Berita Market

Sudah Naik Tinggi, Saham Smartfren (FREN) Terlalu Berisiko

Jumat, 22 Februari 2019 | 09:00 WIB
Sudah Naik Tinggi, Saham Smartfren (FREN) Terlalu Berisiko

Reporter: Harry Muthahhari, Tedy Gumilar | Editor: Tedy Gumilar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) menjadi salah satu bintang yang bersinar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Emiten milik Grup Sinarmas ini menjadi buah bibir lantaran harga sahamnya melambung sejak mengawali 2019. Secara year-to-date (ytd) hingga 21 Februari 2019, harga sahamnya terbang 269,23%.

Cuma sayang, kenaikan harga FREN bukan dipicu oleh perbaikan fundamental. Melainkan oleh rumor yang hingga kini belum jelas kebenarannya.

Sampai sekarang kinerja keuangan Smartfren masih jauh dari kata positif. Merujuk laporan keuangan terakhir yang dipublikasikan manajemen perseroan, per 30 September 2018 pendapatan usaha FREN naik 19,01% menjadi 3,95 triliun (year-on-year/yoy). 

Pada waktu yang sama, FREN masih dibelit rugi bersih senilai Rp 2,50 triliun. Angkanya memang turun 11,1% (yoy) dibanding periode sama tahun sebelumnya.

Tidak aneh jika data RTI menunjukkan, profitabilitas FREN dipenuhi kelir merah. Misalnya, margin laba operasi yang -48,71% dan margin laba bersih -63,39%. Lalu, return on equity -49,38% serta return on assets -13,07%.

Kinerja keuangan yang jelek membuat harga saham FREN yang melambung menjauhi level harga wajarnya. Posisi price to earnings ratio (PER) -14,50 kali lantaran laba per sahamnya juga minus Rp 20. 

Sedangkan rasio price to book value (PBV) ada di 7,25 kali. Artinya, harga saham FREN yang saat ini ada di Rp 290 per saham sudah 7,25 kali di atas nilai bukunya. Jika mengacu pada perhitungan ini, nilai buku per saham FREN mestinya cuma Rp 40.

Senjakala industri halo-halo

Smartfren memang tidak sendirian. Laporan keuangan tiga emiten halo-halo yang lain juga memperlihatkan kondisi bottom line yang memburuk. PT XL Axiata Tbk (EXCL) termasuk yang paling menderita lantaran bottom line-nya berbalik dari laba bersih menjadi rugi bersih.  Sepanjang 2018, EXCL merugi bersih Rp 3,30 triliun setelah pada 2017 meraih laba bersih Rp 375,24 miliar.

Kondisi ini menguatkan gambaran tentang senjakala yang dihadapi industri telekomunikasi. Persaingan antar-operator yang begitu ketat membuat perang tarif tidak pernah bisa dielakkan. Dus, pendapatan usaha boleh saja meningkat. Tapi keuntungan yang bisa diraih itu persoalan yang lain lagi.

Demi merebut hati penggguna, Smartfren misalnya, menjajakan sejumlah paket data internet super murah. Salah satunya, Smartfren Super 4G Unlimited 65 ribu yang berlaku satu bulan. Kuota data yang bisa dimanfaatkan pengguna hingga 1 gigabyte (GB) per hari. "Kalau kurang mahal, memang iya," kata Direktur Utama PT Smartfren Telecom Tbk Merza Fachys, Rabu (20/2).

Sebetulnya, asa sempat membuncah bahwa perang tarif bakal mereda. Salah satunya seiring regulasi registrasi kartu SIM prabayar sejak Oktober 2017 lalu. Dampak yang diharapkan, aksi operator seluler yang jorjoran mengobral kartu perdana untuk data internet lebih terkendali. 

Namun, perkiraan tersebut meleset lantaran keputusan pemerintah berubah-ubah. Semula Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) membatasi satu nomor induk kependudukan (NIK) hanya boleh mendaftarkan tiga nomor seluler. Untuk pendaftaran nomor keempat harus melalui gerai resmi milik operator seluler.

Aturan ini terus berubah dan tidak ada lagi pembatasan satu NIK tiga nomor seluler. Pendaftaran kartu perdana keempat dan seterusnya pun bisa dilakukan melalui outlet-outlet penjualan pulsa dan kartu perdana seluler. 

Walhasil, obral kartu perdana data internet kembali tanpa rem. Dus, operator seluler terjebak lagi dalam kubangan perang tarif data internet.

Agresif di luar Jawa

Belakangan, selain di Jawa, operator gencar mengembangkan jaringan dan layanan di luar Jawa. Mulai Maret tahun ini, FREN mengepakkan jaringannya ke Pulau Natuna, Kepulauan Riau dengan memanfaatkan jaringan tulang punggung Palapa Ring. 

Operator itu juga melirik wilayah lain yang berpotensi mendongkrak kinerja perusahaan. Secara keseluruhan tahun ini FREN menganggarkan belanja modal US$ 200 juta, diantaranya untuk membangun lebih dari 3.000 menara base transceiver station (BTS).

Sementara PT Indosat Tbk (ISAT) tahun ini menganggarkan capital expenditure sekitar Rp 10 triliun. Sebagian besar untuk pembangunan BTS 4G termasuk di luar Jawa.

Ekspansi operator ini bagus buat perluasan jangkauan dan pemerataan kualitas jaringan. Lagipula, konsumen yang pada akhirnya akan diuntungkan. 

Namun, wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan daerah timur Indonesia lebih luas dan jumlah serta sebaran penduduknya lebih jarang ketimbang Jawa. Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada 2015 Kepulauan Riau merupakan wilayah terpadat di Sumatra dengan kepadatan penduduk 241 jiwa per km2. Sedangkan Jawa Timur yang kepadatannya lebih rendah ketimbang provinsi lain di Jawa setiap km2 dihuni 813 penduduk.

Pada periode yang sama, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di Sumatra hanya 21,63%. Sementara penduduk Indonesia di Jawa mencapai 56,81% dari total penduduk Indonesia.

Artinya, potensi pasar yang bisa digarap tidak segemuk Jawa. Sementara investasi yang dibutuhkan untuk menjangkau seluruh wilayah bisa lebih besar.

Dus, dengan kompetisi yang tetap sengit dan melebar ke luar Jawa, kebutuhan investasi yang besar, dan perang tarif yang masih berlangsung, sulit berharap industri halo-halo bisa keluar dari golongan sunset industry dalam tempo singkat.

Konsolidasi tak terelakkan

Dus, sejak beberapa tahun silam, konsolidasi antar-operator seluler tidak terelakkan. Strategi anorganik ini akan mengurangi tingkat persaingan di industri. Sekaligus menjadikan industri telekomunikasi seluler lebih efisien.

EXCL dan Axis sudah melakukan merger pada 2014 silam. Sekitar Februari 2015, Indosat sempat dikabarkan akan mengakuisisi Tri dan belakangan tidak terbukti. 

Berdasar penelusuran KONTAN, pada 2015, Menkominfo Rudiantara pernah bilang, dalam lima tahun ke depan jumlah operator seluler akan menyusut menjadi tinggal 3-4 operator saja. Tersisa kurang dari dua tahun lagi dari perkiraan Menkominfo, saat ini masih ada enam operator seluler. Yakni, Telkomsel, XL, Indosat, Smartfren, Tri dan PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia yang mengusung merek dagang Net1 Indonesia.

Jalan mulus bagi konsolidasi antar-operator tengah dirintis. Kemkominfo berencana melonggarkan aturan terkait transfer spektrum. Dus, operator telekomunikasi bisa mengambil alih spektrum tanpa melalui lelang dan dengan mudah melakukan merger dengan operator lain. Beleid tersebut dijadwalkan bakal keluar pada paruh pertama 2019.

Dengan demikian, meski entah kapan, tidak menutup kemungkinan konsolidasi antar-operator akan kembali terulang.

Kini, isu konsolidasi pula lah yang menerbangkan harga saham FREN. Awalnya, kabar yang berhembus konsolidasi berlangsung antara Indosat dengan FREN. Lalu, berkembang menjadi XL dengan FREN.

Niko Margaronis, analis Danareksa Sekuritas merilis simulasi berdasar rumor merger FREN-ISAT. Menurut Niko, konsolidasi tersebut akan menciptakan entitas bisnis yang bisa menghasilkan kualitas layanan dan return yang lebih baik. 

Entitas hasil konsolidasi akan menggusur posisi EXCL dari posisi kedua pendapatan terbesar dan spektrum di industri telekomunikasi seluler. Konsolidasi akan memberikan tambahan pendapatan 5% per tahun dalam tiga tahun pertama.

Cuma, hingga kini konsolidasi FREN, baik dengan Indosat maupun XL masih sebatas rumor yang sudah dibantah pihak-pihak terkait. Diskusi antar-operator memang sering digelar. Namun, belum ada kesepakatan ke arah konsolidasi. "Soal FREN akan diakuisisi atau mengakuisisi, kami manajemen tidak bisa bilang itu," kata Merza.

Dus, pondasi bagi kenaikan harga saham FREN sejatinya masih lemah lantaran lebih didorong oleh spekulasi. Masuk ke saham FREN untuk investasi jangka panjang sangat tidak disarankan, kecuali ada kepastian konsolidasi FREN dengan operator lain terwujud. 

Namun, secara teknikal untuk trading jangka pendek, saham FREN masih bisa diikuti sepanjang tahu dan disiplin dengan level support. "Secara teknikal masih melanjutkan uptrend dengan support pada 270. Artinya, selama koreksi terbatas pada support tersebut, atau masih di atas support maka masih layak ditransaksikan," kata William Hartanto, analis Panin Sekuritas.

Di sisi lain, sejauh ini minat pelaku pasar terhadap saham FREN masih cukup tinggi. Maklum, harga sahamnya memang terjangkau, tapi bukan murah secara valuasi, ya. Likuiditas saham FREN pun terbilang tinggi.

Catatan BEI, nilai transaksi saham FREN pada Januari 2019 merupakan rekor tertinggi bulanan, paling tidak sejak Januari 2015. Nilai transaksi pada bulan lalu mencapai Rp 416,50 miliar.

Terbaru