KPK atau Kejaksaan. Saya hanya berharap, pemerintahan ini berhati-hati "mengganti para pemain". Kalau tujuannya untuk membersihkan orang yang korupsi tentulah baik. Tapi kalau hanya untuk "menggantikan pemain" saja, sentimen positif tidak akan pernah muncul. Yang muncul Indonesia semakin gelap.