KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman penurunan daya beli masyarakat masih belum juga sirna. Yang ada, sepertinya malah semakin banyak keluarga kelas menengah di Indonesia yang terpapar ancaman menjadi keluarga sadikin dan jamila.
Pernah mendengar kedua istilah tersebut? Istilah sadikin merupakan akronim dari "sakit sedikit jadi miskin". Sementara jamila merupakan akronim dari "jadi miskin lagi".
Potensi bertambahnya keluarga sadikin dan jamila di Indonesia sepertinya masih sulit terelakkan bila melihat kondisi ekonomi belakangan ini. Data-data ekonomi yang dirilis, kok, kurang mendukung ekonomi bergerak ke arah positif.
Salah satu contoh, menurut survei Bank Indonesia, proporsi pendapatan konsumen yang dialokasikan sebagai tabungan di Februari cuma sebesar 14,7%. Ini merupakan rasio terendah dalam setidaknya dua tahun terakhir.
Artinya, bisa dibilang kondisi ekonomi konsumen saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi saat Indonesia baru keluar dari pembatasan kegiatan masyarakat usai pandemi.
Cuma memang, bisa jadi juga ini ada andil dari konsumsi masyarakat jelang Ramadan. Survei BI memang mendapati, pendapatan konsumen untuk konsumsi meningkat, saat Indonesia mengalami deflasi.
Tapi, data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkuat fenomena makan tabungan masih terjadi tahun ini. Data LPS per Januari 2025 mencatat, porsi simpanan masyarakat dengan nominal Rp 100 juta ke bawah turun 2,6% di periode itu.
Penurunan juga tercatat di level nominal simpanan antara Rp 100 juta sampai Rp 200 juta. Penurunan di level simpanan ini lebih rendah, cuma sebesar 0,4% di Januari.
Kalau kondisi ini terus dibiarkan, jumlah masyarakat kelas menengah yang turun kasta bisa terus bertambah. Menurut data BPS, di 2019 silam ada 57,33 juta penduduk kelas menengah.
Sementara di 2024, jumlahnya tinggal 47,85 juta orang. Menurut proyeksi ekonom, jumlah masyarakat kelas menengah ini bisa turun lagi jadi 46,9 juta orang tahun ini.
Bahkan, bila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menekan daya beli, jumlahnya bisa turun lebih dalam hingga 44,7 juta orang. Seperti kita tahu, pemerintah memutuskan menunda pengangkatan ASN. Ini membuat banyak masyarakat kehilangan potensi pendapatan.
Sampai kini, pemerintah baru belum terlihat memiliki kebijakan konkrit untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan makan bergizi gratis juga tidak optimal.