KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena childfree merambah ke Indonesia perlu diwaspadai. Fenomena ini berbahaya bagi ekonomi bila semakin menjamur. Jumlah kelahiran bayi yang menyusut bisa berujung pada kondisi penuaan populasi.
Untuk melihat bahaya aging population, kita bisa berkaca pada Jepang. Negeri Sakura ini menghadapi krisis populasi sejak lama. Melansir Bloomberg, Jumat (1/11), jumlah penduduk Jepang pada tahun 2023 tercatat 121,6 juta, menyusut 861.000 dari 2022.
Penurunan populasi Jepang sudah terjadi sejak Perang Dunia ke-II. Angka kelahiran bayi di Jepang semester I-2024 hanya 350.074 orang, turun 5,7% secara tahunan. Ini rekor terendah sepanjang sejarah, menurut pemerintah Jepang.
Penuaan populasi ini telah jadi masalah besar bagi ekonomi Jepang. Kurangnya usia produktif mengisi sektor pekerjaan membuatnya mengalami krisis tenaga kerja
Masalah penuaan populasi juga sudah merambat ke Eropa serta negara Asia Timur lain. Angka kelahiran bayi di Korea Selatan dan China juga terus mengalami penyusutan.
Baca Juga: Korea Selatan Dilanda Wabah Epidemi Kesepian, Apa Itu?
Menurut Statistik Nasional China, bayi yang lahir di negara itu pada tahun 2023 hanya 9,02 juta, turun 5,6% dari 2022. Tingkat kelahiran mencapai rekor terendah, yaitu 6,39 kelahiran per 1.000 orang.
Sementara Statistik Nasional Korea mencatatkan bayi lahir di Negeri Ginseng itu pada 2023 susut 7,7% menjadi 230.000. Meski begitu, pada kuartal II 2024, mulai naik 1,2% jadi 56.838, kenaikan pertama sejak 2015.
Kenaikan itu tak lepas dari jumlah pasangan yang menikah naik 17,1% menjadi 55.910. Ini menjadi pertumbuhan tercepat kedua dalam sejarah.
Sebenarnya, aging population di Asia Timur terjadi awalnya karena kebijakan masa lalu. Selama tiga dekade lebih, China memberlakukan kebijakan satu anak. Setelah Perang Dunia II, Jepang mendorong penggunaan kontrasepsi dan mendekriminalisasi aborsi. Di Korea Selatan, pemerintah melegalkan aborsi dan melarang warganya punya lebih dari dua anak di awal 1970-an
Pada perkembangan selanjutnya, banyak orang muda di tiga negara itu memilih menunda atau tidak ingin menikah dan punya anak karena perubahan norma sosial dan gaya hidup. Tingginya harga rumah dan sulitnya pasar kerja jadi penyebabnya.
Baca Juga: Ini 15 Negara dengan Tingkat Kesuburan Paling Rendah di Tahun 2024
Jepang, China, dan Korea Selatan telah melakukan upaya besar mendorong warganya mau menikah dan punya anak. Namun, berbagai insentif yang diberikan belum berhasil mendorong kelahiran.
Jepang sebetulnya sadar akan bahaya penurunan populasi itu sejak lama. Pada tahun 1990-an, Jepang mengeluarkan kebijakan guna memacu orang mau memiliki lebih banyak anak. Pemerintah mewajibkan pengusaha menawarkan cuti mengasuh anak hingga satu tahun, membuka lebih banyak tempat penitipan anak bersubsidi. Tapi, hasilnya nihil.
Di Indonesia, I Dewa Gede Karma Wisana, Kepala Lembaga Demografi FEB UI, mengatakan sudah ada beberapa provinsi yang mencatat penurunan angka kelahiran. Hanya, ia melihat angka kelahiran di Indonesia secara keseluruhan masih cukup baik.
Untuk mengantisipasi terjadinya aging population, ia merekomendasikan agar pemerintah fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di daerah dengan angka fertilitas tinggi. Sedang di daerah angka fertilitas rendah diberi layanan yang menekan biaya anak.
Baca Juga: Banyak Warganya yang Takut Punya Anak, Ini yang Dilakukan China
Sementara Direktur eksekutif IINDEF Tauhid Ahmad menyebut saat ini jumlah warga Indonesia yang menunda pernikahan semakin besar. Hal ini membuat tren pertumbuhan penduduk jadi melambat dari tahun ke tahun.
“Jika angka kelahiran turun, dalam jangka panjang, akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi. Beban tanggungan ekonomi kian tinggi untuk biaya kesehatan dan pensiun.” jelas Tauhid.