KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tidak ada istilah lame duck dalam kamus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Alih-alih "lumpuh" menjelang pensiun, kekuatan kekuasaan si tukang kayu ini justru unjuk gigi di masa injury time.
Bahkan publik seolah tak diberi ruang sedikit pun untuk berpaling kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto, hingga mencermati calon-calon tim ekonomi kabinet baru, maupun mengkritisi agenda pemerintahan mendatang. Sebab ruang publik selalu dipenuhi serial tentang Jokowi; dari polemik pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, pro-kontra reshuffle kabinet di pengujung masa pemerintahan, hingga kontroversi pergantian petinggi Partai Golkar dan urusan dinasti politik.
Ya, Jokowi adalah super duck. Ia mampu mengonsolidasikan hampir semua kekuatan partai politik hingga organisasi sosial kemasyarakatan dalam genggamannya. Nyaris tiada ruang bagi partai politik yang mencoba menjadi oposisi pemerintahannya.
Kuatnya pemerintahan dan kekuasaan, di satu sisi, memang akan menjamin efektivitas pemerintahan dalam menjalankan pembangunan. Namun sempitnya ruang oposisi menjadikan pemerintahan bisa berjalan tanpa kontrol dan kendali, hingga menyuburkan korupsi dan melemahkan demokrasi.
Nah, situasi ini bukan hanya kabar buruk bagi kita, melainkan juga bagi industri pasar modal. Maklum, berbagai studi menunjukkan bahwa pasar modal lebih mudah berkembang dan tumbuh subur di negara demokratis. Demokrasi dan demokratisasi merupakan faktor krusial bagi perekonomian.
Di Indonesia misalnya, data Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan skor tertinggi indeks demokrasi Indonesia sepanjang satu dekade masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono adalah 6,95. Di masa pemerintahan SBY pula rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 6%-6,5%, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat hampir 500%.
Sementara skor indeks demokrasi Indonesia era Presiden Jokowi bergerak di antara 6,3-7,03 jika merujuk data EIU. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan di kisaran 5%, sementara IHSG hanya naik 51% sejak Jokowi menjabat presiden tahun 2014 hingga penutupan pasar kemarin (29/8).
Perbandingan itu kian menegaskan bahwa demokrasi merupakan faktor krusial bagi ekonomi. Pasar juga tak butuh penguasa yang sangat kuat karena justru menjadi malapetaka; mereka bisa berbuat apa saja, mengubah aturan sesuka hatinya, sehingga memicu ketidakpastian baru.