Tantangan 2026
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2026 mungkin bisa diproyeksikan sebagai tahun kritis dalam ekonomi Indonesia. Tahun ini akan menjadi tahun kedua pemerintahan Prabowo-Gibran. Periode ini tidak akan lagi jadi fase bulan madu, melainkan ujian pembuktian atas visi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.
Kita memang menghadapi tantangan yang sangat kompleks. Di tengah ketidakpastian global, Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi cukup ambisius, di 5,2%-5,8%. Di balik angka agregat pertumbuhan ekonomi ini, terdapat gejolak mikro ekonomi dan sektoral. Mulai dari beban fiskal yang belum pernah terjadi sebelumnya, deindustrialisasi di sektor padat karya.
Ada beberapa kebijakan krusial sepanjang 2024–2025, yang efek dominonya akan terus terasa dan memberi dampak di 2026. Kebijakan "gas dan rem" pada regulasi impor manufaktur dan eskalasi anggaran program populisme seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), semuanya membentuk lanskap ekonomi 2026.
Salah satu sorotan paling kritis dalam APBN 2026 adalah alokasi pembayaran bunga utang sekitar Rp 600 triliun. Angka ini representasi dari ketatnya anggaran yang parah.
Kenapa parah? Anggaran pembayaran bunga utang ini jauh melampaui anggaran kesehatan atau perlindungan sosial reguler. Rasio pembayaran bunga dan pokok utang (Debt Service Ratio) terhadap penerimaan negara diproyeksikan mencapai 43,1%. Artinya, hampir separuh daripajak yang dikumpulkan negara langsung habis untuk membayar utang.
Kondisi ini membuat kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek pembangunan produktif atau memberikan stimulus ekonomi jadi sangat terbatas.
Tahun 2026 menghadirkan paradoks bagi perekonomian Indonesia. Di satu sisi, fondasi makro ekonomi relatif terjaga. Namun, di sisi lain, kerentanan struktural semakin terekspos. Beban utang yang mencekik dan ambisi belanja populis menyandera ruang gerak fiskal pemerintah. Sektor manufaktur padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja terus berjuang untuk bertahan hidup.
Keberhasilan Indonesia di 2026 sangat bergantung pada kemampuan pemerintah menyeimbangkan kebijakan: menjaga disiplin fiskal sambil membiayai janji politik, melindungi industri tanpa memicu inefisiensi, dan mengamankan kepentingan nasional di panggung global. Ini adalah tahun pertaruhan tinggi, di mana setiap salah langkah kebijakan dapat berdampak panjang bagi trajektori menuju 2045.
