KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asep, sebut saja namanya begitu, siswa naik kelas 2 sebuah SMA Negeri, kini sering melamun. Remaja yang biasanya ceria itu kini sering uring-uringan.
Asep siswa yang sangat tekun. Hampir seluruh waktu di luar rutinitas pribadi dia gunakan untuk belajar. Secara sungguh-sungguh dia mengikuti pelajaran di kelas. Di rumah dia rajin belajar secara mandiri. Impiannya: kelak bisa kuliah di Jurusan Perminyakan di ITB.
Dengan belajar secara tekun Asep mengusahakan nilai rapornya selalu baik. Dengan begitu ia berharap kelak di pengujung kelas 3 bisa terpilih oleh pihak sekolah mengikuti undangan Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Ikhtiar Asep berbuah manis. Dia masuk rangking tiga besar pada dua kali rapor tengah semester dan sekali rapor akhir semester.
Itu sebabnya, Asep nyaris pingsan menghadapi kenyataan yang tak terduga manakala menerima rapor beberapa hari lalu. Di rapor akhir tahun tercantum dia ranking 15!
Tidak ada nilai yang jatuh, bahkan secara rata-rata nilainya meningkat ketimbang rapor sebelumnya. Hanya saja, belasan siswa lain yang tidak pernah masuk 10 besar terbaik tiba-tiba menyodok dan bertengger di ranking tertinggi!
Entah apa yang sesungguhnya terjadi. Orang tua Asep yang kebingungan hanya bisa menguatkan hati anaknya untuk tetap tekun belajar agar kelak bisa masuk ITB lewat jalur kompetisi adu otak.
Kisah Asep hanya sekeping fragmen dari puzzle super rumit dunia pendidikan kita.
Hari-hari ini jutaan orang tua di seluruh Indonesia sedang pusing tujuhratus keliling memikirkan PPDB SMP dan SMA. Hampir bisa dipastikan sebagian besar mereka gundah. Putra dan putri mereka yang pandai sulit masuk sekolah negeri semata-mata karena jarak rumah ke sekolah lebih jauh dibanding calon siswa lain.
Bukan rahasia lagi, sejak zonasi menjadi salah satu jalur masuk SMP dan SMA negeri, fenomena numpang ke Kartu Keluarga (KK) om, tante, pakde, mbokde, bahkan mungkin numpang KK mantan pacar teman ayah pun menjadi marak. Sebagian bersifat persahabatan, sebagian lain komersial.
Zaman dulu banget, kegagalan seorang anak masuk sekolah negeri cuma dua sebab. Kalau tidak lolos tes masuk, ya kemungkinan bapaknya tak kuat "beli bangku sendiri".
Apakah sistem masuk seolah dan kuliah zaman sekarang lebih baik? Semoga iya karena dampaknya terhadap siswa yang lolos maupun gagal, bangsa dan negara ini, akan berlangsung sepanjang hayat.