KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini, Bulog tampaknya sedang mengalami paradoks klasik dalam pengelolaan pangan nasional. Kita tentu masih ingat, ketika Bulog mengumumkan stok beras mencapai rekor tertinggi yang pernah ada, yakni sejumlah 4 juta ton beras pada Mei 2025 lalu. Namun, hingga kini, penyaluran beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) justru berjalan lamban.
Program SPHP sejatinya dirancang sebagai bantalan stabilisasi harga, dengan target distribusi sekitar 1,3 juta ton beras subsidi sepanjang 2025. Hingga pertengahan tahun ini, realisasi penyalurannya baru sekitar 45 ribu ton, alias tidak sampai 4% dari target nasional. Lambannya pergerakan ini membuat stok lama menumpuk di gudang, bahkan sebagian harus direproses agar layak dikonsumsi.
Bulog tengah berupaya melakukan pengosongan gudang dengan mempercepat penjualan beras lama. Langkah ini dilakukan karena sebagian gudang telah terisi hingga 90% kapasitas, padahal musim panen berikutnya sudah di depan mata.
Di tengah upaya memperlancar arus beras keluar, muncul keluhan soal kualitas beras SPHP. Yang terbaru, datang dari Blitar, Ternate, dan beberapa wilayah lain. Warga menyebut beras SPHP berbau apek, berwarna abu-abu. Bulog mengakui ada sebagian kecil beras yang mengalami penurunan mutu akibat penyimpanan lama, dan ada 0,1% stok yang masuk reproses. Meski secara statistik kecil, keluhan publik menunjukkan ada celah dalam rotasi stok dan pengawasan mutu.
Situasi ini ironis karena terjadi di tengah harga beras premium yang terus naikmenembus Rp 18.000 per kilogram di Jabodetabek. Dalam kasus harga beras tinggi (apapun jenisnya), Bulog melakukan operasi pasar. Bisa jadi, beras SPHP yang disalurkan Bulog, tidak diminati oleh segmen pasar beras premium. Namun, upaya pengurangan stok beras Bulog tetap perlu dilakukan. Kalangan TNI/Polri juga terlihat melakukan operasi pasar beras SPHP. Terakhir, Bulog menyalurkan beras SPHP ini untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lapas. Bulog juga sedang mengusulkan menerapkan lagi pemberian natura pada ASN dan TNI/Polri.
Semua dilakukan agar beras persediaan cepat terserap. Ke depan, sebaiknya Pemerintah membaharui manajemen beras Bulog, agar tidak terjebak pada logika penumpukan stok seperti sekarang. Di antaranya, mungkin investasi pada silo gabah modern, hingga Bulog tidak melulu menyimpan beras yang rentan, tapi bisa menumpuk gabah.
