KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Angka impor liquefied petroleum gas (LPG) Indonesia masih kembung. Ini juga yang turut membebani defisit neraca dagang. Upaya memangkas impor terus dilakukan pemerintah.
Yang terbaru adalah kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT Perusahaan Listrik Negara yang siap mendorong penggunaan kompor induksi berbahan energi listrik. Targetnya, penggunaan kompor listrik bisa menekan impor LPG yang saat ini mencapai 60%-70% dari kebutuhan LPG.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan pernah berujar, konsumsi LPG sepanjang tahun 2018 bisa mencapai 6,5 juta metrik ton (MT). Celakanya, sebanyak 70% masih impor. Merujuk catatan ESDM, sampai Oktober 2018, impor LPG capai 4,55 juta metrik ton.
Juru Bicara Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan, ESDM memang tengah mendorong penggunaan kompor listrik untuk menekan impor LPG. "Kami berharap bisa mengurangi impor LPG yang saat ini lebih dari 60% dari kebutuhan LPG," terang Agung kepada KONTAN.
Saat ini, Kementerian ESDM dengan PLN tengah mematangkan rencana ini. Program ini kelak didukung pemenuhan produksi kompor listrik yang akan melibatkan Kementerian Perindustrian.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PT PLN, I Made Suprateka menambahlkan, PLN tengah mencari formula untuk bekerjasama dalam produksi kompor listrik. PLN siap bekerjasama dengan pemerintah agar harga kompor listrik bisa terjangkau maysarakat. Apalagi, di beberapa wilayah, sudah ada yang menggunakan kompor listrik. "Itu bisa menurunkan pengeluaran mereka sekitar 10%-20% biaya energi," ungkap Suprateka.
PLN juga bakal gencar mensponsori event di sejumlah pusat belanja yang menggelar lomba memasak dengan menggunakan kompor listrik. Apalagi, konsumsi listrik di Indonesia juga masih rendah yakni hanya di kisaran 1.050 kWh perkapita. Targetnya, konsumsi listrik bisa sampai 1.200 kWh.
Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan, dengan membengkaknya impor dan subsidi LPG, ada urgensi untuk migrasi ke kompor listrik. "Barangkali yang dibutuhkan bukan regulasi, tapi keberanian mulai migrasi," ujar Fahmy.