Tidak Hanya Menambang, INCO Jawab Dua Tantangan ESG Global Paling Mendesak

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di jantung Pulau Sulawesi terdapat ekosistem ultrabasa, salah satu ekosistem unik di dunia, dengan tanah miskin hara namun kaya akan logam berat, termasuk nikel. Ini menjadi tantangan bagi perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah tersebut, termasuk PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Di satu sisi, mereka berperan sebagai penyedia mineral penting bagi transisi energi global. Namun di saat bersamaan, perusahaan pertambangan seperti Vale juga memiliki kewajiban untuk memulihkan ekosistem, demi menjaga keanekaragaman hayati dan memperkuat ketahanan masyarakat lokal.
Nah, melalui kombinasi rehabilitasi keanekaragaman hayati dan inovasi pengelolaan limbah, INCO secara langsung menjawab dua tantangan ESG global paling mendesak. Pertama, bagaimana menyeimbangkan kebutuhan mineral kritis dengan perlindungan ekologi. Kedua, bagaimana mengubah limbah dari beban menjadi aset.
“Di PT Vale, kami membuktikan bahwa pertambangan bisa berjalan seiring dengan konservasi: memulihkan hutan ultrabasa yang langka, mengurangi sampah sejak dari sumbernya, dan memberdayakan masyarakat dengan solusi berbasis sains dan kolaborasi,” ujar Budiawansyah, Chief of Sustainability & Corporate Affairs PT Vale Indonesia Tbk dalam keterangan resmi, Senin (29/9/2025).
Langkah Vale mendapat apresiasi dari pemangku kepentingan di daerah. Gubernur Sulawesi Tengah, Dr. H. Anwar Hafid, M.Si., memberikan apresiasi atas konsistensi Vale Indonesia dalam menjalankan operasional dengan tidak mengesampingkan aspek lingkungan dan sosial yang dinilai dapat menjadi contoh bagi perusahaan tambang lainnya.
Di tengah masifnya langkah ekspansif perusahaan tambang di Kabupaten Morowali, komitmen terhadap aspek sosial dan lingkungan kerap diuji dan terabaikan. Hadirnya PT Vale dengan prinsip keberlanjutan dan bertanggung jawab membawa angin segar.
“Saya berterima kasih kepada PT Vale yang konsisten menjaga lingkungan. Mudah-mudahan PT AMM di bawah supervisi PT Vale akan menerapkan pertambangan yang baik dan benar sehingga akan menjadi contoh,” ungkap Anwar Hafid.
Berdasarkan data internal INCO, saat ini sudah ada lebih dari dua juta tanaman endemik dan dilindungi berhasil dibudidayakan. Hingga Juli 2024, INCO juga telah merehabilitasi 3.817 hektare (ha) lahan pascatambang, menanam 67 spesies lokal, dan meningkatkan indeks keanekaragaman hayati hingga mencapai 2,06–2,39, setara dengan tingkat hutan alami.
Vale juga mengadaptasi inovasi teknik rootballed propagation yang mampu mempercepat pemulihan hutan hingga 6 tahun sampai 10 tahun lebih cepat. Hasilnya, kawasan yang dulunya terganggu kini kembali menjadi rumah bagi rangkong sulawesi, monyet moor, dan beragam spesies kupu-kupu.
Dua arboretum yang didirikan; Taman Kehati Sawerigading Wallacea dan Himalaya Arboretum, kini menjadi laboratorium hidup, pusat riset, sekaligus benteng konservasi generasi mendatang.
Baca Juga: Danantara Investasi di Smelter, Laba Vale Indonesia (INCO) Bisa Semakin Tokcer
Di sepanjang 2024, INCO mencatatkan luas lahan yang dibuka baru untuk operasi penambangan di Sorowako seluas 177,70 ha sehingga total luas lahan yang telah digunakan untuk penambangan hingga akhir tahun lalu mencapai 5.895,4 ha. Dari total luasan ini telah direhabilitasi secara progresif seluas 3.791,1 ha, sehingga hanya menyisakan areal terbuka seluas 2.104,3 ha.
Adapun kegiatan reklamasi dilakukan di tiga blok tambang di Sorowako, dengan total luas mencapai 178,98 ha, yang terdiri terdiri dari Blok Sorowako Barat seluas 75,69 ha. Blok Sorowako Timur seluas 38,45 ha, dan Blok Petea seluas 64,85 ha.
Realisasi ini mengalami penurunan 20,3% dari 224,4 ha di tahun sebelumnya yang disebabkan oleh ketersediaan lahan yang telah selesai ditambang untuk direhabilitasi lebih kecil dari yang direncanakan.
Setiap tahunnya, INCO mengalokasikan anggaran khusus untuk berbagi program dan lingkungan terkait. Pada 2024 pihaknya merealisasikan biaya pengelolaan lingkungan US$ 28,37 juta atau setara Rp 462,47 miliar (asumsi kurs Rp 16.654/USD).
Dari riset singkat yang dilakukan KONTAN pada sejumlah perusahaan pertambangan nikel, alokasi dana yang digelontorkan INCO boleh dibilang cukup tinggi. Ambil contoh saja, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) merealisasikan dana dan investasi lingkungan senilai Rp 158,33 miliar di 2024.
Kemudian PT Merdeka Battery Minerals Tbk (MBMA) cuma senilai US$ 289.643 atau setara Rp 4,82 miliar di tahun lalu, yang dialokasikan untuk pengembangan dan pelatihan karyawan.
Tetapi ada juga PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) yang mengalokasikan dana investasi lingkungan lebih tinggi dari yang lain, mencapai Rp 708 miliar di sepanjang tahun lalu.
Baca Juga: Membedah Katalis yang bisa Mendongkrak Kinerja Keuangan & Saham Vale Indonesia (INCO)
Manajemen Pengelolaan Limbah
INCO juga mengurangi produksi limbah melalui inisiatif pengelolaan lingkungan yang menyeluruh. Pihaknya menargetkan untuk mencapai zero waste to landfill (tidak ada limbah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir) pada 2025, lebih cepat lima tahun dari target Pemerintah.
Target ini akan dicapai dengan mengoptimalkan pengelolaan limbah dari seluruh lini baik dari kegiatan operasi pertambangan, proses produksi, serta kegiatan penunjang, dan domestik.
Limbah padat yang dihasilkan oleh lokasi operasional terbagi menjadi dua kategori utama yakni limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) serta limbah non-B3.
Pada 2024, INCO menghasilkan 2.696,6 ton limbah B3 dari kegiatan produksi. Jenis limbah B3 terbesar yang dihasilkan adalah minyak bekas dan gemuk sebanyak 1.135,5 ton, disusul oleh limbah yang mengandung logam berat sebesar 934,96 ton, serta limbah yang terkontaminasi minyak dan gemuk 525,27 ton.
Selain itu, INCO juga menghasilkan limbah medis sebesar 10,21 ton, limbah baterai bekas sebanyak 30,38 ton, dan jenis limbah khusus lainnya.
Angka produksi limbah B3 di sepanjang 2024 meningkat sebesar 32,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini utamanya disebabkan oleh kenaikan produksi, termasuk di dalamnya aktivitas pemeliharaan fasilitas pabrik seperti reline pada dinding converter.
Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah limbah padat terkontaminasi logam berat seperti refraktori, yang masuk dalam kategori sebagai limbah B3 sesuai ketentuan yang berlaku.
Dari total limbah yang dihasilkan, 1.107 ton limbah B3 diakui manajemen INCO telah dikelola sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Nah, salah satu program manajemen limbah yang dilakukan INCO ialah pemanfaatan oli bekas sebagai substitusi bahan bakar pada Dryer dan Reduction Kiln. Ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan limbah yang dihasilkan dari area workshop serta kegiatan pemeliharaan (maintenance) alat berat dan kendaraan ringan (light vehicle).
Dengan memanfaatkan oli bekas sebagai bahan bakar substitusi, program ini tidak hanya mendukung efisiensi energi dalam operasional perusahaan, tetapi juga berkontribusi dalam mengurangi jumlah limbah B3 yang dikirimkan ke pihak ketiga yang berizin.
Sementara itu, sebanyak 1.589,6 ton limbah lainnya yang tidak diolah dibuang ke lokasi pembuangan akhir (landfill) sesuai ketentuan yang berlaku.
Adapun limbah medis dikelola secara khusus melalui proses insinerasi di rumah sakit INCO yang telah memiliki izin, dengan abu pembakaran dan bahan berbahaya lainnya diserahkan kepada pihak ketiga berizin untuk pengelolaan lanjutan.
Selain itu, limbah dari kegiatan pendukung juga didaur ulang dan dimanfaatkan kembali, baik di perusahaan maupun melalui vendor pihak ketiga yang memiliki izin untuk pengelolaan limbah.
Baca Juga: Genjot Kinerja, Vale Indonesia (INCO) Antisipasi Pelemahan Harga Nikel Global
Selain menghasilkan limbah yang mengandung B3, INCO juga memproduksi limbah non-B3 dari hasil operasinya. Berikut rincian produksi limbah non-B3 berdasarkan aktivitas dan jenisnya;
Nah untuk seluruh limbah non-B3 yang masih memiliki potensi, INCO juga turut mengelolanya agar memberikan nilai tambah yang bermanfaat. Misalnya saja pada 2024, INCO memanfaatkan timbulan terak nikel sebanyak 377.964,29 ton. Terak nikel (slag) tersebut digunakan sebagai material konstruksi untuk lapisan atas permukaan jalan tambang khusus.
Pada intinya, dalam mengelola limbah, INCO menjalankan strategi komprehensif yang berfokus pada pencegahan, pengurangan di sumber, pemanfaatan kembali, daur ulang, dan pengambilan kembali (reduce, reuse, recycle, and recovery/4R). Tujuan akhirnya meminimalkan jumlah limbah yang dikirim ke tempat pemrosesan akhir.
Pengelolaan limbah yang dilakukan INCO tidak hanya dilakukan di ranah perusahaan, tetapi juga dibawa ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sorowako. INCO menebarkannya melalui program EMBERS (Enhanced Management of Bio-waste for Environmentally Resilient Solutions).
Program ini mendorong pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Sampah organik kemudian diolah dalam biodigester berkapasitas 100 kilogram per hari, menghasilkan energi dan pupuk. Hanya dalam setahun, 26,79 ton sampah organik berhasil dialihkan dari TPA, mengurangi emisi metana.
Proses mengolah sampah menjadi produk yang lebih bermanfaat juga menghasilkan 23.760 liter pupuk cair bagi pertanian lokal, sekaligus menekan konsumsi LPG rumah tangga hingga 876 kilogram per tahun dengan memanfaatkan gas metana pengganti.
Baca Juga: Tantangan Harga Nikel Global Bagi PT Vale Indonesia Tbk (INCO)
Menjaga Keseimbangan Bisnis
Dalam menjawab tantangan kelebihannya pasokan nikel di dunia dan harga nikel yang turun, Presiden Direktur INCO Bernardus Irmanto menjelaskan, strategi utama INCO adalah tetap menjaga posisi biaya di level kompetitif, baik di operasi Sorowako maupun proyek baru.
“Harga nikel secara historis akan mengalami mekanisme self-balancing,” ungkapnya dalam laporan paparan publik (11/9) yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Produsen dengan biaya tinggi (quartile 3–4) akan tertekan saat harga jatuh, sementara INCO yang berada di first quartile tetap mampu bertahan dan menjadi survivor saat harga rebound.
Menurutnya investasi global tidak hanya mempertimbangkan kondisi pasar saat ini, tetapi juga prospek jangka panjang menuju 2030 dan seterusnya.
Saat ini INCO tengah menggarap tiga proyek besar yakni Indonesia Growth Project (IGP) Morowali, yang merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), bersama IGP Pomalaa dan IGP Sorowako Limonite (Sorlim).
Direktur INCO Muhammad Asril menjelaskan, operasi tambang di Pomalaa ditargetkan mulai pada kuartal I-2026, sementara HPAL berkapasitas 120.000 ton ditargetkan selesai konstruksi pada kuartal IV-2026. Adapun proyek ini ditargetkan beroperasi penuh pada kuartal I hingga kuartal II-2027 bersama dengan Huayou dan Ford.
“Di Morowali, operasi tambang diproyeksikan mencapai hingga 10 juta ton pada 2026, dengan HPAL berkapasitas 60.000 ton ditargetkan mechanical completion awal 2027,” ujarnya saat paparan publik.
Baca Juga: Ditargetkan Selesai Tahun 2027, ini Dampak Besar Proyek Sorowako Bagi Kinerja INCO
Sedangkan di Sorowako, proyek HPAL akan mulai konstruksi pada pertengahan 2027 yang berjalan sesuai jadwal, dengan target biaya 30% lebih rendah dari anggaran awal sambil tetap mengutamakan aspek keselamatan.
Dengan beroperasinya ketiga proyek itu, Rizky A Putra, Direktur dan Chief Financial Officer INCO memperkirakan pendapatan INCO ke depan akan semakin beragam dan berimbang.
“Saat tambang baru beroperasi penuh, pendapatan diperkirakan berasal dari kombinasi 50% produksi matte dan 50% dari penjualan bijih saprolite/limonite serta kontribusi smelter hasil joint venture,” terangnya dalam kesempatan yang sama.