KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Para produsen batubara ramai-ramai menggenjot produksi coking coal atau batubara kokas. Permintaan batubara berkalori tinggi ini diyakini terus meningkat seiring dengan pertumbuhan produksi baja, konstruksi dan manufaktur.
Salah satu produsen batubara yang membidik peluang batubara kokas adalah PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Emiten ini memiliki dua anak usaha yang memproduksi batubara kokas.
Pertama, Adaro MetCoal Companies (AMC) yang memasang target produksi 1 juta ton. Proyeksi tersebut sama dengan realisasi produksi pada tahun lalu. Kedua, Kestrel Coal Resources Pty, yang memasang target produksi sebesar 6,5 juta ton, atau tumbuh 39% dibandingkan realisasi tahun lalu sebanyak 4,67 juta ton.
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira menyebutkan, pertumbuhan produksi batubara kokas pada tahun ini didorong oleh permintaan baja pada tahun ini. "Kami memperkirakan produksi baja akan tumbuh moderat karena peningkatan pertumbuhan ekonomi global," ungkap dia kepada KONTAN, Sabtu (16/3) pekan lalu.
Bukan hanya di dalam negeri, manajemen ADRO juga mengharapkan peningkatan permintaan batubara kokas dari pasar ekspor seperti India, Eropa, Brazil, Vietnam dan Jepang. Nadira menilai, India merupakan motor utama permintaan batubara kokas lantaran adanya peningkatan sektor konstruksi dan manufaktur. "Produksi batubara dari Adaro MetCoal dijual ke para pelanggan di Jepang, Thailand, Indonesia, India, China dan Eropa," kata dia. Adapun produksi Kestrel akan dijual ke Jepang.
Untuk penentuan harga, Adaro selalu mengacu indeks harga batubara premium hard coking coal global. "Sedangkan harga batubara coking coal Adaro MetCoal mengikuti indeks harga semi-soft coking coal global," imbuh Nadira.
Menurut catatan ADRO, Adaro MetCoal memiliki sekitar 1,27 miliar ton sumber daya batubara metalurgi premium yang berkualitas tinggi. Sedangkan cadangan batubara kokas dari Kestrel sebesar 146 juta ton dengan sumber daya sebesar 241 juta ton.
Sementara itu, emiten Grup Astra yakni PT United Tractors Tbk (UNTR) melalui PT Suprabari Mapanindo Mineral juga memasang target produksi batubara kokas sebanyak 1,5 juta ton. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan realisasi produksi pada tahun lalu yang hanya sebanyak 807.000 ton. "Kami menjual batubara kokas ke pasar ekspor yaitu Jepang," ungkap Sara K Loebis, Corporate Secretary United Tractors.
Namun pada tahun ini tak ada anggaran khusus untuk pengembangan Suprabari Mapanindo Mineral. Manajemen UNTR tetap optimistis permintaan batubara kokas semakin tumbuh.
Bukan hanya ADRO dan UNTR, induk usaha PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) yaitu Golden Energy and Resources Limited (GEAR) juga merambah bisnis batubara kokas dengan mengakuisisi tambang coking coal milik Stanmore Coal di Australia senilai sekitar US$ 202 juta.
Kompetisi sengit
Persaingan bisnis batubara kokas semakin ketat dengan kemunculan sejumlah perusahaan batubara yang ikut menggarap produk berkalori tinggi tersebut. Saat ini, produsen terbesar batubara kokas masih dikuasai oleh Australia.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menuturkan, meski persaingan akan semakin ketat, prospek bisnis coking coal di masa yang akan datang terbilang positif. "Karena pasokannya juga tidak terlalu banyak, permintaan akan tetap tumbuh," ungkap dia, Minggu (17/3).
Memang, menurut Hendra, kini tak terlalu banyak perusahaan yang menjalani bisnis tersebut, tapi pemain batubara kokas dalam negeri memiliki peluang besar di bisnis ini. Sebab, harga batubara kokas lebih tinggi dan jauh lebih konsisten ketimbang thermal coal.
Namun produsen yang ingin mencicipi bisnis ini harus merogoh kantong lebih dalam untuk membangun infrastruktur, pengangkutan batubara yang jauh dari lokasi tambang. "Perlu investasi lebih banyak," kata Hendra.