Berita Opini

Tua-Tua Keladi yang Makin Banyak Ditawarkan dalam Tanaman Hias

Oleh F. Rahardi - Pemerhati agribisnis
Minggu, 15 November 2020 | 11:00 WIB
 Tua-Tua Keladi yang Makin Banyak Ditawarkan dalam Tanaman Hias

Sumber: Tabloid Kontan | Editor: Hendrika

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Makin tua, makin menjadi-jadi. Ada lagi frasa biang keladi. Keladi yang dimaksud peribahasa dan frasa ini; mengacu ke talas belitung, kimpul, bothe, enthik, boa, arrowleaf elephant's ear, American taro, Xanthosoma sagitifolium.

Keladi adalah tanaman umbi-umbian penghasil bahan pangan. Sosok tanaman keladi mirip talas, taro, Colocasia esculenta. Kalau talas dikonsumsi umbi induk, keladi dikonsumsi umbi anaknya. Kandungan kalsium oksalat pada umbi induk keladi sangat tinggi hingga berasa gatal di mulut. Dari situlah muncul frasa biang keladi.

Nama botani keladi Xanthosoma sagitifolium, diberikan oleh ahli botani Austria Heinrich Wilhelm Schott (17941865), tahun 1832. Genus Xanthosoma, suku Araceae, beranggotakan 76 spesies, semua berhabitat asli Amerika Tropis. Keladi diintroduksi ke Nusantara oleh Bangsa Portugis dan Belanda.

Sekarang keladi lebih banyak ditanam di Indonesia dibanding talas; karena lebih tahan penyakit hawar daun talas, akibat kapang Phytophthora colocasiae. Di pasar-pasar tradisional Jabodetabek, keladi lebih mudah ditemukan dibanding talas. Tetapi, keladi yang menjadi-jadi sekarang ini bukan kimpul, melainkan tanaman hias genus Caladium.

Sama dengan keladi, Caladium juga berasal dari Amerika Tropis. Caladium bicolor, malahan lebih dulu diketemukan ahli botani Perancis, tienne Pierre Ventenat (17571808), tahun 1800. Genus Caladium beranggotakan 14 spesies dan semua merupakan tanaman hias.

Meski begitu, genus Caladium diketemukan dan diberi nama dalam rentang waktu cukup panjang. Setelah spesies pertama Caladium bicolor ditemukan tahun 1800, spesies berikutnya Caladium smaragdinum, diketemukan oleh Karl Heinrich Emil Koch dan Carl David Bouch tahun 1853. Kalau Caladium bicolor berhabitat asli Amerika Tengah dan Selatan; Caladium smaragdinum hanya ada di Kolumbia dan Venezuela. Spesies berikutnya Caladium humboldtii, diketemukan oleh Heinrich Wilhelm Schott di Venezuela dan Brasil tahun 1854.

Tahun 1855 dua spesies Caladium diketemukan bersamaan. Caladium macrotites juga diketemukan oleh Wilhelm Schott di Kolumbia dan Brasil; Caladium picturatum diketemukan oleh Karl Heinrich Emil Koch dan Carl David Bouch di seluruh bagian utara Amerika Selatan. Kemudian berturut-turut Caladium coerulescens diketemukan 1975; Caladium lindenii dan Caladium ternatum ditemukan 1981; Caladium andreanum 1984; Caladium schomburgkii 1958; Caladium tuberosum 1991. Dua spesies terakhir Caladium clavatum dan Caladium praetermissum; baru dtemukan tahun 2009 dan sudah sampai ke Indonesia, dengan harga lebih dari Rp 500.000 per tanaman.

Nama yang membingungkan

Sebutan keladi bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya ditujukan ke genus Xanthosoma dan Caladium, tetapi juga ke beberapa spesies dari genus lain. Salah satunya keladi tikus, taro mice, Typhonium flagelliforme; dengan sebaran dari Asia sampai Australia, termasuk Indonesia. Meski tumbuhan asli Indonesia, masyarakat kita baru memperhatikan keladi tikus, setelah ada informasi tentang pemanfaatan umbinya sebagai obat kanker. Tetapi di Indonesia juga ada Typhonium roxburghii, yang tumbuh liar dan sering dimanfaatkan untuk tanaman hias dengan sebutan lily voodoo mini. Orang sering bingung, mana yang keladi tikus, mana yang lily voodoo mini.

Ternyata tak hanya berhenti sampai di situ. Masih ada keladi tatto, Cercestis mirabilis. Genus Cercestis terdiri dari 10 spesies, semua berasal dari Afrika Tropis. Di situs penjualan online, harga keladi tatto berkisar Rp 500.000-Rp 2,5 juta. Kemudian keladi katak (kodok), Drimiopsis maculata. Genus Drimiopsis terdiri dari 14 spesies dan juga berasal dari Afrika Tropis.

Sebutan keladi untuk genus Drimiopsis sebenarnya aneh. Xanthosoma, Caladium, Typhonium dan Cercestis masih wajar disebut keladi; karena suku talas-talasan (Aroid, Araceae). Drimiopsis bukan suku talas-talasan tapi asparagus-asparagusan (Asparagaceae).

Kebingungan masyarakat masih ditambah lagi, dengan sebutan talas, lumbu dan lompong untuk keladi, talas (genus Colocasia, 8 spesies), senthe (genus Alocasia, 80 spesies). Untunglah Anthurium yang beberapa tahun silam pernah heboh, tak sekalian diberi predikat keladi atau talas. Sebab genus Anthurium beranggotakan 926 spesies. Masih ada lagi nampu atau cariang (genus Homalomena, 124 spesies). Homalomena juga populer sebagai tanaman hias, dan bentuk daun serta tanamannya persis keladi dan talas. Masyarakat awal juga menyebut Homalomena dengan nama talas, atau keladi.

Senthe memang sudah sejak lama disebut salah sebagai keladi atau talas. Belakangan ini muncul keladi amazon yang sebenarnya senthe.

Nama keladi amazon sebenarnya bukan hanya kesalahan masyarakat Indonesia, melainkan juga ahli botani Andr Michaux. Tahun 1871, ia menulis di Jurnal Revue Horticole, Paris; tentang diketemukannya silangan alami antara Alocasia longiloba dengan Alocasia sanderiana; yang ia beri nama Alocasia mortfontanensis. Di International Plant Names Index (IPNI), nama itu berstatus Unplaced dan Unresolved. Hingga temuannya tidak diakui secara internasional.

Tetapi tahun 1953, John B. Reark menulis prosiding di Florida State Horticultural Society tentang Alocasia mortfontanensis; yang ia beri nama baru sebagai Alocasia amazonica. Di IPNI, publikasi itu berstatus not validly. Dari situlah para pedagang tanaman hias, termasuk di Indonesia, mengklaim keladi amazon alias topeng afrika (African Mask), sebagai keladi jenis baru. Meski jelas itu senthe bukan keladi, juga tidak berasal dari Amazon atau Afrika.

Dalam kebingungan itulah para pedagang tanaman hias menangguk keuntungan, hingga nama keladi tengkorak digunakan untuk puluhan spesies Alocasia dan hibridanya.

Terbaru