Akibat Banyak Tekanan, Target Perusahaan IKNB Jadi Stagnan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri keuangan non bank menilai tantangan pada tahun depan masih berat. Alhasil, para pelaku industri memasang target kinerja lebih rendah, atau setidaknya stagnan, dari target sepanjang tahun ini.
Industri multifinance misalnya, memasang target pembiayaan naik 12%. "Tapi tahun ini industri mau tumbuh 12% berat sekali. Mudah-mudahan bisa tumbuh 10% hingga akhir tahun," ucap Suwandi Wiratno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, Kamis (5/12).
Alasannya, daya beli masyarakat rendah. Selain itu, melemahnya penjualan otomotif juga ikut mempengaruhi kinerja industri multifinance.
Baca Juga: Incar Segmen Premium, BRI Finance Dorong Penyaluran Pembiayaan Sepeda Motor
Menilik data Gaikindo, penjualan pabrik ke diler (wholesales) mobil nasional turun 15% secara tahunan menjadi 710.408 unit di 10 bulan 2024. Penjualan dari diler ke konsumen turun 11,5%.
Daya beli tertekan
Di 2025, Suwandi memprediksi pembiayaan masih bisa tumbuh. Tapi pertumbuhannya cuma sekitar 8%-10%.
Presiden Direktur CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) Ristiawan Suherman menambahkan, tahun depan, masyarakat juga menghadapi kenaikan sejumlah pungutan yang bisa menekan daya beli.
Alhasil, CNAF hati-hati mematok target peningkatan pembiayaan. Hingga November 2024, CNAF telah menyalurkan pembiayaan Rp 8,79 triliun, naik 11% tahunan.
Pemain asuransi umum memilih memasang target yang sama dengan tahun ini di tahun depan. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memprediksi pertumbuhan premi asuransi umum tahun ini sekitar 10%-15%.
Ketua Umum AAUI Budi Herawan masih optimistis target pertumbuhan tersebut dapat tercapai. Tahun depan, Budi berharap industri masih bisa tumbuh dua digit, sembari tetap melihat arah kebijakan pemerintah.
Industri asuransi jiwa juga menilai kondisi industri di 2025 masih berat. Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon menerangkan inflasi medis masih akan membayangi kenaikan klaim kesehatan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura untuk Start-Up Indonesia Markus Rahardja mengatakan, ketidakpastian ekonomi global serta bunga tinggi dalam negeri akan menghambat pertumbuhan start-up dan UMKM. "Ujungnya, minat investasi modal ventura menurun. Investor memilih instrumen yang lebih aman," kata Markus.