Berita Opini

Terdidik tapi Tak Tercerahkan

Oleh Ekuslie Goestiandi - Pengamat Manajemen dan Kepemimpinan
Sabtu, 27 Juni 2020 | 05:25 WIB
Terdidik tapi Tak Tercerahkan

Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Hendrika

Dalam kegelapan malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lampu lentera. Sejenak, orang buta itu pun tertawa dan berkata, “Buat  apa saya bawa lentera? Untuk orang buta, kan sama saja! Saya bisa pulang kok.”  Dengan kalem sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, supaya mereka tidak menabrakmu.” Orang buta itu pun akhirnya setuju untuk membawa lentera tersebut.

Tak berapa lama, dalam perjalanan pulang, seorang pejalan menabrak si buta. Tersontak kaget, ia pun mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!”. Tanpa berbalas kata, mereka pun saling berlalu. Berikutnya, seorang pejalan lainnya kembali menabrak si buta. Kali ini si buta bertambah marah, “Apakah kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa lentera ini supaya kamu bisa lihat!”. Tak merasa bersalah, pejalan itu menukas balik, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, lenteramu sudah padam!”

Si buta terdiam sejenak. Setelah sang penabrak sadar akan situasi yang sesungguhnya, ia pun langsung berkata, “Astaga, maaf sekali. Saya tidak menyadari bahwa Anda tak bisa melihat. Mari saya bantu untuk menyalakan lagi lentera Anda.” Si buta pun tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar yang sempat terucap.”

Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali lentera yang dibawa si buta. Dan, mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.

Dalam perjalanan selanjutnya, lagi-lagi ada pejalan yang menabrak si buta. Namun kali ini, si buta lebih berhati-hati dan bertanya dengan santun, “Maaf, apakah lentera saya padam?”. Penabraknya pun menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.” Senyap sejenak, dan secara berbarengan mereka saling bertanya, “Apakah Anda orang buta?”. Dengan serempak pun pula mereka menjawab, “Iya...” sembari meledak dalam tawa.

Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali lentera masing-masing yang berjatuhan sehabis bertabrakan.

Anekdot di atas mengilustrasikan sebuah ironi yang paradoksal. Seseorang membawa pelita, namun tak bisa menuntun langkahnya. Dia memiliki lentera di tangannya, namun samasekali tak sanggup menerangi perjalanannya.

Kenyataan ironis inipun acapkali kita temukan dalam kehidupan nyata. Kita pasti pernah menemukan orang-orang dengan pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang luas, namun perilaku dan tindak-tanduknya tak mencerminkan kualitas isi pikirannya. Sosok-sosok “jagoan” ini begitu peduli dengan reputasi sosial dan akademisnya, namun acapkali terjerembab dalam kebekuan pikiran yang membuatnya sulit untuk mengubah kesadaran dan perilakunya.

Dalam bukunya yang fenomenal, “Mindset : The New Psychology of Success” (2006), psikolog sosial dari Standford University, Carol Dweck memperkenalkan konsepsi growth mindset dan fixed mindset. Mereka yang memiliki fixed mindset semata-mata mengandalkan talenta, kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya, dan terutama berfokus kepada “hasil”.

Malah membutakan
Hasil (result) yang akan menjadi ukuran pencapaian mereka. Sementara orang yang memiliki growth mindset tidak membatasi dirinya pada talenta dan pengetahuan yang dimiliki, namun justru lebih mengandalkan hasrat untuk berubah dan upaya untuk bertumbuh. Mereka lebih peduli terhadap usaha dan proses pencapaian, daripada hasil semata. Hasil, bagi orang yang memiliki growth-mindset, hanyalah sebuah indikator semata, bukan target akhir yang hendak diburu.

Lebih jauh, menurut Dweck, setiap upaya pertumbuhan selalu menghadirkan kemunduran (growth involves setbacks).  Dan kemunduran seperti inilah yang dihindari oleh para “jagoan”, karena akan mengganggu ketenangan dan merugikan reputasi mereka. Padahal, hukum alam sudah mengajarkan kepada kita, tak ada kebangkitan tanpa kejatuhan; sama halnya pula tak ada istilah “kemajuan” tanpa mengenal kata “kemunduran”.

Oleh karenanya, bagi Dweck, pertumbuhan dan kemajuan seseorang bukanlah semata-mata perkara derajat akademis, pengetahuan ataupun ambisi, namun terutama adalah cara pandang atawa mindset. Kompetensi dan ambisi yang setinggi-langit, justru seringkali ikut melahirkan  mindset yang keliru, seperti yang ditunjukkan oleh para jagoan di atas.

Alih-alih melahirkan mindset pertumbuhan, lentera pendidikan dan pengetahuan yang tinggi  justru seringkali membuat orang membutakan mata penglihatannya sendiri. Saya menyebut sosok-sosok seperti ini sebagai orang-orang yang terdidik (educated), namun tak tercerahkan (enlightened).

Padahal, pendidikan sejati semestinya mencerahkan pikiran manusia; tak sekadar menambahkan pengetahuan dan wawasan.***

Terbaru
IHSG
7.116,97
0.61%
43,15
LQ45
928,33
0.75%
6,87
USD/IDR
16.224
-0,34
EMAS
1.325.000
1,34%