Protes Ekspor Pasir Laut Terus Berbisik, Kebijakan Buka Tutup Berulang
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Protes pembukaan ekspor pasir terus ‘berisik’. Protes datang dari segala penjuru, mulai dari pemerhati lingkungan alias NGO, komunitas pemerhati kelautan dan perikanan hingga nelayan. Mereka mempertanyakan keputusan pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut.
Dalam aturan itu, pengelolaan sendimentasi yang dapat dimanfaatkan yakni pasir laut dan/atau material lain berupa lumpur. Ekspor terbuka jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi serta sesuai ketentuan perundangan.
Adapun di dalam negeri, pasir laut untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, serta pembangunan prasarana oleh pelaku usaha. “Jadi ekspor bukan tujuan utama, tapi untuk pemenuhan dalam negeri dulu,” sebut Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi kepada KONTAN (29/5).
Kata Wahyu, sedimentasi laut berlangsung setiap tahun. Jika tidak diambil dan dimanfaatkan akan menutupi terumbu karang dan alur laut. “Pasir laut yang tak dimanfaatkan juga rawan dicuri oleh oknum. “Jika diambil, akan memberi keuntungan bagi negara dan bisa ratusan triliun,” sebut Wahyu.
Ekspor pasir laut, kata dia, tak bisa sembarangan. Pemerintah akan membentuk tim yang terdiri dari Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Perhubungan. “Saat ini, KKP sedang menyusun teknis PP 26/2023 atas pemanfaatan sendimentasi dan lokasinya,” jelas Wahyu lagi.
Tak cukup dari juru bicara, Menteri KKP juga angkat suara. Menteri Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan, salah satu alasan keluarnya PP itu adalahnya desakan permintaan proyek reklamasi di dalam negeri. Untuk itu, perlu aturan tegas agar penambangan pasir laut untuk proyek reklamasi tidak asal-asalan dan merusak lingkungan.
"Kebutuhan reklamasi dalam negeri begitu besar. Jika ini kami diamkan, tidak diatur dengan baik, bisa jadi pulau-pulau itu akan diambil untuk digunakan reklamasi, atau penyedotan yang di dasar laut yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Itulah yang harus kita jaga," ungkap Trenggono di Gedung KKP, Kawasan Gambir (31/5),
Trenggono menyebut ada sejumlah proyek reklamasi di dalam negeri yang membutuhkan pasir laut. Misalnya proyek reklamasi di Surabaya, Batam, bahkan di proyek Ibu Kota Nusantara.
Sebelum Trenggono, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga bersuara bahwa terbitnya PP Nomor 26/ 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, antara lain, untuk pendalaman alur, dan pasir laut juga akan dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi guna pengembangan industri.
Menko Marves Luhut dan Menteri KKP Trenggono tak menyebut gamblang proyek-proyek reklamasi dalam negeri yang membutuhkan gunungan pasir laut yang disebut hasil sendimentasi itu.
Beberapa pemberitaan atas reklamasi terjadi di Surabaya, Jawa Timur yakni Pantai Kenjeran seluas minimal 300 Hektare (Ha), reklamasi di Bali serta proyek besar reklamasi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau yang malam sempat disebut Luhut. “Reklamasi di Pulau Rempang untuk industri solar panel. Bisa jadi, proyek itu akan masuk dalam rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),” sebut Luhut (30/5)
Muncul, Tenggelam, Sejarah Ekspor Pasir Laut Indonesia
Pasir laut memang terus bergerak, mengikuti ombak, alur laut dan terus mengalir ke dasar-dasar laut.
Dus hingga kini, protes ekspor pasir laut terus menguar. Ini lantaran ekspor pasir laut dinilai lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.
Merujuk histori terkait pasir laut, Indonesia pernah selama bertahun-tahun melakukan ekspor pasir laut, sebelum kemudian distop oleh pemerintahan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri pada tahun 2002. Penambangan pasir laut dihentikan lantaran pengedukan pasir laut nyaris menenggelamkan pulau-pulau di sekitar Kepulauan Riau.
Kala itu, mayoritas ekspor pasir laut ke Singpura yang membutuhkan gunungan pasir untuk reklamasi wilayahnya agar lebih luas. Mingguan KONTAN tahun sejak 2003 dalam pemberitaan mencatat peristiwa muncul, tenggelamnya larangan ekspor pasir laut dari Indonesia.
Indonesia pertama kali melarang ekspor pasir laut pada Mei 2002 lewat Instruksi Presiden yang kala itu dipimpin Megawati No 3/2002. Ia memerintahkan para menterinya untuk mengendalikan penambangan dan ekspor pasir laut.
Lantas, tiga Tiga menteri Megawati kala itu menandatangani Surat Keputusan Bersama yakni Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup dengan Nomor: 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor: SKB.07/MEN/2/2002, Nomor: 01/MENLH/2/2002, tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Tiga menteri meneken keputusan bersama itu yakni Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri, dam Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim.
Lantas Menteri Rini kala itu bahkan sampai mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Tenggang waktu diberikan kepada pebisnis yang memiliki kontrak dengan Singapura untuk memenuhi kontraknya dengan izin dan pengawasan ketat.
Sesungguhnya, dalam kurun tahun 2003 sampai 2007, ada banyak upaya baik dari pebisnis pasir hingga Singapura terus berupaya agar ekspor pasir dibuka. Pasir laut kala itu bak berlian. Harganya mahal di luar, namun barangnya murah di dalam negeri. Banyak pemain kakap bermain di bisnis pasir laut ini. Hanya butuh kapal, pasir-pasir laut disedot lantas dikirim ke negara Singa.
Tak hanya pengusaha yang terus melobi, pemerintah Indonesia juga memanfaatkan kondisi stop ekspor pasir untuk duduk bareng dengan Singapura. Utamanya untuk membicarakan garis batas laut dan darat Singapura yang berubah akibat reklamasi di Jurong, baik untuk lapangan terbang Changi, East Cost, Tanjung Rhu dan proyek pelabuhan pasir panjang.
Larangan ekspor itu dipertegas kembali pada tahun 2007, sebagai bentuk perlawanan aksi pengiriman pasir secara ilegal ke Negeri Singa itu lantaran negosiasi berjalan alot.
Cuan Bisnis Pasir Menggiurkan, Siapa Untung?
Buntutnya, harga pasir di sana melonjak drastis. Pasir menjadi barang mahal di Singapura. Saat itu, dari harga Sin$ 7,5 per metrik ton menjadi Sin$ 60 per metrik ton.
Kondisi ini membuat para pelaku bisnis konstruksi di Negeri Singa ini kebat-kebit. Penyelundupan semarak, bahkan sampai mendompleng ekspor pasir silika. Itu pula yang membuat Pemerintah Indonesia mempertegas larangan ekspor pasir laut.
Selang 20 tahun ekspor pasir dilarang, era Presiden Jokowi, izin ekspor pasir laut kembali dibuka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2023.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Parid Ridwanuddin, menyebut PP Nomor 26 tahun 2023 sebagai gerakan mundur dalam komitmen Indonesia untuk melestarikan ekosistem laut. “Izin ini dapat menimbulkan efek buruk bagi lingkungan,” sebut Parid.
Kata Parid, dalam laporan bulan April 2022, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) mengungkap, penggunaan sumber daya pasir meningkat tiga kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Angka ini setara dengan 50 miliar metrik ton diekstrasi per tahunnya.
Walhi juga mencatat, sampai 2040, lebih dari 3,5 juta ha, pemerintah akan mereklamasi pantai. “Ini artinuya, ada upaya perencanaan merusak laut dengan atas nama pembangunan,” ujar dia.
Kata dia, ada 20 pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau dan lainnya hilang dan sebanyak 115 Pulau terancam akibat pengedukan pasir untuk kebutuhan dalam negeri.
Kata dia, Singapura dan China adalah dua negara yang akan diuntungkan dari dibukanya keran ekspor pasir laut di Indonesia. Mengutip Reuters, Otoritas Kelautan dan
Pelabuhan Singapura saat ini tengah merancang fase ketiga dari Mega Proyek Pelabutan Tuas yang ditargetkan selesai pada pertengahan 2030.
“China boleh jadi juga akan sangat diuntungkan karena mereka tengah mereklamasi pulau-pulau kecil mereka di wilayah Laut China Selatan,” sebut dia.